Indeks Demokrasi Menurun, GUSDURian Ingatkan Pemerintah Agar Tak Semena-mena Soal Kebijakan dan Pajak
RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, mengungkapkan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, sementara praktik korupsi semakin marak dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan bahkan jauh lebih besar dibandingkan masa lalu. Menurutnya, salah satu gejala kemunduran demokrasi ini dapat terlihat dari aksi demonstrasi puluhan ribu warga Pati, Jawa Tengah.
Aksi demonstrasi puluhan ribu warga Pati, Jawa Tengah, yang menuntut Bupati Sudewo mundur pada Rabu (13/8), dipicu oleh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen, disebut sebagai alarm bagi pejabat daerah dan pusat agar tidak sembarangan dalam membuat kebijakan.
“Kebijakan pemerintah dibuat tanpa kajian yang cukup. Suara rakyat semakin ditekan, sehingga muncul berbagai bentuk perlawanan, mulai dari kabur aja dulu atau Indonesia gelap,” kata Alissa melalui keterangan resmi, Rabu, (20/08/25).
Alissa juga menekankan bahwa dalam sistem demokrasi, suara rakyat harus didengar dan dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, terutama untuk mengantisipasi potensi melemahnya kedaulatan sipil.
“Demokrasi hanya bisa tegak jika kedaulatan sipil tetap kuat. Kalau kekuasaan sipil berada di bawah kendali militer, suara rakyat tidak akan pernah menjadi yang utama,” tegas Alissa.
Fenomena menurunnya kualitas demokrasi ini, bersama dengan berbagai tantangan lainnya, akan menjadi fokus utama dalam Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian yang akan digelar pada 29-31 Agustus 2025 di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Selain penguatan demokrasi, TUNAS 2025 juga akan membahas isu-isu ekologis yang semakin mendesak. Alissa menuturkan bahwa krisis iklim global semakin nyata, sementara di Indonesia, dampak industri ekstraktif yang tidak terkendali semakin memperburuk kondisi.
“Hampir tidak ada, pertambangan yang benar-benar memulihkan lingkungan. Bahkan, karena penyelenggara, pemerintah itu masih abai terhadap aturan hukum, kewajiban reklamasi tidak dilakukan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban, jatuh ke lubang tambang, atau tanah tandus tanpa penghijauan kembali,” jelasnya.
Menurut Alissa, isu yang diangkat bukan sekadar masalah ekologis, melainkan juga keadilan ekologis. “Keadilan ini mencakup perlindungan bagi masyarakat adat sekaligus menjaga hak-hak alam,” tambahnya.
Alissa menambahkan bahwa dalam TUNAS GUSDURian 2025, rekomendasi konkret akan disusun untuk memperkuat demokrasi dan keadilan ekologis di Indonesia. “Gus Dur itu bekerja berbasis nilai, kita fokus pada nilai-nilai tersebut harus diturunkan dalam bentuk yang lebih kongkret,” pungkasnya
(Anisa)