RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Prof Kamaruddin Amin menekankan bahwa gerakan wakaf nasional harus menjadi pendorong nyata dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Ia menyoroti peran wakaf sebagai instrumen strategis untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan daya saing bangsa.
“Gerakan Indonesia Berwakaf ini kita niatkan untuk mendukung cita-cita Indonesia Emas, Indonesia yang tidak miskin, cerdas, sehat, dan berpendapatan tinggi. Wakaf bisa menjadi fundamental enabler, pemungkin untuk visi itu,” ujar Kamaruddin pada pembukaan Rakernas BWI di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Rakernas BWI ini mengangkat tema “Gerakan Indonesia Berwakaf: Meneguhkan Asta Cita Menuju Indonesia Emas.” Seluruh pengurus BWI dari berbagai daerah hadir untuk menyusun program strategis dan memperkuat kolaborasi di tingkat lokal.
Kamaruddin memaparkan tiga fokus utama BWI saat ini. Pertama, perlindungan aset wakaf termasuk tanah yang digunakan untuk masjid, madrasah, dan makam. Kedua, pengembangan wakaf produktif, terutama tanah wakaf yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketiga, peningkatan literasi wakaf yang bertujuan agar masyarakat memahami nilai dan potensinya sebagai alat pemberdayaan.
“Kalau tanah-tanah wakaf yang idle itu bisa kita produktifkan, hasilnya bisa menopang ekonomi umat. Wakaf bisa jadi solusi strategis untuk mengangkat kualitas hidup masyarakat,” jelasnya.
Salah satu tantangan utama adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang wakaf. Untuk itu, BWI bekerja sama dengan Kementerian Agama guna menggalakkan Gerakan Literasi Wakaf Nasional.
“BWI memiliki divisi khusus literasi, dan kami siap bekerjasama lintas sektor, baik dengan ormas keagamaan, bank syariah, maupun kementerian lain. Literasi wakaf harus masif,” tegasnya.
Data menunjukkan, Indonesia memiliki 451 ribu titik wakaf, namun hanya sekitar 2.000 yang dikelola secara produktif. Potensi aset wakaf nasional diperkirakan mencapai Rp2.000 triliun, sementara wakaf uang berpotensi menyumbang Rp181 triliun per tahun—namun realisasinya baru sekitar Rp3,5 triliun.
BWI juga sedang mengupayakan revisi Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Kamaruddin menyatakan bahwa regulasi saat ini sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengelolaan wakaf modern.
“Kita ingin BWI diperkuat, minimal menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Saat ini masih lembaga independen, kadang dipersepsikan seperti ormas. Padahal dasar hukumnya adalah undang-undang,” jelasnya.
Revisi UU ini diharapkan memungkinkan BWI mengelola aset secara profesional, seperti lembaga wakaf internasional yang memiliki rumah sakit, hotel, atau bisnis produktif.
Senada, Ketua MPR Ahmad Muzani yang juga hadir dalam pembukaan Rakernas BWI menegaskan bahwa wakaf harus berkembang dari urusan ibadah pribadi menjadi instrumen pembangunan nasional.
“Banyak masyarakat ingin mewakafkan harta, tapi tidak tahu ke mana. Mereka bingung, lembaga mana yang bisa dipercaya dan apakah wakafnya akan produktif. Di sinilah peran negara, dan BWI harus tampil di garis depan,” tegas Muzani.
Ia mendukung revisi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang dinilai sudah tidak sesuai dengan tantangan saat ini.
“Saya akan dorong di DPR agar revisi ini jadi prioritas legislasi. BWI perlu diperkuat secara kelembagaan agar bisa mengelola aset wakaf secara lebih profesional, bahkan menjadi lembaga investasi umat,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Agama Nasaruddin Umar menambahkan bahwa umat Islam selama ini terlalu fokus pada zakat, padahal wakaf memiliki dampak sosial yang lebih besar jika dikelola dengan baik.
“Zakat itu hanya 2,5 persen dari kekayaan. Tapi kalau wakaf, tidak terbatas. Bayangkan jika potensi instrumen seperti wakaf, hibah, wasiat, fidyah, dam, dan sebagainya dikumpulkan, kita bisa punya dana hingga Rp500 triliun per tahun,” ungkapnya.
Ia mencontohkan praktik wakaf di Timur Tengah, seperti pemotongan otomatis dari transaksi digital, yang bisa diterapkan di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa wakaf dapat menjadi solusi ketimpangan sosial dan pengisi celah yang belum terjangkau oleh negara.
“Mayoritas penerima manfaat itu orang miskin. Wakaf bisa jadi instrumen untuk melunakkan ketimpangan, mengisi kekosongan peran negara dalam sektor tertentu,” pungkasnya.
Ekalavya