Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Ali Imran ayat 31)
Ayat di atas dimulai dengan kata “Qul” yang artinya “Katakanlah!,” merupakan bentuk transparansi wahyu, menandakan bahwa Rasulullah saw tidak bicara dari hawa nafsu, tetapi mewakili langsung perintah Allah. Penegasan bahwasanya posisi nabi sebagai juru bicara ilahi, menunjukkan fungsi kenabian sebagai penyampai, bukan pengarang wahyu. Bukti adanya kredibilitas kenabian, bahwa seorang rasul adalah penyampai amanah, bukan otoritas mutlak dari dirinya semata.
Setidaknya penulis menemukan dari ayat tersebut, adanya penguatan makna yang memberikan implikasi bahwasanya apabila seseorang benar-benar mencintai Allah, maka buktikan dengan mengikuti Rasulullah saw, atau bisa juga dengan logika pemaknaan lain, bahwa awal ayat tersebut ingin menguji kejujuran orang-orang yang mengaku cinta kepada Allah, apakah dirinya sudah mengikuti Rasulullah saw? Kalau ditelisik dari susunan redaksi ayatnya, kita mendapatkan huruf “fa” yang menunjukkan akibat langsung atau konsekuensi logis dari klausa sebelumnya. Dalam makna ilmu Balaghah, “fa” juga mengandung makna iltizām (konsekuensi yang tidak terpisahkan), artinya bahwa cinta sejati kepada Allah harus dibuktikan dengan ittibā’ (mengikuti) Nabi Muhammad saw.
Atau dengan kata lain, ayat di atas merupakan makna dari verifikasi seorang hakim (penguji) bagi siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, namun tidak mengikuti Nabi Muhammad saw, maka sesungguhnya dia adalah pendusta dalam pengakuannya itu, sampai ia benar-benar mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dalam seluruh ucapan, perbuatan, dan keadaannya. Jika benar mencintai Allah, buktikan dengan mengikuti Rasulullah. Cinta kepada Allah tak cukup hanya di lisan. Harus dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah saw.
Lebih jelasnya, berkenaan dengan perihal ittiba’ pada Rasulullah saw, Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul “Al-Risalah” menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelas segala sesuatu. Allah mewajibkan para hamba untuk mengikuti wahyu-Nya melalui lisan Nabi-Nya. Maknanya, bahwa sejatinya ittibā’ (mengikuti) Rasul bukan pilihan, tapi kewajiban mutlak, karena beliau menyampaikan wahyu, bukan bicara dari diri sendiri. Lebih jelasnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak sah suatu amal kecuali dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i meyakini bahwa semua yang diputuskan oleh Rasulullah saw adalah bagian dari apa yang Allah wajibkan untuk ditaati. Konsekwensi dari menyelisihkan hukum yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, akan mendapat murka Allah. Atau kembali ke konteks ayat di atas, bahwa mengikuti Rasulullah, akan mendapat cinta dari Allah.
Marilah kita semua mengajak hati nurani kita masing-masing untuk menjawab beberapa pertanyaan. Apakah shalat kita sudah sesuai dengan ajaran Rasulullah? Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”. Apakah kita sudah meniru kelembutan Rasulullah kepada sesama muslim? Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Sudahkah kita mencontoh beliau sebagai suami, ayah, dan kepala rumah tangga yang penuh kasih? Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik kepada keluargaku.” Apakah kita hidup sederhana seperti Rasulullah yang memilih zuhud daripada kemewahan dunia? Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini ibarat seorang musafir yang bernaung di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya.” Jika beliau hadir di tengah kita, akankah kita malu karena banyak lalai dari sunnahnya?
Dalam hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, “Seorang hamba akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Dan apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” Mengapa ibadah sunnah menjadi faktor lahirnya cinta kepada Allah? Tentu karena apabila seseorang melakukan ibadah wajib kebanyakan karena rasa takut akan siksa apabila meninggalkannya. Sementara faktor yang mendorong orang melakukan ibadah sunnah bukan karena rasa takut, karena meninggalkan ibadah sunnah tidak mengakibatkan seseorang disiksa, melainkan karena ia ingin dekat dengan Allah SWT dan mendapatkan cinta-Nya lebih banyak lagi.
Amalan sunnah sejatinya tidak mesti hal-hal yang sulit. Banyak amalan sunnah yang ringan untuk dilakukan. Misalnya, memulai segala sesuatu dengan membaca basmalah. Karena melalui bacaan basmalah itulah, keberkahan akan datang. Sebagaimana hadis Rasulullah saw, “Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan Bismillah, maka terputus keberkahannya.” Sesuatu yang dimulai dengan basmalah, merupakan bukti bahwa energi niat yang tertanam dalam jiwanya, semuanya karena Allah. Keikhlasan akan lahir, tidak akan stres akibat hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Efek regulasi emosi positif akan lahir dengan sendirinya. Seorang yang pekerjaannya dimulai dengan basmalah, otaknya tidak mudah panik, karena pekerjaannya akan dilakukan dengan jujur karena merasa dipantau oleh Allah. Self-control dan self-monitoring lahir dalam dirinya. Dan yang terpenting, pekerjaan yang dilakukan merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, basmalah bukan sekadar lafaz pembuka, namun menjadi kunci arah hidup.
Amalan sunnah lainnya yang ringan untuk dilakukan adalah tersenyum. Senyum yang tulus kepada sesama muslim, walau ringan dan sederhana, dianggap sebagai sedekah di sisi Allah SWT. Tanpa perlu harta, tanpa perlu biaya, hanya dengan rasa peduli dan ketulusan, seseorang sudah bisa mendapat pahala. Senyum bukan sekadar sedekah kepada orang lain, namun menjadi terapi bagi diri kita sendiri. Dengan tersenyum, sejatinya kita telah merangsang pelepasan dopamin, seretonin, dan endorfin. Mengurangi tekanan darah dan stres. Sejatinya, senyum adalah ibadah yang membahagiakan dua hati yaitu pemberi dan penerima. Ia ringan, tapi punya efek dalam jiwa. Ia sederhana, tapi menghidupkan rasa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang senyum, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
Apabila kita telah masuk pada kategori orang yang cinta kepada Allah yang dibuktikan dengan senantiasa mengikuti sosok Rasulullah saw, maka konsekwensi yang akan kita terima dari hal tersebut pada dua hal, yaitu Pertama, kita akan dicintai oleh Allah, dan Kedua, kita akan mendapatkan pengampunan dari segala dosa yang telah kita perbuat.
Ada beberapa orang yang dicintai oleh Allah, diantaranya adalah orang yang bertaubat dan suci lahir batin, sebagaimana terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 222. Allah juga suka pada orang yang berperangai baik sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 195 dan Ali Imran ayat 134. Allah mencintai orang yang bertakwa sebagaimana terdapat pada Surah Ali Imran ayat 76. Allah mencintai kepada orang mukmin yang lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela sebagaimana terdapat dalam Surah Al Maidah ayat 54. Allah mencintai orang yang sabar sebagaimana terdapat dalam Surah Ali Imran ayat 146. Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil sebagaimana terdapat dalam surah Al Hujarat ayat 9. Dan Allah juga mencintai orang yang cinta kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana terdapat dalam surah Ali Imran ayat 31 yang diuraikan di atas.
Mengapa kata cinta yang digunakan dalam ayat di atas, menggunakan kata yuhibbu. Padahal dalam Bahasa Arab, padanan kata cinta setidaknya dalam Al-Qur’an terdapat kata yarhamu dan yarghabu. Tiga bentuk kasih sayang atau cinta dengan nuansa dan arah yang berbeda. Meskipun semuanya bisa terkait dengan cinta atau kasih, namun konteks dan penggunaannya di Al-Qur’an memberikan makna khusus masing-masing. Kata yarhamu berupa rahmat Allah kepada manusia, baik berupa ampunan, rejeki ataupun petunjuk. Kasih sayang yang diberikan oleh Allah, manusia tidak perlu membalas kasih sayang tersebut. Sebaliknya, kata yarghabu walaupun arti dalam bahasa Indonesia, juga berarti mencintai, namun lebih pada harapan dan cinta seorang hamba kepada Allah yang berupa keinginan atau harapan yang didasari cinta dan kerinduan, atau bisa jadi diiringi rasa takut, sehingga kemudian melahirkan pada diri hamba tersebut suatu ketundukan, keikhlasan dan sebagainya. Namun berbeda dengan kata yuhibbu, yang lebih pada cinta antara hamba dan Allah yang saling membalas, atau sifatnya lebih aktif, karena sifatnya timbal balik. Salah satu buktinya, terdapat pada surah Ali Imran ayat 31, bahwa orang yang cinta kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah saw, akan mendapatkan balasan cinta dari Allah SWT.
Konsekwensi kedua dari cinta kepada Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah saw, akan mendapatkan ampunan atas segala dosa yang diperbuat. Allah dalam ayat tersebut akan mengampuni dosanya. Padanan dosa yang dilakukan oleh manusia di dalam Al-Qur’an beragam kata, walaupun memiliki makna yang berbeda. Misalnya ada kata khotiat, sayyiat, dan dzanbun (jamaknya dzunub). Kata dzanbun, di Al-Qur’an muncul 17 kali, baik dalam bentuk tunggal dan jamak. Kata dzanbun, seringkali dikaitkan dengan maghfirah (pengampunan), karena dzanbun yang dilakukan membutuhkan taubat yang serius bagi pelakunya untuk mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Kalau ditelisik dari akar katanya dalam Bahasa Arab, yaitu dzanab yang berarti ekor, menunjukkan bahwa dosa ini mengikuti pelakunya seperti bayangan yang membuntuti, dan akan menghantarnya kepada azab jika tidak segera bertaubat. Dosa bukan hanya menyebabkan murka, tapi mematikan rasa rindu dan rasa takut kepada Allah SWT. Maksiat yang akan membuahkan dosa dan akan menjadi titik hitam dalam hati pelakunya. Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn mengatakan, “Setiap maksiat meninggalkan titik hitam di hati. Jika terus dibiarkan, hati menjadi gelap dan mati.” Namun kita juga perlu merenungi perkataan Ibn ‘Aṭā’illah dalam al-Ḥikam, ia mengatakan, “Seburuk-buruk dosa adalah yang membuatmu tidak lagi merasa berdosa.” Orang yang berdosa tapi menangis karena dosa, lebih dekat kepada Allah daripada orang yang rajin ibadah tapi sombong.
Kembali kepada teks ayat di atas, bahwa kita lihat kata ampunan yang digunakan oleh Allah adalah Yaghfir yang artinya Allah mengampuni. Dalam hal ini, Allah menutupi dosa yang telah kita perbuat dan lepas dari hukuman, namun catatan dosa tersebut masih tercatat. Dosa tidak dihapus sepenuhnya, hanya ditutupi dari hukuman. Pengampunan tersebut sejatinya merupakan bentuk rahmat Allah yang sifatnya universal, awal dari belas kasih Allah. Dengan penyebutan yaghfiru itulah, kasih sayang Allah dimulai. Namun yang perlu menjadi perhatian, pengampunan berupa penutupan dosa walaupun masih tetap tercatat. Maknanya, agar hamba tetap khawatir dan tidak merasa aman dari dosa, walau dicintai Allah. Maka relevan sekali kemudian ayat di atas ditutup dengan dua sifat Allah, yaitu Al-Ghafur dan Ar-Rahim. Dua kata ini sering dipasangkan dalam Al-Qur’an setidaknya 70 kali. Keduanya memiliki keterhubungan makna yang kuat antara satu dengan lainnya. Ampunan Allah yang terdapat dalam sifat Al-Ghafur, muncul karena kasih sayang yang dimiliki oleh Allah yang terdapat dalam sifat Ar-Rahim. Wallahu A’lam.
Dr. Iwan Kuswandi, M.Pd.I (Pengurus Takmir Masjid Gemma Prenduan Sumenep).