Kiai Hadi asal Girikusumo, Demak, Jawa Tengah, terpana dan terkagum-kagum dengan penampilang seorang laki-laki setengah baya yang ditaksir berusia sekitar 40 tahun di salah satu sudut Masjidil Haram. Ia duduk di kursi tinggi dan mengajar puluhan murid dalam bahasa Arab.
Kiai Hadi tahu bahwa yang mengajar itu adalah orang Jawa, terlihat dari aksennya. Melihat yang diajar banyak dari Arab, India dan sedikit dari Nusantara, ia memastikan kehebatannya. Di Mekah pada saat itu ada tiga ulama Nusantara sekurun yang menonjol. Syekh Nawawi Banten, Kiai Saleh Darat, Kiai Kholil Bangkalan. Setelah Syekh Nawawi wafat, Syekh Khatib Minangkabau menggantikan posisi mengajarnya di Masjidil Haram.
Kiai Hadi langsung menemui Kiai Saleh. Jika ulama besar yang alim hanya mengajar di Tanah Suci lantas bagaimana nasib umat Nusantara. Kapan ilmu bisa menyebar luas di tanah Jawa (Nusantara). Jarak yang jauh antara Nusantara dan pusat Islam di Mekah, Madinah dan Mesir membuat jangkauan kitab-kitab klasik tersendat masuk. Apalagi pada tahun-tahun itu penerbitan kitab termasuk langka dan banyak kitab disalin dengan tangan. Kiai Kholil misalnya, ia sering menuliskan naskah kitab untuk orang lain.
Naik haji yang memakan waktu panjang membuat Kiai Hadi bisa menjumpai banyak orang Nusantara di Mekah yang banyak tinggal di Syi’ib Ali dan Suqul Lail. Maka terjadi dialog. Kiai Hadi bisa meyakinkan Kiai Saleh bahwa kitab-kitab yang diajarkan Kiai Saleh sangat ditunggu di Nusantara. Jawa sangat darurat kebutuhan ulama.
Kiai Saleh berdalih. Ia dikontrak Pemerintah Mekah yang dipimpin Syarif Ainur Rafiq selama sepuluh tahun yang akan berakhir sampai tahun 1870-an.
Namun, Kiai Hadi memaksa. Ia paling tahu kondisi dan kebutuhan umat. Kiai Saleh harus pulang ke tanah Jawa dan inilah kesempatannya. Kiai Hadi dikenal sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah yang memiliki pengaruh besar di Jawa, terutama Jawa Tengah.
Sebelum dibukanya terusan Suez tahun 1869, lalu lintas laut dari Jeddah ke Nusantara tak segampang setelahnya. Sebab, kapal harus memutar ke Pantai Gading dan berbalik lagi menuju Jeddah. Biayanya juga mahal. Tapi, setelah terusan Suez dibuka, lintasan Nusantara menuju Jeddah semakin lancar dan murah.
Kiai Hadi memaksa dan memasukkan Kiai Saleh dalam peti kayu dan disatukan dengan penumpang, bukan sebagai kargo. Karena zaman itu bekal makanan dimasukkan dalam peti yang disebut sakara.
Setelah masuk dalam kapal Kiai Saleh dikeluarkan dari peti. Kiai Hadi membayar penuh untuk perjalanan Kiai Saleh kepada kapten kapal uap SS Marsey.
Namun, malang, Pemerintah Hijaz yang masih dalam kekuasan Khilafah Usmaniyah (Ottoman) itu merasa kehilangan seorang ulamanya. Gubernur Mekah Syarif Ainur Rafiq segera mengontrak semua Sah Bandar yang kemungkinan dilalui SS Marsey, termasuk Singapura yang menjadi pusat transit semua kapal.
Pemerintah kolonial Inggris di Singapura langsung menahan kapal itu dan mencari sosok yang disebutkan dalam kawat antar negara itu. Kiai Saleh ditemukan. Tapi, Kiai Hadi menjadi tameng membereskan.
Kiai Hadi harus membayar denda besar sebagai ganti rugi dan sanksi kontrak ke Pemerintahan Hijaz (Mekah dan Madinah).
Kiai Hadi sudah kehabisan uang. Untungnya, ia memiliki murid-murid dan jaringan tarekat Naqsyabandiyah di Singapura sehingga denda bisa diatasi dengan mudah. Kiai Saleh kembali ke Pulau Jawa setelah sekitar 30 tahun ditinggalkan.
ia meninggalkan kenangan seorang anak yang bernama Ibrahim yang meninggal waktu kecil. Juga kenangan akan Kiai Umar yang wafat beberapa pekan setelah tiba di Mekah.
Kedatangan Kiai Saleh di Semarang membangkitkan semangat belajar beberapa pemuda. Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Munawir Yogyakrta dan sejumlah ulama lainnya, termasuk RA Kartini yang membuat Kiai Saleh menyusun tafsir bahasa Jawa.
Beberapa tahun kemudian, Kiai Kholil kembali ke Bangkalan Madura. Dua ulama ini mengisi kehampaan penyebaran ilmu agama. Sedangkan Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Banten selain karya-karyanya dibawa murid-muridnya.
Kitab mulai dicetak penerbit Sulaiman Marie Singapura, Madras (India), Abdullah bin Afif Cirebon, Alaydrus Jakarta, Salim Nabhan Surabaya, dan lain sebagainya. Ilmu agama tumbuh pesat di Nusantara. (Musthafa Helmy)