Tradisi Keilmuan dalam Jiwa Santri Nahdlatul Ulama

0

Didalam tradisi keilmuan yang kita miliki, ada tradisi keilmuan Islam yang sampai sekarang masih dihidupi di pesantren-pesantren. Di samping juga ada tradisi keilmuan dari sistem pendidikan umum yang sekarang mendominasi sistem pendidikan secara global—mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.

Dalam tradisi keilmuan Islam, kesarjanaan itu lebih merupakan pengakuan atau rekognisi komunal dari lingkungan para ilmuwan mengenai kapasitas dan kompetensi seseorang. Kesarjanaan di dalam tradisi Islam lebih bersifat rekognisi kualitatif, rekognisi substansial ketimbang pengakuan formal. Itu sebabnya sulit menemukan padanan di dalam bahasa-bahasa lain terhadap istilah ulama.

Dulu, dalam wacana kajian berbahasa Inggris, ulama sering disebut dengan Islamic scholars—sarjana-sarjana Islam (ulama). Tetapi kajian yang lebih kini menandai bahwa sebenarnya ada muatan makna substansial yang berbeda antara scholars dengan ulama.

Para ulama di masa lalu, seperti Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Imam Fakhrur Razi, dan lain sebagainya. Mereka dikenal sebagai scholars, sebagai sarjana-sarjana, walaupun kita tahu pada waktu itu tidak ada sekolahnya. Imam Syafi’i, kalau dicari sekolah SD, SMP, universitasnya di mana, ya tidak ada.

Karena dalam tradisi keilmuan yang sampai sekarang masih berjalan—pembelajaran dilakukan sebagai kegiatan substansial antara pelajaran guru kepada muridnya. Apabila seseorang mencapai kapasitas substansial, komunitas para ahli ilmu (ulama) akan memberikan rekognisi bahwa orang tersebut adalah seorang alim dengan kompetensi yang dapat dihandalkan.

Di sisi lain, ada tradisi keilmuan dari Barat (Eropa) yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang dominan dalam pendidikan global, dengan hierarki pendidikan tertentu: dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Dari jenjang ke jenjang. Lulusannya diberi pengakuan dengan penanda formal berupa ijazah dan status sebagai sarjana.

Kalau kita tanyakan kepada penerjemah virtual seperti Google translate, kata “sarjana” dalam bahasa Arab bukan diterjemahkan sebagai ulama, tapi khirrij artinya lulusan. Dalam bahasa Inggris tetap scholars, tapi dalam bahasa Arab jadi khirrij, bukan ulama. Ini berarti, dari kacamata tradisi keilmuan Islam, kesarjanaan yang merupakan hasil sistem pendidikan umum itu dilihat hanya sebagai lulusan, status saja.

Sementara kapasitas dan kompetensi adalah soal lain. Bahkan di perguruan tinggi Islam seperti Al-Azhar, lulusannya disebut khirrij, belum mendapatkan pengakuan sebagai ulama walaupun lulus dari perguruan tinggi Islam. Maka saya ingin mengingatkan, selain memandang sarjana sebagai status, kita perlu memahami juga sarjana sebagai kapasitas dan kompetensi.

Mahasiswa yang hari ini diwisuda akan menjadi sarjana Unusida. Pertanyaannya? apakah kesarjanaan kalian hanya sebagai status, atau sebagai kesarjanaan sebagai kompetensi? atau kapasitas? Ini pertanyaan mendasar, dan ini terkait dengan tujuan kalian semua mengikuti pembelajaran di Unusida.

Orang belajar di perguruan tinggi bisa punya tujuan bermacam-macam, ada yang memang tertarik pada ilmu, ada yang ingin meningkatkan posisi untuk memasuki lapangan kerja, ada yang sekadar supaya lebih gampang mencari jodoh. Nah, ini setelah diwisuda dan menjadi sarjana, kalian harus punya pegangan yang lebih tegas, mengenai tujuan apa yang hendak kalian kejar, karena hidup kalian masih panjang.

 

Siapkan Mental

Maka pertama-tama saya ingin mengajak sarjana-sarjana baru ini untuk menyiapkan mental, bahwa walaupun kalian semua baru saja sudah diwisuda menjadi sarjana, urusan kalian belum selesai. Sesudah ini kalian masih akan menghadapi banyak urusan-urusan untuk menghadapi pergulatan hidup kalian ke depan. Maka yang pertama itu harus siap mental.

Nah, alhamdulillah kalian ini belajar di universitas bukan universitas sembarangan. Kalian ini belajar di Universitas Nahdlatul Ulama. Saya ndak akan nanya peringkat WUR-nya berapa? tapi saya ingin sampaikan keyakinan saya kepada para wisudawan, bahwa Nahdlatul Ulama insyaallah memberikan bukan hanya status penyelesaian pendidikan saja, tetapi insyaallah juga membawa barokah dari para muassis Nahdlatul Ulama.

Kalian ini adalah sarjana dari Universitas Nahdlatul Ulama. Kalian adalah sarjana-sarjana yang menempel di dalam diri kalian apa yang menjadi barokah dari Nahdlatul Ulama.

Dengan Nahdlatul Ulama ini, Saudara sekalian, ya, Anda semua hidup di dalam satu tradisi keagamaan. Dalam satu tradisi keagamaan yang menyambungkan antara ikhtiar-ikhtiar duniawi kita, ikhtiar-ikhtiar lahiriah kita dengan keyakinan dan harapan akan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka di dalam mengarungi pergulatan hidup selanjutnya, saya mengajak saudara-saudara sekalian untuk tidak pernah melepaskan sambungan antara ikhtiar-ikhtiar lahiriah kita itu dengan keyakinan dan harapan kepada karunia Allah. Tidak lepas antara ikhtiar lahiriah itu dengan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pertolongan Allah.

Saya mendapatkan penegasan ajaran yang luar biasa dari seorang guru yaitu As-Syekh Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smit Baalwi di Madinah. Ketika beliau mewejang, saya mengatakan: “Kullu syai’in yajri ‘ala taqdir, walakin la na’rifut taqdir illa ba’dal waqa’. Falainal ikhtiar, an waqaruhu ikhtiarillah, fahuwa sa’id. Wa man lam yuwafiq fa’alaihi rida.”

 (Segala sesuatu di dunia ini berjalan di atas takdir. Kalau bukan karena takdir, tidak akan sesuatu terjadi. Masalahnya, kita ini tidak mengetahui takdir sampai takdir itu terjadi beneran. Baru kita tahu takdirnya seperti apa).

Itulah sebabnya, kita diwajibkan berikhtiar, karena kita tidak tahu takdirnya seperti apa sebelum takdir itu terjadi. Nah, kalau sudah terjadi, barang siapa ikhtiarnya cocok dengan pilihan Allah sehingga menjadi takdir, berarti dia beruntung dan harus bersyukur. Nah, kalau tidak cocok, ya dia wajib rida. Karena yang punya takdir adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka pertama, saya ingin pesankan, kapan saja kalian ingin menggapai sesuatu, mengikhtiarkan untuk menggapai sesuatu, jangan sampai lupa memohon kepada Allah SWT.

Allah sudah menjanjikan bahwa barang siapa memanggil, Allah akan menjawab. Barang siapa meminta, Allah akan memberi. ”Ud’uni astajib lakum”.

Dan yang kedua, di dalam berikhtiar, kita tidak perlu was-was, tidak perlu khawatir selama kita senantiasa ingat gantungan kita kepada Allah SWT. Karena ”fa idza ‘azamta fatawakkal ‘alallah”. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kenapa? Karena takdir belum terjadi. Kalau sesuatu belum terjadi, percuma dikhawatirkan. Gak usah khawatir, wong belum terjadi. Nah, kalau sudah terjadi tinggal apakah mau bersyukur atau rida.

Nah, dengan sikap mental seperti ini, insyaallah tantangan apapun yang kita hadapi ke depan tidak akan menggoyahkan langkah kita untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam hidup, untuk mencapai kemuliaan-kemuliaan masa depan. Insyaallah.

Nah, maka saya mengajak kepada sarjana-sarjana baru ini untuk meneguhkan mental, siap mengabdi di mana saja di seluruh wilayah tanah air Indonesia ini. Dulu, junjungan saya, guru saya, Hadratus Syekh KH. Maimun Zubair Allahyarham mengatakan, bahwa Indonesia ini akan makmur kalau NU sudah jadi nasional.

Beliau tidak memberikan syarah dari maksud pernyataan beliau itu. Tapi saya kira mungkin salah satunya adalah bahwa Insyaallah Indonesia akan makmur, apabila sarjana-sarjana Universitas Nahdlatul Ulama siap mengabdi secara nasional di seluruh wilayah tanah air Indonesia. Insyaallah.

Karena itu, mari kita semua menguatkan tekad kita untuk bukan hanya mencari kehidupan yang lebih baik, tapi juga mengabdi kepada bangsa dan negara. Berbakti kepada bangsa dan negara. Karena berbakti dan mengabdi itulah, Insyaallah kita akan mendapatkan kemuliaan.

Amin.

 (Pidato Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat acara wisuda di Universitas Nahdlatul Ulama, Sidoarjo live di TVNU).

Leave A Reply

Your email address will not be published.