Kitab Haul al-Ihtifâl bi Dzikrâ al-Maulid al-Nabawî al-Syarîf: Seputar Perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W.

0

Mukaddimah

Momentum bulan maulid yang kita lalui saat ini menjadi titik sentral dalam mengingat kembali sejarah hidup Nabi Besar Muhammad s.a.w.. Dimulai sejak bulan Rabiul Awal, hingga bulan-bulan setelahnya, setiap individu komunitas muslim merayakan kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan penuh gembira. Hal itu sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan kecintaan atas kelahiran sosok yang menginspirasi dunia lewat perjuangan dakwah yang gigih. Dialah Nabi Muhammad s.a.w., figur yang mampu mengubah tatanan kehidupan bangsa Arab yang termarjinalkan oleh hegemoni dua emperium besar, Romawi dan Persia, menjadi bangsa yang mempu meruntuhkan dua hegemoni besar tersebut. Nabi Muhammad s.a.w. lewat ajaran Islam-nya sebagai rahmat bagi semesta, mampu menembus dimensi kehidupan, baik kehidupan dunia terlebih kehidupan akhirat.

Hujjah Merayakan Maulid Nabi

          Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (w. 1425 H) adalah salah satu dari sekian ulama yang membahas persoalan maulid dengan pendekatan teks-teks keagamaan, baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan pandangan para ulama tentang itu. Kitab “Haul al-Ihtifâl Bi Dzikrâ al-Maulid al-Nabawî Al-Syarîf” yang ditulis oleh Sayyid Muhammad al-Maliki sebenarnya merupakan ceramah yang beliau sampaikan di beberapa pertemuan, perkuliahan, dan seminar-seminar di dalam dan di luar negeri. Dalam rangka memperkuat narasi akademik mengenai persoalan maulid, maka inisiasi menuliskannya dalam bentuk kitab mau tidak mau harus beliau lakukan. Tujuannya, menurut Sayyid Muhammad, agar kaum muslimin tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang akan menjauhkan mereka dari sosok panutan sepanjang masa, yaitu Nabi Muhammad s.a.w..  Walhasil, kitab yang diberi nama Haul al-Ihtifâl Bi Dzikrâ al-Maulid al-Nabawî Al-Syarîf ini hendak memberikan pemahaman kepada para kaum muslimin, bahwa Maulid Nabi Muhammad s.a.w. merupakan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi akhir zaman tersebut.

Pada awal bab dalam kitab ini, Sayyid Muhammad mengajukan sebuah pertanyaan: “Hal Ihtifâl bi al-Mualid Al-Nabawî Wâjib?” Apakah merayakan maulid Nabi adalah suatu kewajiban? Pertanyaan ini diajukan sebagai respons atas narasi yang dibuat oleh kaum mutasyaddidûn (radikalis) yang cenderung mempermasalahkan maulid. Bagi kaum mutasyaddidûn, perayaan maulid seringkali dianggap tsawabit dalam Islam yang menyamai hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di samping itu, mereka juga beranggapan bahwa maulid merupakan perkara bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah s.a.w., sehingga barang siapa yang mengerjakannya, divonis sesat dan berpotensi masuk neraka. Atas dasar itulah, Sayyid Muhammad terpanggil untuk menjawab sekaligus mengoreksi kesalah-pahaman dan paham yang salah atas maulid nabi. Pada halaman 10 dalam kitab ini, Sayyid Muhammad menegaskan bahwa perayaan maulid Nabi bukanlah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut beliau, maulid Nabi lebih agung dari hari raya, karena hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha hanya dirayakan sekali dalam setahun. Sedangkan maulid Nabi yang di dalamnya terdapat perenungan dan pembelajaran sejarah perjalanan hidup beliau harus dirayakan setiap waktu dan tempat.

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, mereka yang menetapkan maulid sebagai hari raya merupakan golongan orang yang sempit pemikirannya, serta tidak layak untuk disebut sebagai ahli ilmu.  Pada hakikatnya, maulid Nabi Muhammad s.a.w. merupakan tradisi, sebagai bentuk kegembiraan dan kebahagiaan. Kebiasaan orang-orang Timur Tengah dalam mengapresiasi kebahagiaan seringkali diungkapkan dengan kata “Ied” atau perayaan. Tetapi, maknanya bukan ke arah hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, namun lebih kepada ekspresi kebahagiaan terhadap momentum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.. Lagi pula, ekspresi kebahagiaan dalam memperingati maulid Nabi merupakan sesuatu yang baik, karena tanpa kelahiran Nabi, mustahil ada al-Bi’tsah atau pengangkatan sebagai rasul. Tanpa kelahiran Nabi, mustahil ada Nuzûl al-Qur’ân, ada Isrâ’ dan Mi’râj, dan peristiwa-peristiwa lain sebagai bagian dari sejarah perjalanan Nabi Muhammad s.a.w..

Pada halaman 13 dari kitab Haul al-Ihtifâl Bi Dzikrâ al-Maulid al-Nabawî Al-Syarîf ini pula, Sayyid Muhammad bin Alawi kembali mengajukan narasi, bahwa tidak pantas bagi seorang yang berakal bertanya: “Mengapa harus merayakan maulid Nabi, seolah-olah ia mengatakan mengapa harus bergembira dengan kehadiran Nabi”. Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu dijawab, karena memang berangkat dari pertanyaan yang salah. Jika memang harus ada jawaban, maka jawaban yang paling tepat adalah: “Kami merayakan maulid Nabi, karena kami bahagia dan bergembira dengannya, dan kami mencintai beliau, karena kami mukmin”. Inilah silogisme logis yang dipaparkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi dalam rangka memperkokoh argumentasi yang dikemukakannya, terkait pentingnya merayakan maulid Nabi Muhammad s.a.w.. Tentu saja, hujjah ini berangkat dari dalil al-Qur’an: “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus, 10:58).

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, akar sejarah dari perayaan maulid Muhammad dimulai pada waktu beliau masih hidup. Narasi itu berdasarkan sebuah hadits mengenai puasa hari Senin yang selalu Nabi Muhammad s.a.w. lakukan. Beliau bersabda: “Beliau ditanya mengenai puasa pada hari senin, beliau menjawab: “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku”. (HR. Muslim, 1977). Selanjutnya Sayyid Muhammad menegaskan bahwa klaim yang menyatakan bahwa sejarah maulid berasal dari dinasti Fatimiyyin adalah framing yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang buta terhadap kebenaran untuk memperlemah landasan syariah terkait perayaan tersebut.

Tidak hanya itu, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki juga mengutip pendapat para ulama seperti Jalâluddîn al-Suyûthî (w. 911 H), Syamsuddîn al-Jazarî (w. 833 H), dan Syamsuddîn al-Dimasyqî (w. 727 H). Menurut Jalâluddîn al-Suyûthî, perayaan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diekspresikan lewat kegembiraan dilakukan oleh beliau dengan cara mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi rasul. Hal itu beliau lakukan karena kakeknya, yakni Abdul Muthallib mengaqiqahi dirinya setelah tujuh hari dari kelahirannya. Pada hakikatnya, aqiqah itu dilakukan hanya sekali dalam hidup. Namun Nabi Muhammad s.a.w. melakukan aqiqah kedua kalinya untuk diri sendiri setelah diangkat menjadi rasul merupakan bentuk syukur kepada Allah yang telah menjadikan keberadaannya sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena itu, disunnahkan bagi kita sebagai umatnya untuk mengekspresikan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. tersebut dengan cara berkumpul lalu makan bersama dan atau dengan cara apapun sebagai ekspresi kegembiraan lainnya.

Menurut Syamsuddîn al-Jazarî dalam kitabnya “’Arfu al-Ta’rîf bi al-Maulîd al-Syaîf”, perayaan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. merukan ekspresi kebahagiaan kaum muslimin terhadap kelahiran beliau. Dengan menyitir sebuah riwayat tentang kondisi Abu Lahab di alam barzakh, yang mendapat keringanan siksaan pada malam senin lantaran berbahagia atas kelahiran keponakannya itu. Dalam sejarah, Abu Lahab pernah membebaskan budaknya yang bernama “Tsuwaibah” karena ia memberikan kabar atas kelahiran keponakannya itu. Saking bahagianya, ia membebaskan Tsuwaibah karena memberikan kabar tersebut. Menurut al-Jazarî, jika Abu Lahab yang kafir saja bisa mendapatkan rahmat maulid Nabi Muhammad s.a.w., lalu bagaimana dengan kaum muslimin yang merayakan maulid karena dasar cintanya kepada beliau? Bukankah kaum muslimin lebih mulia dari Abu Lahab?

Penutup

Kitab Haul al-Ihtifâl Bi Dzikrâ al-Maulid al-Nabawî Al-Syarîf yang ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Hasani al-Maliki adalah salah satu kitab yang mengulas secara komprehensif mengenai Maulid Nabi Muhammd s.a.w.. Di dalamya memuat beberapa dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’ yang memperbolehkan perayaan maulid yang dilakukan oleh para ulama salaf dan khalaf hingga saat ini. Tidak hanya itu, yang menjadi distingsi kitab ini adalah karena di dalamnya memuat beberapa premis yang menggugat analogi kaum yang menolak perayaan maulid, sehingga sulit bagi mereka untuk membantahnya. Dengan merayakan maulid Nabi Muhammad s.a.w. sebagai ekspresi kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau, kita kelak mendapatkan syafaatnya. Âmîn Yâ Rabbal ‘Âlamîn…

H.Mohammad Khoiron (Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.