RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa sikap bertahan sebagai bangsa bukan pilihan, melainkan keniscayaan di tengah ketegangan geopolitik, perang yang belum usai, dan disrupsi global yang semakin masif.
“Apapun yang terjadi, apapun yang kita hadapi, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus bisa survive. Tidak boleh gagal. Tidak boleh bubar. Harus terus tegak berdiri,” tegasnya dalam forum “Gebyar Wawasan Kebangsaan” yang digelar oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jalan Kebon Sirih, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (30/6/2025).
Dikatakannya, dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Konsensus global yang selama hampir 50 tahun menopang stabilitas internasional pasca Perang Dunia II telah rapuh. Banyak negara adidaya bertindak sepihak demi kepentingan eksklusifnya, tanpa mempertimbangkan dampak luas terhadap dunia.
“Banyak aktor global kini bertindak semaunya. Tidak ada lagi upaya sungguh-sungguh menjaga stabilitas dunia. Kita menghadapi dunia multipolar tanpa arah,” katanya.
Gus Yahya pun mengajak bangsa Indonesia untuk tidak hanya bertahan dalam pusaran ketidakpastian global, tetapi juga mengambil peran aktif dalam membentuk masa depan tatanan dunia.
Tidak hanya menyerukan pentingnya ketahanan nasional, Gus Yahya juga menantang Indonesia untuk melampaui kepentingan domestik dan tampil sebagai bagian dari solusi dunia. “Kita harus berpikir, tidak hanya bagaimana menyelamatkan diri, tapi juga bagaimana berkontribusi agar dunia ini menemukan tatanan baru yang stabil, adil, dan beradab,” ujarnya.
Gus Yahya mengingatkan bahwa bangsa Indonesia punya modal sejarah dan ideologis yang kuat dalam membangun konsensus, sebagaimana ditunjukkan oleh para pendiri bangsa melalui Pancasila, UUD 1945, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Ia mendorong agar Indonesia kembali menjadi pelopor seperti pada masa Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok. “Dulu kita pernah memelopori tatanan dunia yang baru lewat Bandung dan gerakan non-blok. Kini saatnya kita kembali berkontribusi, karena banyak krisis global juga berakar pada tatanan yang sudah usang dan tidak adil,” ucapnya.
Gus Yahya memberikan seruan reflektif saat semua arah menjadi kabur, Indonesia perlu meneguhkan rujukan moral dan politiknya. Dan itu sudah dimiliki: konsensus kebangsaan yang telah terbukti menyatukan beragam elemen bangsa selama hampir satu abad.
“Ketika dunia kehilangan arah, kita harus kembali kepada rujukan dasar: siapa kita, dari mana kita memulai, dan ke mana kita akan menuju. Kita punya konstitusi sejati, dan itulah kekuatan kita,” terangnya.
Era FANIUS
Senada dengan itu, Gubernur Lemhannas RI Tb Ace Hasan Syadzili dalam kesempatan yang sama menggambarkan situasi global saat ini sebagai era FANIUS (Fragile, Anxious, Non-linear, Incomprehensible, Unpredictable, and Sudden).
“Kita sedang hidup dalam lanskap geopolitik yang tidak stabil, tidak pasti, ambigu, dan sulit dipahami. Rivalitas global antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia semakin meruncing, tidak hanya dalam kekuatan militer tetapi juga dalam perang teknologi, ekonomi, dan budaya,” ujar Ace.
Ia menambahkan bahwa situasi dunia ini telah berdampak langsung pada ketahanan ekonomi dan sosial nasional, seperti fluktuasi harga energi, inflasi global, hingga krisis logistik dan pangan. “Kondisi ini menuntut bangsa Indonesia membangun kemandirian yang sejati hidup sederajat, sejajar, dan berdiri di atas kaki sendiri,” pungkas Ace. (NU Online).