Oleh: Prof. Dr. Zubaedi M. Ag M.Pd (Wakil Ketua PWNU Bengkulu – Wakil Rektor 2 UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu)
Kementerian Agama RI akan menerapkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) mulai tahun ajaran 2025/2026, dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan humanis.
Kemenag telah menunjuk 12 madrasah percontohan untuk menerapkan kurikulum ini, yang meliputi jenjang RA, MI, MTs, dan MA. Kurikulum ini diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang lebih humanis dan berbasis nilai-nilai kasih sayang di madrasah. Penerapan Kurikulum Berbasis Cinta di madrasah ini merupakan langkah strategis dari Direktorat KSKK Madrasah Kemenag. Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan karakter dan emosional siswa melalui nilai-nilai cinta, toleransi, dan empati.
Berkaitan dengan latar belakang dari perlunya penerapan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) ini, Menag RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA menilai bahwa banyak potensi konflik muncul dari ajaran agama yang menanamkan kebencian terhadap kelompok lain yang perlu diantisipasi sejak dini. Atas pertimbangan ini, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) diperlukan dalam upaya mengajarkan cinta kepada sesama warga negara meskipun berbeda agama.[1]
Tentu saja umat Islam dan umat-umat beragama lain perlu menyambut gagasan ini. Hal ini mengingat gagasan ini memiliki pijakan teologis yang kuat serta sangat diperlukan dalam menyemai kehidupan yang rukun di antara sesama. Apalagi setelah disadari upaya-upaya penciptaan, pengkondisian dan penguatan kerukunan antar umat beragama sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa yang majemuk. Upaya-upaya pencegahan melalui lembaga pendidikan diduga sangat efektif dalam rangka meredam kecenderungan prilaku intoleran yang kadang-kadang masih mengemuka. Di antara kita seringkali mudah meletup sikap saling menyalahkan, bahkan saling membenci antar sesama karena masalah-masalah sepele.
Oleh karena itu, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) ini hadir sebagai solusi melalui insersi nilai-nilai keberagaman dalam berbagai mata pelajaran. Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) tidak diperkenalkan sebagai mata pelajaran baru, melainkan akan diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang sudah ada. Mengutip pernyataan Dirjen Pendis, Prof. Dr. Suyitmo M. Ag, Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam telah menyiapkan buku panduan yang akan menjadi acuan bagi para pendidik dalam menyisipkan nilai-nilai cinta, toleransi, dan spiritualitas ke dalam pembelajaran. Strategi implementasi kurikulum ini akan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Misalnya, di tingkat Pendidikan Raudhatul Athfal (RA/PAUD), metode pembelajaran akan menggunakan permainan dan pembiasaan positif. Sementara itu, di jenjang pendidikan lebih tinggi, pendekatan berbasis pengalaman dan refleksi akan lebih ditekankan.[2]
Dimensi Cinta dalam Sufi
Sikap dan prilaku cinta (mahabbah) sejatinya menjadi ruh Islam. Umat manusia wajib mencintai Allah secara total karena Allah telah memberikan kasih dan sayangnya kepadanya sebelum diminta. Dialah Allah Yang Maha Pengasih (ar-rahman), Pemilik dan sumber sifat kasih. Dialah Tuhan Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk. Allah Maha Penyayang (ar-rahim) Yang selalu tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman.
Sangat wajar jika masalah cinta (mahabbah) menjadi pembahasan utama, terutama dalam ilmu tasawuf. Mahabbatullah atau cinta kepada Allah, mendorong seorang Muslim untuk senantiasa merasakan dekat dengan-Nya, mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Mahabbah dalam konteks ini dipahami sebagai kesadaran akan kedekatan diri dengan Tuhan yang dicapai melalui penyaksian terhadap hakikat-hakikat-Nya. Disebut mahabbah (yang berarti cinta) karena kesadaran semacam ini menyingkap sisi Tuhan yang paling indah yang menimbulkan rasa kagum, senang dan cinta kepada-Nya. Kalangan khusus adalah para wali yang dekat dengan Tuhan, atau para ulama yang tulus dalam keimanan mereka.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa kata al–mahabbah” berasal dari kata “al-habab” yang berarti “air yang meluap ketika hujan deras turun”. Dengan demikian, kata al–mahabbah berarti meluapnya hasrat dalam hati ketika ia merindukan perjumpaan dengan yang dicintai. [3]
Ada juga yang mengatakan, mahabbah adalah penghapusan pencinta terhadap sifat-sifat dirinya dan penetapan oleh Sang Kekasih sendiri.” Ada yang mengatakan, mahabbah adalah setujunya hati dengan berbagai kehendak Tuhan.” Al-Junaid pernah ditanya tentang mahabbah, lalu ia menjawab, “Masuknya kejernihan kekasih sebagai pengganti kejernihan pencinta.” Asy-Syibli mengatakan, “mahabbah disebut dengan mahabbah karena ia menghapus selain kekasih dari dalam hati.” [4]
Ada pula yang mengatakan, mahabbah adalah jika seluruh kehendak pencinta bersesuaian dengan seluruh kehendak kekasih sehingga pencinta tidak lagi memiliki kehendak. Asy-Syibli ditanya: “Mengapa mahabbah beriring dengan ujian?” Jika berbicara, dengan Allah, Jika mendengar, dari Allah. Jika bergerak, atas perintah Allah. Jika diam, bersama Allah. Dirinya adalah dengan Allah, untuk Allah, dan bersama Allah. Para syekh pun menangis dan mengatakan, “Tidak ada lagi yang lebih dari ini. Semoga Allah mencukupimu, wahai mahkota para arif.”
Dikatakan, mahabbah itu awalnya adalah Dia mencintai mereka dan akhirnya adalah mereka pun) mencintai-Nya. Dan, di antara awal dan akhirnya terdapat darah yang bercucuran dan ruh yang terbang menuju Kekasih.”
Al-mahabbah adalah perasaan cinta yang mendalam secara ruhaniah kepada Allah Swt. Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi “diri yang dicintai”. Mahabbah mengandung makna keridha-an Allah Swt yang diberikan kepada umant-Nya, keinginan manusia untuk menyatu dengan Tuhan-Nya dan perasaan bersahabat manusia dengan yang lainnya.
Aktualisasi Cinta
Cinta ilahi dalam tasawuf memberikan makna yaitu terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah Swt sehingga menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap hati hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah Swt, rasa cinta dan rindu tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah Swt. Lebih lanjut, ajaran tasawuf menekankan cinta yang dikembangkan dan jadi pangkal kehidupan batin seorang sufi adalah cinta Rindu atau cinta zat Allah Swt yang emosional murni (‘athifi), yakni cinta emosional yang menggerakkan rasa rindu untuk dapat bertemu muka sang (Alllah Swt).
Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih dapat tercapai melalui proses perjalanan panjang dan berat (riyadhah dan mujahadah) sehingga pengenalannya kepada Allah Swt menjadi sangat jelas dan pasti. Dalam hal ini, yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Madaarij As-Saalikiin telah menyebutkan sepuluh tingkatan cinta sebagai berikut:
- Al-‘Ilaaqah, cinta yang terbentuk karena hubungan ketergantungan hati sang pencinta dengan kekasihnya. Dalam konteks cinta insani, kecenderungan ini sudah sangat terjadi jika dua hati sudah saling bertaut satu sama lain. Sebab, kalau tidak demikian tentu tak akan pernah ada rasa cinta di antara keduanya.[5]
- Al-Iraadah, kecenderungan hati sang pencinta kepada orang yang dicintainya. Pada dasarnya, jenis cinta ini masih mirip dengan jenis cinta yang pertama Al-‘Ilaaqah, tetapi sudah pasti derajat dan kedudukannya setingkat lebih tinggi.
- Ash-Shabaabah, yaitu tercurah (tumpah)-nya hati sang pencinta kepada kekasihnya. Cinta seperti ini cenderung tidak terbendung, ibarat tumpahnya air hujan dari puncak gunung.
- Al-Gharaam, yaitu cinta yang benar-benar sudah merasuk ke dalam hati sang pencinta dan tidak terpisahkan darinya. Karena itu, hal ini disebut juga “cinta yang menyala-nyala”.
- Al-Widaad, cinta yang merupakan sifat dan intinya. Cinta ini bersumber dari salah satu sifat (asma) Allah, Al-Waduud, yang memiliki dua makna: Allah yang mencintai hamba-Nya (al-Waddin) dan Allah yang dicintai hamba-Nya (al-Habiibb. Kedua istilah ini berasal dari akar kata mawaddah (pengasih atau penyayang).
- Asy-Syaghaf, yaitu cinta yang mendalam. Dalam arti, sampainya cinta ke relung hati sang pencinta yang paling dalam—sebagaimana cintanya Al-Aziz kepada Nabi Yusuf as.
- Al-‘Isyq, cinta yang memuncak dan cenderung berlebihan sehingga dikhawatirkan dapat berdampak negat if bagi para pelakunya. Orang yang mengalami kondisi cinta ini umumnya akan lepas kendali sehingga disebut juga “mabuk cinta”.
- At-Tayammum, cinta yang sifatnya memperbudak dan cenderung merendahkan diri sehingga sang pencinta selalu tunduk kepada kekasihnya. Cinta seperti ini dapat menimbulkan kegundahan hati (galau) pada diri sang pencinta.
- At-Ta‘abbud, yaitu cinta yang berupa penghambaan, tetapi dengan bentuk penghambaan yang tulus, total, dan karena itulah derajatnya setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan at-tayammum. Istilah “hamba” (al- ‘abd) di sini berarti orang yang dirinya telah dikuasai secara total oleh sang kekasih sehingga tak ada lagi yang tersisa pada dirinya kecuali telah menjadi milik sang kekasih, secara lahir maupun batin. Cinta seperti inilah yang disebut “haqaaiq Al-‘ubuudiyah”. Barangsiapa yang ta‘abbud-nya sempurna, maka akan sempurna pula tingkatan cintanya.
- Al-Khullah, cinta yang sudah merasuk ke dalam jiwa dan hati sang pencinta sehingga di dalamnya tidak ada tempat lagi bagi selain kekasihnya. Dalam konteks ini, kata AI-khullah berkaitan dengan sebutan Al-khalil yang berarti menunggalkan cinta hanya untuk sang kekasih, sebagaimana gelar kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim Khalilullah—sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an: Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi ‘khalil’ (kesayangan)-Nya (QS. an-Nisaa’ [4]: 125).[6]
Syandan, berapa pun dan betapapun banyaknya nama-nama yang dimiliki Allah Al-Jamiil, semuanya akan bermuara pada satu titik pusat: Cinta Ilahi (mahabbatullah). Dalam arti, semua nama yang dimiliki Allah ta’ala itu pada hakikatnya merupakan bentuk manifestasi cinta dan kasih sayang-Nya Yang Mahaluas kepada semua makhluk-Nya. Dengan demikian, maka tidak ada satu nama pun yang dimiliki Allah itu yang esensi maknanya terlepas dari sifat cinta dan kasih sayang-Nya. Sebab, Cinta Ilahi adalah spirit segala ciptaan dan menjadi sumber seluruh gerakan.[7]
Dikatakan Maulana Jalaluddin Rumi, cinta justru dapat mengubah sesuatu yang negatif menjadi hal yang positif atau sebaiknya:
Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis
Lewat Cintalah semua yang tern baga akan jadi emas
Lewat Cintalah semua yang endapan akan jadi anggur murni
Lewat Cintalah semua kesedihan akan menjadi obat
Lewat Cintalah si mati akan menjadi hidup
Lewat Cintalah sang raja akan menjadi budak.
Cinta dapat mengubah seseorang menjadi orang (pribadi) lain. Cinta dapat mengubah seseorang yang semu-la dikenal sangat pendiam menjadi si seorang pembual ulung, orang yang pemalu sanggup tampil dengan gagah-nya di depan publik, atau orang yang penakut menjadi sangat pemberani layaknya Umar bin Khaththab ra. Sebaliknya, cinta juga dapat mengubah pribadi yang biasanya tampil urakan mendadak menjadi seorang yang berpenampilan menawan, seorang bandit menjadi alim, bahkan seorang pelacur dapat berubah menjadi wanita saleh.
Konon, seorang Arab badui pernah menyatakan, “Cinta itu melembutkan jiwa, mencerdaskan pikiran, membuat hati bergelora, dan menguasai tubuh.” Sementara itu, Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika rasa cinta ada di hati dua insan, maka keduanya akan merasa tenteram, senang, dan menyebabkan kebersamaan dalam hu-bungan mereka.” Selain itu, ada pula orang yang menga-takan, “Ketika cinta telah bersemi, dunia pun akan terasa serba indah.” Ringkas kata, jika cinta ditempatkan pada koridor yang benar, maka hidup pun pasti akan terasa indah.[8]
Cinta kepada Allah bukan hanya tentang mengungkapkan kata-kata, tetapi juga bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari. Cinta ini membuat kita merindukan pertemuan dengan-Nya, mematuhi setiap perintah-Nya, dan berusaha selalu berada dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. Ini juga memotivasi seorang Muslim untuk menjaga hubungan baik dengan sesama, karena kita tahu bahwa mencintai Allah, berarti juga mencintai makhluk-Nya. Mahabbah kepada Allah adalah cinta yang murni dan mendalam. Tidak tergoyahkan oleh apa pun. Cinta ini akan membawa seseorang untuk hidup dalam ketulusan, kebaikan, dan kesetiaan kepada Allah pada setiap tindakan.[9]
Seorang sufi perempuan, Rabiah al-Adawiyyah berpendapat bahwa proses dari taubat ke sabar, ke tawakkal sampai ke syukur, ridho. Itu semua stasiun-stasiun. Cinta, ma’rifat, dia katakan semua proses ini cerminan dari cinta. Kata Syekh Mutawalli al-Sya’rani, cinta ada dua macam: ada cinta dengan emosi dan cinta dengan akal. Kita dituntut mencintai Allah dan Rasulnya.
Cinta kepada Allah hanya mungkin diperoleh manusia selagi ia hidup di dunia. Ia berakar di hati manusia mukmin. Ia tak terpisahkan dari makrifat. [10] Hanya kadar kekuatannya berbeda antara manusia mukmin yang satu dengan yang lain. Cinta yang kokoh dan menguasai hati hingga lupa diri—dikenal dengan nama ‘isyq (mabuk)—tidak dimiliki manusia kebanyakan.
Sang Hujjatul Islam itu mengatakan, cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual. Ini senada dengan firman Tuhan surat al-Ma`idah ayat 54, “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” Hubungan saling mencintai inilah yang diidam-idamkan para sufi. Cinta dalam bahasa Arab disebut mahabbah atau hub, yang berasal dari kata habb, artinya biji-bijian. Biji inilah yang akan menumbuh-kembangkan tunas-tunas kebajikan dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazali, setelah mahabbah kepada Allah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah yang mengikutinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla). [11]
Menurut Prof. Quraish Shihab, kalau kita ingin dianggap orang yang mencintai Allah dan rasulnya maka carilah apa yang disukai Allah lalu kerjakan. Jangan cari apa yang anda sukai. Kita temukan dalam ayat-ayat al-Qur’an sekian banyak hal yang dinyatakan: saya suka yang begini, lakukanlah itu.
Dijelaskan Prof. Quraish Shihab, Allah berfirman: Innallah yuhibbul muhsinin (Q.S al-Baqarah: 195) , Q.S Ali Imran: 134 dan 148, serta Q.S al-Maidah: 13 dan 93). Allah menyukai orang-orang yang muhsin, yaitu: yang memberi lebih banyak daripada kewajibannya, menuntut lebih sedikit dari haknya, berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah kepadanya. Allah suka itu.
Begitu pula dalam firman Allah Innallahu yuhibbul muttaqin (q.s Ali Imran ayat 76 dan q.s At-taubah ayat 4 dan 7), diartikan bahwa Allah suka kepada orang-orang yang menghindari apa yang bias mencelakakan dia. Taqwa itu artinya menghindar dari sesuatu, menghindar dari siksa Allah baik di dunia maupun di akherat. Kalau anda berusaha menghindari dari apa yang dapat mencelakakan anda, maka Allah menyukai anda.
REFERENSI:
[1] Sarah Shafira Sandy, ” Menag Sebut Sedang Susun Kurikulum Cinta, Apa Itu?, Artikel dalam kemenag.go.id/, Dipublikasikan 16 Januari 2025, https://kemenag.go.id/nasional/menag-sebut-sedang-susun-kurikulum-cinta-apa-itu-yqDxm
[2] Kontibutor, “Apa Kurikulum Cinta? Ini Pengertian dan Strategi Implementasinya”, Artikel dalam kemenag.go.id, Dipublikasikan 26 Februari 2025, https://kemenag.go.id/nasional/apa-kurikulum-cinta-ini-pengertian-dan-strategi-implementasinya-MKyP0
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Rhaudatul Muhibbin wa Nuzahtul Musytaqin¸Terj.Raudhatul Muhibbin Taman Orang-orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Oleh. Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Qisthi Press, 2011, Cet. I). hal. 25.
[4] Syekh Izzuddin bin Abdussalam, Zubad khulashah at-Tashawwuf wa Huwa al-Musamma Hail al-Rumuz wa Mafatih al-Kunuz, Terj. Rahasia Makrifat, Oleh. Kaserun AS Rahman (Jakarta: PT. Al-Qaf, 2022, Cet. I), hal. 102.
[5] Jamaluddin el-Banjari, Agama Cinta (Jakarta; Elex Media Komputindo, 28 October 2019), hal. 35.
[6] Jamaluddin el-Banjari, Agama Cinta………, hal. 37.
[7] Jamaluddin el-Banjari, Agama Cinta………, hal. 76.
[8] Jamaluddin el-Banjari, Agama Cinta………, hal. 13.
[9] Ren Muhammad, “Menuju Dimensi Kenabian: Jalan Ilmu dan Cinta Universal”, Artikel dalam alif.id/rea, Dipublikasi 18 Desember 2024, https://alif.id/read/ren-muhammad/menuju-dimensi-kenabian-jalan-ilmu-dan-cinta-universal-b250280p/
[10] Imam al-Ghazali, a-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Terj. Rindu Tanpa Akhir, Seni Meraih Cinta, Rida dan Damai Bersama Allah, Oleh. Asy’ari Khatib (Jakarta: Penerbit Qaf, 2024, Cet. I0, hal. 112.
[11] M Izzul Mutho Masyhadi, “Meraih Prestasi dengan Mahabbah”, Artikel dalam https://banten.nu.or.id, Dipublikasi , 27 Januari 2023, https://banten.nu.or.id/tauhid/meraih-prestasi-dengan-mahabbah-QCg9Z