Jika mengamati tumbuh kembangnya dunia tarekat yang dimulai sejak berdirinya Tarekat Al-Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (1077-1166) dan juga melalui dakwah Wali Sanga (abad 15) ke Nusantara, kitya sangat bangga. Sebab, tarekat sudah mulai ada dan dikenal aktifitasnya sejak Islam mulai masuk ke Nusantara.
Hanya yang lebih spesifik, tarekat sebagai ‘organisasi’ sufisme bermunculan setelah kedatangan dari tanah Suci beberapa ulama Nusantara seperti Syaikh Nuruddin Arraniri (1650), Syekh Arsyad Banjar (1812), Syekh Abdusshamad Alfalimbani (1704), Syekh Yusuf Makassar (1699), Syekh Burhanuddin Ulakan (1704), Syekh Khotib Sambas (1875) dan lainnya.
Artinya, tarekat telah lama hidup di masyarakat kita dan terjaga melalui guru-gurunya yang juga ulama. Maka, ketika NU berdiri tahun 1926, ia juga langsung mewadahi dan memayungi pengamal tarekat. Sattariyah yang terlebih dulu tiba di Aceh dan kemudian menyebar, juga Qadiriyah, Sammaniyah, Naqsyabandiah, Syadziliyah, Tijaniyah, Rifaiyah, Haddadiyah dan lain sebagainya yang kemudian mewarnai Nusantara.
Tarekat adalah bentuk puncak beragama setelah melalui rintisan syariat yang dalam. Beberapa ulama mengharuiskan bertarekat harus mendalami syariat. Ada pula yang memberi kelonggaran dengan bergabung dengan tetap mengharuskan pendalaman syariat. Imam Ghazali (hidup sebelum Syekh Abdul Qadri Jailani) menyerang gerakan Bathiniyah, kalangan pengamal sufisme tanpa syariat.
Dalam buku tahunan ‘The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims, 2025’ yang diterbitkan Pemerintah Kerajaan Yordania, jumlah muslim dunia sekarang (2024) mencapai sekitar 2,1 milyar dari 8,1 milyar penduduk dunia. “Meskipun statistik yang dapat diandalkan tidak tersedia untuk jutaan Muslim yang mempraktikkan mistisisme Islam (sufisme/tarekat), namun diperkirakan sekitar 25% Muslim Sunni dewasa pada tahun 1900-an berpartisipasi dalam tarekat baik sebagai murid (pengikut pembimbing Sufi dari suatu tarekat tertentu) atau mutabarrikin (pendukung atau afiliasi dari tarekat Sufi tertentu).”
Tentu, dari estimasi itu, bisa saja lebih 200 juta pengikut sufi (tarekat) di dunia dari perhitungan muslim usia dewasa. Indonesia sebagai negara muslim terbesar dengan penduduk 280 juta, tentu memiliki andil yang cukup besar dalam polulasi sufi dunia. Dan ini bisa dilihat dari aktifitas tarekat Indonesia, baik yang bernaung di bawah NU (Jam’iyyah ahlit Thariqah Mu’tabar Annahdliyah) atau yang bernaung di bawah Tarbiyah Islamiyah (Sumatera Barat), Al-Wasliyah (Sumatera Utara), Nahdlatul Watan (NTB), Darud Dakwah wal Irsyad (Sulawesi Selatan), Al-Ittihadiyah (Aceh) dan lain sebagainya.
Tentu, pengamal tarekat memiliki tingkatan lebih karena telah mencapai ihsan, melampaui iman dan Islam. Mereka bukan sekadar ahli ilmu syariat, tetapi juga ahli hakikat (esensi spiritual) dan tasawuf, serta memiliki pengalaman langsung dalam perjalanan ruhani melalui suluk yang diamalkan.
Terekat memiliki sanad (transmisi) yang jelas melalui guru-guru dan melakukan baiat sebagai ikatan batin dengan sang guru yang diyakini bertransmisi hingga Nabi Muhammad SAW. Guru (mursyid) memilik mandat membimbing spiritual muridnya.
Kehidupan sehari-hari guru tarekat mencerminkan kehambaan (‘ubudiyah) yang total dan penyaksian terhadap keesaan Allah (tauhid) serta ketaatan yang penuh pada syariat.
Teladan hidup zuhud (tidak terikat dunia), wara’ (hati-hati dengan hal yang haram dan syubhat), ikhlas serta memiliki akhlak yang luhur, santun, sabar, tawadhu’ (rendah hati), dan penyayang. Kehidupannya menjadi cermin bagi murid-muridnya. Karena itu ia mampu mendiagnosis penyakit hati muridnya dan bahkan hingga pada tingkatan kasyaf atau wali.
Semakin besarnya dan tumbuhnya aktifitas tarekat yang sudah sampai pada tingkatan mahasiswa atau pelajar, tentu menggembirakan. Kita berharap amal dan doa para sufi itu akan mengantar dunia ini damai, berkah dan sentosa.
(Musthafa Helmy)