Persemaian Nasionalisme Kaum Santri  (Bagian Kedua)

0

Riadi Ngasiran

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PWNU Jawa Timur, Ketua Tim Kerja Monumen Resolusi Jihad NU Surabaya.

 

Bertempat di kawasan Ampel Suci (dekat Masjid Agung Ampel Surabaya), madrasah Taswirul Afkar bergerak maju. Puluhan, bahkan ratusan anak di Surabaya bagian utara menjadi murid Taswirul Afkar, yang pada saat itu — tahun-tahun permulaan — dipimpin KH. A. Dachlan Ahyad (Kebondalem, Surabaya). Meski begitu, bukan berarti meniadakan aktivitas kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa Taswirul Afkar. Dalam kenyataan, madrasah ini hingga sekarang masih eksis dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tak lagi di bilangan Ampel Suci melainkan di jalan Pegirian, Surabaya.

Sampai di sini, Kiai Wahab Hasbullah beradaa di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) yang tentu berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan KH. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan KH. A. Dachlan Ahyad. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik, KH. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok-kelompok anti-mazhab, sedangkan KH. A. Dachlan Ahyad tak berbeda dengan Kiai Wahab Hasbullah, yakni ulama pesantren yang mempertahankan sistem mazhab.

Memang, sejak dasawarsa pertama abad ke-20 gerakan pembaruan Islam dari Timur Tengah masuk ke Indonesia. Hingga timbul dua istilah yang tak dapat dipertemukan: kelompok modernis dan kelompok tradisional atau kadang disebut ortodoks. Kelompok modernis pada pokoknya anti-mazhab, sedangkan tradisional mempertahankan mazhab. Dalam hubungan dengan gerakan pembaru itu, Kiai Wahab Hasbullah seringkali tidak bisa menghindari dari serangan-serangan mereka, baik dari SI maupun dari K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan antara Kiai Wahab dengan KH. Mas Mansur.

Perbedaan pandangan itu akhirnya sampai juga pada puncaknya. Karena pada tahun 1921, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang seringkali datang ke Surabaya memberikan ceramah agama itu berhasil menggaet KH. Mas Mansur untuk mengikuti jejaknya. Sehingga pada tahun 1922 Mas Mansur menyatakan berpisah dengan Kiai Wahab Hasbullah karena pindah ke Muhammadiyah. Jabatan kepala Nahdlatul Wathan pun diserahkan kepada pengurus yang kemudian menunjuk KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz sebagai gantinya.

Peristiwa ini tampaknya telah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab. Sehingga tidak perlu memengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan KH. Mas Alwi Abdul Aziz, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Ahlul Wathan di Semarang, Far’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far’ul Wathan di Malang, sedang di Surabaya berkembang di kawasan lain, seperti Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling dan Hidayatul Wathan di Jagalan.

Secara jelas nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah di belakangnya tercantum ‘wathan’ yang berarti ‘tanah air’. Ini berarti tujuan utamanya untuk membangun semangat cinta tanah air. Sedang syair “Nahdlatul Wathan” atau juga dikenal syair “Syubbanul Wathan” , berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Di Pesantren Tebuireng, Jombang — asuhan KH Muhammad Hasyim Asy’ari –, misalnya, hingga tahun 1940an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali memulai kegiatan belajar di Sekolah. Pada setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid (santri) diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, selain Kiai Wahab harus memerhatikan Nahdlatul Wathan dan keterlibatannya di SI, beliau juga tidak bisa membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama pesantren yang memegang mazhab. Selain itu, serangan-serangan itu tak mungkin bisa dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924 Kiai Wahab membuka kursus ‘masail diniyyah’ (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang memertahankan mazhab.

Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah ‘Nahdlatul Wathan’ tiga kali dalam seminggu. Para pengikutnya ternyata tak hanya terbatas dari Jawa Timur, melainkan juga ada dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara mereka yang bersedia mendampingi adalah K.H. Bishri Syansuri (Denanyar, Jombang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah (keduanya dari Surabaya), KH. Maksum dan KH. Cholil (keduanya dari Lasem, Rembang).

Sedang dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab adalah Abdullah Ubaid (arek Kawatan, Surabaya), Thahir Bakri dan Abdul Hakim (Petukangan, Surabaya) serta Hasan dan Nawawi (keduanya dari Surabaya).

Dengan demikian, Kiai Wahab Hasbullah telah juga membangun pertahanan cukup ampuh dalam menolak serangan-serangan kaum modernis. Enampuluh lima ulama yang dikursus, secara tegas dan bersungguh-sungguh, dipersiapkan untuk menjadi juru bicara tangguh dalam menghadapi kelompok pembaru. Sehingga, dalam perkembangan berikutnya, ketika berkobar seputar masalah ‘khilafiyah’ di beberapa daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab Hasbullah, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda peserta kursus tersebut.

Meski demikian, Kiai Wahab agaknya masih kurang yakin terhadap keampuhan pertahanan mereka, selagi di antara mereka belum ada ikatan bersifat organisatoris. Karena itu, pada sekitar tahun 1924 Kiai Wahab mengajukan ide untuk mendirikan ‘perkumpulan ulama’ kepada gurunya, Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang. Namun, Kiai Hasyim Asy’ari — guru dan sepupu Kiai Wahab — yang pada saat itu menjadi “kiblat-nya” ulama pesantren di Jawa dan Madura, belum dapat menyetujui usulan tersebut. Meski pada saatnya nanti dan setelah mengalami pelbagai proses konfirmasi ritual (tentang proses permohonan Kiai Hasyim Asy’ari kepada Tuhan untuk mendirikan NU tak lepas dari inspirasi dari gurunya, Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathief, Bangkalan), terpaksa beliau mengizinkan dan bahkan sebagai pemegang pimpinan tertingginya (Rais Akbar NU).

Dari sudut pandangan yang lain, sikap Kiai Hasyim Asy’ari belum mau menerima ide Kiai Wahab itu, agaknya karena pertimbangan masalah yang senantiasa diperdebatkan itu belum sampai menyentuh bidang ketauhidan atau masalah prinsip agama. Atau mungkin juga karena pertimbangan lain: untuk membuat gentar kaum penjajah dan mempercepat proses kebangkitan jiwa nasionalisme bangsa yang sedang terjajah.

Sebab, seperti diakui Stoddard dalam Dunia Baru Islam, bahwa memang berkobarnya perdebatan antara ulama bermazhab dengan kelompok pembaru itu patut disayangkan. Terlebih lagi ketika perdebatan yang melibatkan Wahab Hasbullah berhadapan dengan Ahmad Syurkati dari Al-Irsyad dan Achmad Dahlan dari Muhammadiyah (terjadi pada sekitar tahun 1921), yang berlangsung cukup sengit dan penuh fanatisme itu.

Namun, meskipun peristiwa seperti itu hakikatnya melemahkan, dengan hadirnya beberapa ulama terkemuka seperti Ahmad Dahlan, Wahab Hasbullah, Ahmad Syurkati, Mas Mansur, Agus Salim, A.M. Sangaji, Wondoamiseno dan lain sebagainya, di setiap acara perdebatan itu, maka percikan-percikan api kebenaran Islam telah memberi tubuh bagi umat Islam, yang pada saatnya nanti menjadi palu godam ampuh untuk akhirnya dipukulkan kepada penjajah. Ini berarti, pertikaian soal khilafiyah pada masa itu memang masih mengandung manfaat, terutama bagi menumbuhkan semangat cinta tanah air yang sedang dibelenggu penjajah. Ternyata kemudian pemerintah kolonial Hindia-Belanda merasa terganggu konsentrasinya oleh acara-acara perdebatan yang selalu dihadiri para ulama terkemuka, yang sangat antusias terhadap perjuangan bangsa tersebut.

Tak diterimanya ide untuk mendirikan ‘perkumpulan ulama’ oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, sama sekali tak mengendorkan semangat perjuangan KH Wahab Hasbullah. Beliau masih tetap berusaha menggalang persaatuan dengan para tokoh pergerakan Islam maupun kebangsaan. Sehingga, ketika pada Juli 1924 seorang tokoh politik, dokter Soetomo, mendirikan ‘Indonesische Studieclub’ — suatu organisasi kaum terpelajar yang berorientasi pada pendalaman insyafan dan kewajiban terhadap masyarakat di dalamnya. Dengan demikian, habislah waktu istirahat bagi Kiai Wahab Hasbullah. Selain harus berhubungan dengan SI, mengatur Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan juga memberikan kursus, Kiai Wahab harus pula aktif datang untuk berdiskusi di ‘Indonesische Studieclub’, yang ketika itu bermarkas di kawasan Bubutan (sekarang GNI = Gedung Nasional Indonesia) Surabaya.

Setelah beberapa kali mengikuti kegiatan di ‘Indonesische Studieclub’ dan mungkin juga telah menyaksikan betapa kompaknya para pemuda terpelajar yang tergabung di dalamnya, Kiai Wahab kemudian kembali tergugah untuk bertemu dengan KH. Mas Mansur guna mempersatukan pemuda Islam dalam satu wadah. Dalam tahun 1925 pertemuan mendiskusikan masalah pemuda Islam ini dilangsungkan. Beberapa tokoh pemuda pengikut Mansur maupun pendukung Wahab, dikumpulkan untuk berunding membuat wadah persatuan dan kesatuan.

Namun, pertemuan itu tak membuahkan hasil yang diidam-idamkan. Kedua pihak tak dapat dipersatukan hanya karena perbedaan sepele, soal khilafiyah. Akhirnya, pemuda pengikut Mansur membuat wadah sendiri bernama ‘Pemuda Mardisantoso’. Sedang para pemuda pendukung Wahab yang dipelopori Abdullah Ubaid, membentuk wadah sendiri bernama ‘Syubbanul Wathan’ (Pemuda Tanah Air). Bermarkas di jalan Ordeling-blang (ujung berempatan jalan Bubutan Surabaya), Syubbanul Wathan mengadakan kursus-kursus keagamaan dan mendiskusikan pelbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan tujuan utama: membangkitkan semangat kaum muda untuk mencintai tanah tumpah darah yang sedang terjajah.

Bertolak dari riwayat Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah itulah, jejak perjuangan kaum santri menegaskan adanya motif lain yang mendorong lahirnya NU. Keterlibatan Kiai Wahab dalam Syarikat Islam, Indonesische Studieclub, Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, Syubbanul Wathan, maupun dalam kursus masail diniyyah bagi para ulama muda dan lain sebagainya, tak lepas dari kerangka tujuan utamanya untuk membangun semangat nasionalisme bangsa yang sedang terjajah.

Tekad itu pun, sekali lagi, ditegaskan Kiai Wahab Hasbullah sehari sebelum lahirnya NU — ketika undangan para ulama untuk membahas delegasi Komite Hijaz pada tanggal 31 Januari 1926 selesai diedarkan — karena adanya pertanyaan dari Kiai Abdul Halim , mengenai rencana pembentukan perkumpulan para ulama itu, apakah mengandung tujuan untuk kemerdekaan?

Kiai Wahab menjawab:

“Tentu, Itu syarat nomor satu. Umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam kita tidak leluasa. Sebelum negara kita merdeka”.

Namun, Kiai Abdul Halim agaknya masih juga ragu oleh karena usaha pembentukan ‘perkumpulan ulama’ itu, baru pada tahap pengiriman undangan. Sehingga, kiai asal Leumunding, Cirebon, itu kemudian melanjutkan pertanyaan: Apakah dengan usaha macam begini ini isa menuntut kemerdekaan? Mendengar pertanyaan itu, Kiai Wahab segera mengambil satu batang korek api dan menyulutkannya, sambil berkata:

“Ini bisa menghancurkan bangunan perang/Kita jangan putus asa/Kita harus yakin tercapai negeri merdeka”.

Hal ini berarti, kelahiran NU — selain motif keagamaan — juga didorong oleh semangat membangun Nasionalisme. Membangun Nasionalisme pada masa itu, sama artinya dengan Membela Tanah Air. Dan, Membela Tanah Air, berarti juga membela tuntutan rakyat untuk merdeka dan melawan penjajah. Dalam perjalanan perjuangan NU di masa-masa berikutnya membuktikan komitmennya dalam bentuk perlawananNU terhadap penjajah.

Sebagai embrio berdiri NU, Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan Nahdlatut Tujjar, merupakan pilar penting yang kemudian memengaruhi perjalanan NU dalam pengabdiannya di tengah masyarakat. []

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.