Ketua Umum PBNU Dr. KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menjadi pembicara pada Konsinyering Project Management Unit (PMU) bersama Provincial Coordinating Unit (PCU) yang diinisiasi Kementerian Agama dengan target utama peningkatan mutu pendidikan madrasah, di Jakarta pada Senin, 03 April 2023 lalu.
Dalam pemaparannya, Gus Yahya menyebut soal “Kesenjangan mendasar pendidikan di lingkungan muslim.” Setidaknya ada dua macam kesenjangan, yaitu kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi, yaitu terkait instrumen yang digunakan dalam praktik pendidikan.
Bagaimana pergulatan pendidikan Islam vs pendidikan Barat dalam mewarnai konstruksi paradigma kaum Muslimin di Nusantara? Berikut pemaparannya. Saya mempunyai beberapa gagasan pemikiran tentang pendidikan. Pendidikan di lingkungan komunitas muslim sampai hari ini sebetulnya masih menghadapi kesenjangan-kesenjangan yang mendasar. Sekurang-kurangnya ada 2 jenis kesenjangan.
Pertama, kesenjangan paradigmatik, yaitu kesenjangan terkait asumsi-asumi dasar dari pendidikan itu sendiri. Kedua, kesenjangan teknologi, yaitu kesenjangan terkait instrumen-instrumen yang digunakan dalam praktik pendidikan, mulai dari model-model organisasi, manajemen sampai peralatan-peralatan teknis lainnya.
Ini masih ditambah dengan masalah-masalah yang muncul dari dampak respon dari kesenjangan-kesenjangan itu. Responnya menjadi sejumlah dampak yang juga menjadi pikiran kita.
Sementara, kesenjangan paradigmatik sangat kompleks, kurang lebih bisa dikatakan akibat dari perubahan-perubahan berskala peradaban yang dialami dunia dan mau tidak mau juga menimpa komunitas muslim di seluruh dunia.
Dulu, yang namanya pendidikan di kalangan muslim, terutama pendidikan syariah dan itu menjadi paradigma yang diterapkan selama ratusan tahun. Syariah dalam pengertian yang luas dan pendidikan itu dipersepsikan sebagai operasi atau kegiatan yang tidak hanya merupakan kegiatan kognitif dalam artian transfer pengetahuan aqli saja tetapi dipersepsikan sebagai suatu proses paripurna yang komprehensif keseluruhan dimensi mental dari kemanusiaan.
Apalagi kalau kita bawa ke dalam tradisi yang asli di dalam dunia pendidikan di Indonesia yang dulu nusantara, akan lebih kompleks lagi, karena terkait dengan sejumlah asumsi-asumsi kultural. Pendek kata, sebetulnya dulu, kita punya paradigma pendidikan yang sama sekali berbeda dengan apa yang kita persepsikan hari ini dan masih terus membekas sehingga membuat kita juga agak gagap menghadapi berbagai macam tuntutan masa kini, karena terbayang dengan paradigma tradisional yang sudah mapan.
Kesenjangan ini semua adalah bawaan dari perubahan berskala peradaban yang terjadi ketika tiba tiba hampir seluruh dunia Islam, berada di bawah dominasi dari peradaban barat. Dulu, antara dunia Islam dan dunia barat ini terlibat persaingan yang sengit selama ratusan tahun, antara lain diwakili oleh Turki Usmani melawan kerajaan-kerajaan Eropa. Juga mengahadapi peradaban masyarakat lain seperti di India, menghadapi Dinasti Mughal.
Tapi, hasil dari seluruh pertarungan dalam sejarah itu, ujungnya adalah dominasi dari peradaban Barat yang kemudian dirasakan secara tandas di dalam arena sosial politik, setelah kekalahan Turki Usmani dalam perang dunia pertama. Tapi, sebenranya pengaruh dominasi barat yang tak terbendung dari peradaban barat sudah dirasakan jauh hari sebelum meletusnya perang dunia I, pendidikan menjadi salah satu tema utama dari kegelisahan yang muncul akibat penetrasi peradaban barat dari dunia Islam ini.
Mengapa akhir abad ke 19 sudah muncul Gerakan-gerakan tentang perlunya mengartikulasikan wawasan baru di dunia Islam dan topik utama yang diangkat adalah pendidikan. Seperti gerakan yang diiniasi oleh Jamaludin Abdul Ghani, Rasyid Ridha dan lain-lain. Ini muncul dari kegelisahan bahwa dunia Islam kalah dari pengaruh peradaban Barat. Kekalahan itu manifes sebagai hasil perang dunia pertama.
Kita tahu, sejak itu lahir para pemikir baru sampai generasi belakangan. Ini semua kegelisahan paradigmatik. Bagaimana Islam menghadapi dunia baru, pendidikan seperti apa?. Dalam konteks Indonesia, inisiatif untuk memulai suatu upaya mencari model pendidikan baru sudah muncul sejak awal abad ke-20. Jika kita punya madrasah-madrasah di Kemenag, itu mulai sejak awal abad ke-20. Maksudnya adalah upaya untuk menginisiasi rintisan sistemik.
Awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik etis yang salah satunya adalah memberikan pendidikan ala Barat kepada orang-orang pribumi di Indonesia. Maka dibentuk HIS sampai didirikan sekolah kedokteran yang mahasiswanya mendirikan Budi Utomo. Ini adalah penetrasi model pendidikan Barat ke dalam komunitas tradisional Nusantara. Dan itu menciptakan kegelisahan luar biasa di antara para pemimpin nusantara termasuk para elite keraton. Mereka sebenarnya merasa bertanggung jawab atas tradisi nusantara ini.
Inisiatif dari Keraton Jogja
Maka, pada sekitar awal abad ke 20 ada inisiatif dari keraton Jogja yang menurut sejumlah riwayat, ini merupakan hasil komunikasi dengan beberapa keraton Islam lain di nusantara seperti Ternate, Bone, Kutai dan lainya. Yaitu inisiatif untuk mengirmkan kader agar menekuni upaya mencari model pendidikan baru untuk menanggapi penetrasi dari model pendidikan Barat.
Maka, dikirimlah seorang santri yang sangat berbakat namanya Muhammad Darwis untuk belajar di Mekkah dan sudah ada komunikasi dengan guru yang ada di Mekkah yaitu Syekh Khotib Al Minangkabawi dengan pesan agar M. Darwis diberi asupan pembelajaran tentang bagaimana melakukan reformasi pendidikan di lingkungan komunitas muslim.
Maka, M.Darwis mengaji dengan tambahan pembelajaran khusus, meski sama-sama ngaji bareng di depan Syekh Khotib, Darwis mendapat tambahan pembelajaran khusus yaitu tentang gerakan Jamaludin Abdul Ghani, M. Abduh, Rasyid Ridha tentang reformasi dalam Islam khususnya pendidikan.
Kemudian, M. Darwis pulang ke Indonesia dan mendirikan organisasi baru di nusantara dinamai dengan Muhammadiyah, untuk reformasi pendidikan di nusantara. Lalu, ganti nama Ahmad Dahlan yang diajak mendirikan Muhammadiyah adalah priyayi-priyayi yang sudah mendapatkan pengalaman pendidikan Belanda. Karena diajak membentuk model pendidikan baru untuk pribumi.
Muhammadiyah membangun model pendidikan modern ala Barat dengan mengadopsi model sekolah Hindia Belanda dengan konten yang ditambahi dengan Islam dan nusantara. Maka Kyai Ahmad Dahlan mendirikan satu sekolah khusus namanya Muallimin yang bertujuan mendidik calon-calon guru di sekolah Muhammadiyah. Di situ mulainya. Ini jasa besar Muhammadiyah terhadap sistem pendidikan kita. Pionirnya adalah Muhammadiyah.
Gerakan tersebut merupakan salah satu respon terhadap penetrasi Barat dengan cara akomodatif. Materi pendidikan di sekolah Muhammadiyah masih banyak buku-buku pesantren waktu itu. Bentuk respon lainnya adalah munculnya pesantren-pesantren.
Inisiatif dari Kyai Wahid Hasyim
Kyai Hasyim Asyari atas inisiatif dari Kyai Wahid Hasyim tahun 1911 sudah mendirikan model madrasah klasikal. Kyai Wahid Hasyim berusia 12 tahun waktu itu. Pada umumnya di kalangan pesantren tradisional, dulu kan belum terbentuk NU, responnya adalah respon isolasionis, yang kemudian disebut perlawanan kultural, tidak mau sama sekali dengan Belanda.
Kemudian tahun 1930, kakek saya sendiri dulu namanya masih Mashadi (KH Bisri Mustofa) oleh keluarganya mau dimasukkan ke HIS karena keluarganya priyayi, tapi didengar oleh Kyai Kholil Harun lalu diburu disamperin dan dicegah oleh Kyai Harun, agar fokus mengaji. Ini self exlusion. Makanya dasi diharamkan, celana pantalon diharamkan.
Nah, pergulatan dalam merespon peradaban Barat dalam lingkungan Islam ini terus berlanjut bahkan sampai sekarang. Saya harus disclaimer kalau saya sebut ini antara peradaban Barat dan Islam, ini saya tidak bermaksud membuat dikotomi konfrontasional. Ini adalah proses sejarah yang normal.
Karena kalau kita telusuri ke awal, Barat jadi begitu karena penetrasi Islam. Eropa itu jadi kayak begini awal mulanya karena penetrasi Islam di Qurtuba. Ini proses sejarah yang normal. Problemnya, kita mau bagaimana?. Secara mental tidak mudah karena ini ada sentimen menghadapi kolonialisme, sentimen di dalma pertarungan politik dan militer. Ini berat sekali.
Tapi, kita tahu bahwa dalam proses selanjutnya, penetrasi ini tidak terbendung, penetrasi ini keniscayaan sejarah. Bukan hanya soal pendidikan, juga kesenian. Apa boleh buat, tapi kita masih belum selesai dengan pergulatan ini terkait paradigma. Kita pakai paradigma apa ini?
Karena kita sadar paradigma tradisional itu memiliki kekuatannya sendiri. Sangat besar. Dulu, saya menerima cara pendidikan yang sama dari kyai, tapi saya mempraktekkan yang sama masih gelagapan karena belum sampai ke maqom itu. Ini paradigma tradisional.
Nah, mendidik itu bukan hanya mengajarkan secara kognitif materi-materi pengetahuan tapi juga melakukan tarbiyah ruhaniyah. Jadi campur suwok. Jadi, pendidik dalam tradisi pendidikan kita ndak boleh sembarangan. Pendidik itu tanggung jawab lahir batin dunia akhirat.
Lalu soal konten, apa yang harus kita ajarkan kepada anak didik. Kalau mengajarkan agama kepada anak didik, itu agama macam mana? Agama dalam wawasan seperti apa?. Ini pertanyaan penting karena dunia berubah. Sampai sekarang saya melihat dalam Lembaga-lembaga Islam, kurikulum pendidikannya masih bahan ajar dari abad pertengahan. Buktinya sampai sekarang di pesantren ngajinya kitab Safinah, Taqrib dan lainnya. Kontennya masih merujuk dari wawasan abad pertengahan, termasuk persepsi-persepsi berbagai hal.
Antara lain persepsi tentang kelompok-kelompok yang berbeda. Jadi, kalau kita ngomong soal moderasi agama, intoleransi, ya masyarakat kita intoleran karena dari kecil diajari intoleran. Kalau kita mau bicara soal harmoni peradaban yang membingkai berbagai isu tentang toleransi, kesetaraan antar kelompok identitas dan sebagainya. Itu harus dimulai dari konten pendidikan, terutama pendidikan agama.
Lalu, kesenjangan lain adalah kesenjangan teknologi. Sekarang kita sudah jauh sekali jaraknya dari tuntutan adopsi teknologi yang sekarang berkembang. Di madrash kita ini, TPA-TPA, masih pakai Iqra, yang lain sudah pakai AI Qu’ran. Ini hal yang harus dipikirkan dan menjadi kesadaran kita ketika kita hendak menggagas merancang sesuatu reformasi di madrasah kita. Reformasi itu kebutuhan yang niscaya.
Masalah kesenjangan itu, kita belum ketemu model solusinya, itu sudah disusul dengan dampak daru bentuk-bentuk responnya. Dampak dari bentuk respon self exlusion itu masih ada skearang. Seperti jumlah kyai di lingkungan NU itu masih yang pokoknya kalau berbau Barat masih tidak mau. Artikulasinya masih banyak dan berdampak pada kesulitan kita membangun stabilitas politik. Kita harus tentukan sampai dimana kita harus lakukan perubahan dalam soal ini!
Jika kita bicara soal misalnya nasib perempuan. Sekarang orang bicara tentang bagaimana perempuan bisa dipandang setara dengan laki-laki. Itu sampai di mana? Karena jelas sampai sekarang dan didasarkan pada pemahaman-pemahaman syariah, memang ada segregasi antara laki dan perempuan. Makanya masjid mainstream, gak ada masjid isinya depan laki, perempuan belakang. Dulunya berdampingan itu, hanya disekat.
Ini kita mau sampai dimana, ini maslahnya mendalam sekali. Maka PBNU menggagas tema fikih peradaban, karena ini, dan ini kami rancang sebagai kegiatan yang jangka panjang karena banyak sekali topik yang kita bahas.
Lalu dampak responnya. Kita ini merasa pendidikan agama yang sebetulnya kita sudah punya tradisi kita sendiri, ya pendidikan islam ini. Dulu, semua dididik di pesantren, karena tidak ada tempat pendidikan selain pesantren. Kita punya itu. Sekarang diterpa model pendidikan Eropa tadi. Lalu, kita merespon dengan mencoba melakukan akomodasi antara model pendidikan tradisional dengan elemen-elemen dari pendidikan Barat yang kita sadari tidak terelakkan.
Tapi lalu ada berbagai macam dampak. Di antara dampaknya yang ini muncul kuat sejak orde baru, adalah segregasi yang semakin tajam di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok agama dan etnis yang berbeda. Karena kita ini dengan sangat progresif mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan pada saat yang sama kelomok-kelompok nonmuslim juga mengembangakan lembaga pendidikan mereka sendiri.
Dulu itu, generasi ayah paman saya, mereka sekolah bareng dengan anak-anak Tionghoa, sampai jadi sahabat. Saya sendiri tidak pernah punya teman yang keturunan Tionghoa sampai kuliah. Karena ketika kristen bikin sekolah sendiri, anak-anak mereka disekolahkan di sana dan ngak ada di sekolah negeri.
Sehingga sekolah agama ini menimbulkan dampak segregasi sosial, sejak kanak-kanak. Bahkan di sekolah negeri juga ada nuansa segregasi. Dan ini memicu penguatan kembali apa yang menjadi trauma segregasi masa lalu. Memang sejak zaman Belanda, ada segregasi kultural yang diciptakan Belanda, antar orang Eropa kulit putih, orang Asia Timur Asing dan orang pribumi. (*)