‘Perpecahan’ di tubuh NU menunjukkan keprihatinan yang sangat besar di kalangan ulama NU kala itu. Perpecahan itu terjadi setelah Muktamar NU di Surabaya tahun 1971 dan disusul wafatnya KHA Wahab Hasbullah. Kiai Wahab adalah tokoh kharismatik yang ditaati suluruh pimpinan NU.
Waktu itu, awal Orde Baru dan Pemilu tahun 1971 baru digelar dengan menjadikan NU nomor dua setelah Golkar. Ada perbedaan pendapat antara KH Idham Chalid yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU (terpilih) dan Menteri Kordinator Kesejahteran Rakyat dengan HM Subchan ZE yang waktu itu menjabat sebagai salah satu ketua PBNU dan wakil ketua MPR RI.
Sekian lama, perselisihan tak kunjung reda, ahirnya beberap ulama meminta KH Maksum Lasem yang dianggap ulama sepuh untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya, dengan memanggil keduanya. KH Ma’shum yang terlahir dengan nama Muhammadun itu termasuk ulama sepuh yang lahir tahun 1870 M. Ayahnya beliau bernama Kyai Haji Ahmad, seorang saudagar pada masanya. Nasab Mbah Ma’shum dari jalur ayah punya hubungan darah dengan Sultan Mahmud Al-Minagkabawi (Minangkabau), yang makamnya di Jejeruk Bonang Lasem. Dan silsilahnya bersambung hingga Sunan Giri sampai ke Rasulullah SAW.
Mbah Maksum sulit mencari cara. Ia pun berfikir keras bagaimana perpecahan di tubuh NU harus diselesaikan dengan cara NU dan harus memanfaatkan orang cerdik yang banyak akal. Akhirnya ia memangil KH Bisri Mustofa Rembang (ayahanda KH Mustofa Bisri dan kakek KH Yahya Cholil Staquf/ Ketua PBNU sekarang).
Jarak antara kota Rembang dan Lasem yang hanya 12 kilometer dilalui Kiai Bisri dengan kendaraan pribadi. “Bisri, mbok kamu bikin ikhtiar bagaimana cara merukunkan Idham sama Subhan!” kata Mbah Maksum mengeluh.
Kiai Bisri memahami keprihatinan para sesepuh dengan ‘perpecahan’ yang sudah menjalar ke akar bawah Nahdliyin. Tentu, jika dibiarkan akan berbahaya. Sebab, Kiai Bisri punya dugaan bahwa mungkin saja “perselisihan” di antara dua pemimpin itu didesain oleh yang berkuasa, karena kekuatan NU pada awal Orde Baru itu sangat kuat dan kokoh dalam genggaman para ulama. Paling tidak diperlukan perpecahan itu agar menjadi lemah. Kenapa?
Sebab, Indonesia dan NU sedang dalam masa-masa genting saat peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ada harapan-harapan, tapi tak ada yang bisa memastikan apa yang akan dilakukan oleh Soeharto, si penguasa baru. Di depan mata hanya ada pilihan-pilihan sulit. Oleh karenanya, “perselisihan” di antara kedua pemimpin itu ibarat “menyediakan sekoci di tengah badai”.
Kiai Bisri merasa, tidak mudah menjelaskan pikirannya itu kepada Mbah Ma’shum, sedangkan ia terlalu ta’zim kepada beliau untuk membantah. Maka ia berusaha mengelak. “Panjenengan yang sepuh saja yang menyelesaikan Mbah, panjenengan kan lebih berwibawa dibanding kami,” elak Kiai Bisri.
“Nggak bisa! Ini soal rumit. Harus pakai akal-akalan. Kamu kan banyak akal!” kata Mbah Ma’shum sedikit memaksa, tentu sambil tersenyum.
Tak berkutik, Kiai Bisri pun mematuhi perintah Mbah Ma’shum, yakni merancang akal-akalan. Dengan cerdik dan cerdas Kiai Bisri berpikir, lantas membeli satu peti Green Spot (soft-drink yang populer waktu itu) dan satu peti sirup Kawis (sirup khas produk Rembang). Dia suruh santri mengantarkan peti Green Spot kepada Pak Subhan ZE dengan pesan: “Dari Kiai Idham Khalid, mohon tanda terima”. Pada saat yang sama, santri lain disuruh mengantarkan limun Kawis kepada Pak Idham dengan pesan: “Dari Pak Subhan ZE, mohon tanda terima”.
Maka diperolehlah dua lembar tanda terima:
“Telah terima satu peti Green Spot dari KH Idham Khalid. Terimakasih sebesar-besarnya. Ttd: Subhan ZE”
“Telah terima satu peti limun Kawis dari Saudara Subhan ZE. Jazakumullah. Ttd: Idham Khalid”.
Kemudian, Kiai Bisri menghaturkan kedua lembar tanda terima itu ke hadapan Mbah Ma’shum.
“Sudah bisa rukun Mbah,” ia melapor.
“Mana buktinya?” tanya Mbah Maksum.
“Lha ini beliau-beliau sudah saling kirim-kiriman…” Mbah Maksum menelaah kedua tanda terima itu lantas tersenyum. “Bisri kamu memang banyak akalnya,” katanya.
Mbah Ma’shum sumringah. Setidaknya NU bisa diselamatkan dengan dua kerat (peti) minuman.
Mbah Ma’shum wafat pada hari Jum’at 20 Oktober 1972 (12 Ramadhan 1392 H) jam 2 siangdalam usia 102 tahun. Ia dimakamkan setelah shalat Jumat di makamkan di komplek Masjid Jami’ Lasem. Sedangkan KH. Bisri Musthofa wafat 24 Februari 1977 dalam usia 62 tahun dan dimakamnkan di komplek Pesatren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. (*)