Akhir-akhir ini perbincangan mengenai feodalisme di lingkungan pesantren kembali menjadi sorotan di berbagai platform media sosial. Banyak pihak menilai bahwa hubungan antara kiai dan santri bersifat hierarkis dan cenderung feodal. Tidak sedikit pula yang mengaitkan persoalan ini dengan Nahdlatul Ulama (NU) hingga menimbulkan stigma negatif.
Kira-kira jika K.H. Hasyim Asy’ari masih ada, bagaimana tanggapan beliau terhadap tuduhan feodalisme dalam pendidikan pesantren? Sikap pengabdian santri terhadap gurunya menjadi sorotan, lantaran dianggap berlebihan dan selalu berdalih barokah. Salah satu bentuk tuduhan tersebut adalah kebiasaan santri yang menunduk atau bahkan berjalan dengan merangkak (ngesot) di hadapan guru. Namun, benarkah sikap semacam itu mencerminkan feodalisme atau justru merupakan ekspresi penghormatan (ta’dzim) dalam tradisi pesantren?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai budaya feodalisme yang marak dikaitkan dengan dunia pesantren, alangkah baiknya kita ulas terlebih dahulu apa itu feodalis? Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial dengan mengagungagungkan jabatan atau pangkat bukan mengagungkan prestasi atau ilmu.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa feodalisme adalah kekuasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok atas kelompok lain yang mana kekuasaan tersebut memberinya hak istimewa. Lebih mengerucut lagi, feodalisme dalam pendidikan merupakan suatu paham yang tumbuh dan berkembang dalam dunia pendidikan di mana pendidik memiliki kekuasaan yang absolut sebagai eksekutor dalam pendidikan, sedangkan peserta didik merupakan orang yang sepenuhnya berada dalam komando pendidik atau senioritas selalu benar dan junior selalu siap untuk salah.
Dilihat dari pengertian di atas, feodalisme merupakan hubungan sosial yang berorientasi pada sebuah kekuasaan, semakin tinggi pangkat atau kedudukan seseorang maka akan semakin dihormati. Hal itu jelas bertentangan dengan tradisi pesantren yang mana para santri menghormati kyai atau guru bukan berdasarkan kekuasaan atau pangkat yang dimiliki kiai namun berdasarkan pada keilmuan yang dimilikinya.
Sebagaimana firman Allah dalam penggalan QS. Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya: “Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dikutip dari Tafsir Kemenag, penggalan ayat tersebut menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat, dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tentram dalam masyarakat. Demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang
mempunyai derajat paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu serta mengamalkan ilmunya sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya.
Dalam hal ini, Kyai atau guru termasuk ke dalam kriteria yang disebutkan dalam penggalan ayat tersebut yaitu orang yang berilmu dan menggunakan ilmunya untuk menegakkan agama Allah. Dengan demikian, penulis tegaskan bahwa Allah saja memuliakan orang-orang yang berilmu dengan mengangkat derajatnya. Lantas salahkah apabila kita sebagai santri memuliakan para kiai? Bahkan sahabat Ali ra. Mengatakan bahwa “Aku adalah budak dari orang yang mengajariku walau hanya satu huruf. Jika dia mau silakan menjualku, atau memerdekakanku, atau tetap menjadikanku sebagai budaknya”. Maqalah tersebut diabadikan oleh Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim wa Muta’allim. Dari perkataan sahabat Ali menguatkan bahwasannya kita sebagai murid sudah sepatutnya ta’dzim pada guru.
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim Walmuta’allim halaman 30, menjelaskan bahwa salah satu adab santri kepada gurunya yaitu memandang guru dengan pandangan bahwa dia adalah sosok yang harus dimuliakan dan dihormati serta berkeyakinan bahwa guru itu mempunyai derajat yang sempurna, karena pandangan seperti itu paling dekat pada kemanfaatan ilmunya. Imam Abu Yusuf, seorang ulama masyhur di
masa kekhalifahan Abbasiyah mengatakan “Aku mendengar para ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak mempunyai sebuah (i’tikad) atau keyakinan tentang kemuliaan gurunya, maka ia tidak akan bahagia”.
Berdasarkan maqalah-maqalah di atas dapat menjadi dasar untuk membantah tuduhan bahwa sikap santri terhadap guru yang dianggap berlebihan itu sebagai ekspresi penghormatan terhadap kyai atau guru. Perlu diperhatikan juga bahwasannya dalam tradisi pesantren tidak hanya santri yang harus menghormati guru, namun ada juga adab guru terhadap muridnya. Sebagaimana dalam kitab adabul ‘alim wa muta’alim halaman 91-92 disebutkan bahwa seorang guru hendaknya bersikap lemah lembut pada santri. Selain itu, seorang guru juga hendaknya senantiasa membantu santri dalam menuntut ilmu dengan harta maupun tenaganya dengan tanpa terpaksa. Dengan melakukan hal tersebut maka Allah akan memudahkan hisabnya di hari kiamat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tuduhan terhadap sikap santri yang dianggap feodalisme itu tidak benar. Sikap tersebut murni karena bentuk penghormatan santri terhadap guru dan telah diajarkan oleh ulama-ulama terdahulu seperti KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul adabul ‘alim wa muta’alim dan Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim wa Muta’alim. Selain itu, penghormatan santri terhadap guru mendapatkan timbal balik yang mana seorang guru hendaknya memiliki adab terhadap santrinya. Kita sebagai santri, khususnya dalam ruang lingkup NU haruslah tetap melestarikan tradisi pesantren, sebagaimana yang sudah diajarakan bahkan dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarnuj, Burhanul Islam. 2009. Ta’limul Muta’allim. (Surabaya: CV. Grafika)
Asyari, Hasyim. 2018. Adabul ‘Alim Wal Muta’allim. (Yogyakarta: DIVA Press)
Departemen Kementrian Agama. 2016. Kemenag Tafsir Ringkas. (Jakarta:Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an)
Oleh: Aisyah Nurul Aini, Nanda Kartika Putri, Nisaus Sholihah (Mahasiswa UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan).