Cerpen 17 an, Sesuatu yang Tertunda

0

Rutinitas pagi di Jum’at Kliwon (1/8) sehabis Sholat Subuh, menyalakan tungku dan langsung jalan kaki keliling desa. Ketemu dan mampir di rumah dan markaz Yon Kuswoyo yang ternyata cuma memantau Waktu Duha. Ternyata jam 06.05 di Paris waktu matahari sudah setinggi dua pohon kelapa.

Aku pun cuna berbagi rokok sisa Tahlilan tadi malam di rumah sendiri. ” Jam 06.05 ini sudah terlihat Duha. Jam 06.20 premis hisab bisa gugur, tapi di sini….,” kataku sembari berjalan lagi.

Sampai 1 kilometer berjalan sampai di deoan rumah Pak Sutejo dan ketemu Kaki Medi. Ia adalah Atlet maraton umur 80 tahun lebih , yang sudah kelihatan bugar dan tersenyum lebar penuh sumringah , dan sudah sehat sejak tiga hari terakhir nggak ikut jalan sehat sehabis Subuh karena sakit.

“Syukur alhamdulillah, sudah sehat,” kata ku dalam hati. Sempat was -was juga hampir 3 hari berturut tidak kelihatan ikut jalan pagi.

Saya lalu dengan Kaki Kasdi jalan sehat keliling lewat separoh RT saja dan sampai di rumah sudah 06.30 jadi aku langsung sholat Sunnah Duha.

Sehabis Duha aku langsung disuruh sarapan dengan lauk Mendoan. Dan air tungku sudah mendidih jadi aku bikin kopi dan sembari merokok selepas sarapan.

Selepas itu aku bersepeda keliling kampung lihat suasana bulan Agustus di mana Gapura sudah terpasang dua di perbatasan dusun , menyambut HUT 80 Tahun Kemerdekaan RI. Pun demikian dengan bendera merah putih dan geber merah putih juga terpasang rapi sepanjang jalan raya sekitar 2 kilo meter.

Aku pun mampir di rumah Kang Hasan Modo yang sudah pulang dari Papua dan rumah adiknya ikut merehab pagar rumah keluarga. Aku dan Hasan pun bercanda dan ndagelan. Aku baru saja kemarin ketemu kawan pemain sepakbola desa yang sekarang buka usaha warung makan, Udin Degel ternyata sudah gantung sepatu. Di namakan Udin Degel karena suka degelan (ndagelan).

Pun dengan sang istri yang suka humor. Kukisahkan dengan Udin Hasan Modo, aku mampir ke warung Gecot dan Soto cuma mampir beli Es Jeruk seharga 5000 karena habis kelelahan muter lapangan sepak bola sebanyak 3 kali sembari bersih-bersih lapangan dari plastik dan tali senar layangan lalu kubakar di pinggir lapangan.

Di tempat Hasan Modo akupun cuma sebentar aku kembali pamit.”Mau kemana?” “Aku mau muter keliling desa dahulu.

Lalu kukayuh sepeda balap telusuri jalan setapak keliling tiga RT sendiri. Untuk kawasan pedalaman belum ada yang terpasang. Kemungkinan sesuai kesepakatan akan dipasang pada malam 17 Agustus.

Selepas keliling, aku mampir lagi di samping Warung dan duduk bersama Kang Sartono , Warsono, Kang Sholi dan membahas persiapan 17 Agustusan. Mulai dari acara tumpengan (malam 17 Agustus). “Jadi acara 17 Agustusan tanggal berapa? ” kataku.

Akhirnya untuk memecah kebuntuan kujawab sendiri,”Tanggal 16.5 Agustus. Di mana malam 17 ( Tanggal 16 malam 17) ada acara syukuran. Bersambung dengan karnaval serta upacara pada 17 dan kemungkinan juga berbagai lomba belum berakhir sepanjang bulan Agustus full lomba Agustusan.” Jangankan 17 Agustus , final lomba antar desa saja sudah banyak masuk final di minggu pertama bulan Agustus jadi ada kemungkinan tinggal pengumuman hasil lomba pas peringatan 17 Agustus.

Sekitaran jam 09 00 aku pamit pada pak Manten RT 06,Kang Sartono untuk pulang. “Kang, aku mo persiapan sholat Jumat. Karena Jumat ini adalah lebarannnya kaum muslimin sedunia. Aku perlu persiapan baca Yasin dan juga aku ke kebun mo panen merica serta singkong,” kataku.

Akhirnya Kang Sartono membolehkan aku pulang. Kemeriahan semarak 17 Agustusan juga menjadi tema khutbah Jumat yang disampaikan oleh KH Abdul Ghofur Arifin. Lepas Jumatan aku berjalan bareng kang Jumanto bahwa mengairi irigasi hari Jumat bisa saja tertunda. “Padahal persiapan sudah ada semua,” kataku.

“Baiknya ditunda saja,” sela kang Jumanto sembari kubagi sebatang rokok. Sampai di rumah aku lalu membuat kopi dan merokok sebatang lagi lalu makan siang. Panas sangat terik. Aku lepas jumat ke tempat Arif dan meminjam HP untuk menulis Cerpen yang belum usai. Hpku belum benar.

Ada HP bagus 800.000, tapi uangnya belum ada. Sembari menulis Cerpen aku berbagi rokok dan Kopi bareng Arif dan Imam di Keluarga Pak Rahmat. “Gimana nyari Rp 800.000?” Ada-ada saja ulah ibuku mengabarkan biaya HP Rp 800 000,,-

“Dari mana saya dapat duit segitu,” kataku kepada Imam, putra sulung Pak Rohmat. Sembari menulis Cerpen, Imam minta pendapat soal Group ODGJ di pentas UMKM. Saya jawab dengan jujur, penampilan ODGJ sangat Percaya Diri.

“Itu modal penting pemain dan terutama vocalis , jadi mirip grup JAMRUD,” kataku singkat. Lalu imam memberikan kode jempolan kepadaku. Kami juga bercerita soal rating grup dangdut dari tingkat desa sampai grup dangdut dari Garut.

Sekitaran jam 15 00 , cerpenku kuketik dengan ceoat sembari merokok dan sesekali meneguk segelas kopi . Tak terasa. Cerpenku terlalu pendek, ada yang tertunda. Proses mengairi irigasi sawah sendiri terpaksa ditunda. Bisa hari Sabtu, Minggu atau bahkan nanti malam.

Bila sudah giliran rebutan, biasanya di sawah malah kurang kondusif , karena rebutan air. Jadi ditunda pun sembari menunggu HP pulih dan kabar berikutnya. (Aji Setiawan).

Leave A Reply

Your email address will not be published.