Ihya Hidup dan Keramatnya

0

Ulama NU memang bertebaran merata di Tanah Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Di antaranya adalah KH Abdul Jamil yang tinggal di Kebon Dalem, Pemalang. Ia wafat tahun 2009 dalam usia 80 tahun. 

Ulama yang cukup terkenal di Pemalang, Jawa Tengah ini cukup istimewa. Ia diberi gelar Ihya berjalan. Ihya adalah karya monumental Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali: Ihya Ulumiddin.

KH. Abdul Jamil memiliki darah dan keturunan kalangan ulama. Ia putera KH. Muhsin bin KH. Yusuf bin KH. Baedhowi (mbah Kuri) bin Mbah Arsifah bin Mbah Salamudin atau Raden Haryo Abdul Salam dari Kerajaan Mataram.

Sejak usia 30 tahun –setelah menikah, ia sudah mengajar kitab Ihya kepada murid-muridnya baik dari kalangan santri atau masyarakat umum. Ihya diajarkan pertama kali oleh Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani dan Syekh Arsyad Al-Banjari pertengahan abad 18. Di Jawa dijarkan oleh Kiai Sholeh Darat, Semarang pertengahan abad 19.

Untuk kalangan santri ia baca setiap hari usai salat Subuh hingga waktu Dluha. Sementara untuk kalangan masyarakat dibaca sepekan sekali di masjid setiap Selasa malam.

Kitab Ihya sudah dibacanya hampir 50 tahun hingga ia wafat pada 23 Jumadil Ula 1433 H dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Umum Mantepan, Sirandu, Pemalang.

Untuk kalangan santri setiap tahun kitab itu khatam dibaca. Dan kemudian diulang kembali. Sementara untuk masyarakat umum cukup lama karena banyak penjelasan tambahan sehingga khatam sekitar 10 tahun. Tapi, masyarakat suka mengikutinya karena Kiai Jamil selalu menjelaskan kandungan Ihya dengan pendekatan yang mudah dicerna dan difaham masyarakat umum. Berbeda dengan kalangan santri yang dibaca cepat meskipun kadangkala ada penjelasan kandungan hadis atau ayat Al-Quran.

Ia juga melengkapi pembahasan kajiannya melalui syarah Ihya Ithaf Sadatil Muttaqin karangan Sayid Murtadha Azzabidi.

Kiai Jamil tak hanya mengajarkan Ihya, tapi juga mengamalkan semua yang ada di dalam kitab berusia 900 tahun itu. Ia juga menganjurkan murid-muridnya mengamalkan kandungan yang ada dalam Ihya. Pantas jika masyarakat dan ulama menyebut Kiai Jamil sebagai Ihya berjalan dan dianggap memiliki karamah tanda kewalian. Tapi, penampilannya tetap sederhana dan tak pernah menonjolkan diri.

Dikisahkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Kiai Hamzah asal Tegal, Jawa Tengah. Suatu hari datang rombongan dari Pekalongan satu bus yang ingin sowan (berziarah) ke Kiai Jamil. Perjalanan sekitar dua jam itu (belum ada toll) dilalui. Hingga suatu saat mobil itu mogok di suatu tempat. Ada tiga bengkel yang didatangkan namun tak bisa mengatasinya.

Tiba-tiba bengkel ketiga bertanya:

BACA JUGA

“Memangnya bapak-bapak ini mau ke mana?”

“Kami ini mau sowan Kiai Jamil,” jawab pemimpin rombongan itu, seorang kiai yang agak sepuh.

“Kiai Jamil?”

“Iya.”

“Sudah tahu rumahnya?”

“Belum.”

Bengkel itu langsung menunjuk rumah di depannya. “Itu rumah Kiai Jamil.”

“Ha.”

Ternyata mobil itu mogok persis di depan rumah Kiai Jamil. Dan setelah tahu rumah Kiai Jamil mesin bus menyala sempurna.

Menurut cerita Kiai Hamzah (selanjutnya menjadi murid KH Ma’shum Lasem) Kiai Jamil sering diminta mengobati banyak orang. “Orang kampung banyak yang meminta doa kesembuhan melalui air,” kata Kiai Hamzah sering diminta bantuan antar sowan.

“Alhamdulillah selalu dikabulkan Allah, air diminumkan dan sembuh. Tapi, kalau Kiai Jamil beralasan tak mau memberi doa, artinya ajalnya sudah dekat. Tak tertolong lagi,” kata Kiai Hamzah menceritakan keramat gurunya itu. “Termasuk memintakan air untuk ayah saya beliau jawab: aku lagi uzur. Hati saya pasrah dan ayah saya tidak tertolong lagi,” lanjut Kiai Hamzah.

Kini, makamnya ramai dan banyak diziarahi masyarakat Nahdliyin. (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.