“Menjelang Detik-Detik Hari Santri Nasional 2025”
Oleh: Heri Kuswara (Wakil Direktur Bidang SDM Pada Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Santri Nusantara (P3SN))
Pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang genuine (Asli) Nusantara, karena pesantren memiliki akar yang sangat kuat, tumbuh dan berkembang jauh sebelum negara ini berdiri (Merdeka). Sebagai Pusat Peradaban Islam, Pesantren hadir dalam membentuk akhlak, karakter dan moral bangsa. Dari Pesantrenlah lahir Santri yang memiliki iman yang kuat, ilmu agama yang mendalam, akhlak yang karimah, spirit yang tinggi akan perjuangan, persatuan dan peradaban bangsa dalam mewujudkan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Bahkan model atau pendekatan pendidikan kekinian yang digadang-gadang Kemendikdasmen (deep learning) dan Konsep Pendidikan terbaru ala Kemenag (Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)) sesungguhnya jauh sebelum merdeka sudah dipraktekkan di Pesantren.
Santri mempunyai sejarah yang amat sangat panjang akan kiprahnya di Nusantara, baik jauh sebelum Indonesia Merdeka, pada masa Perjuangan kemerdekaan, Pasca Kemerdekaan hingga kini. Fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa Santri memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, mempertahankan Negara Kesatuan Republik lndonesia serta mengisi kemerdekaan. Salah satu tinta emas perjuangan santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah lahirnya fatwa Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan Rais Akbar Nahdlatul Ulama, yakni Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim As’ari yaitu mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik lndonesia dari serangan penjajah.
Peringatan hari santri yang dicetuskan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, tentu merupakan bentuk penghormatan, penghargaan dan untuk mengenang peran dan jasa besar santri sebagai pahlawan bangsa dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Komitmen negara dalam mengapresiasi peran dan kontribusi santri untuk bangsa ini, dipertegas dengan lahirnya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang tentunya menjadi sejarah baru bangsa ini sebagai bentuk rekognisi (pengakuan) negara terhadap pesantren sebagai episentrum dan kawah candradimukanya pendidikan untuk santri.
Sejak kelahirannya, Undang Undang Pesantren ini tentu memberikan dampak yang cukup baik bagi keberadaan dan keberlangsungan pendidikan di Pesantren. Namun demikian, tanpa menapikan ichtiar dan perjuangan negara terhadap pesantren dan santri, masih begitu banyak “PR” yang wajib dilakukan negara terutama dalam mengoptimalkan fungsi rekognisi dan afirmasi terhadap santri sebagai lulusan pesantren. Karena sesungguhnya substansi dari Undang-Undang Pesantren ini adalah menjamin adanya fungsi rekognisi, afirmasi dan fasilitasi pendidikan pesantren yang dijalankan sesuai kekhasaannya.
Saat ini, masih banyak santri lulusan pesantren salafi/salafiyah terutama di desa-desa yang pendidikan formalnya rendah, ditengah kehidupan ekonominya yang tidak/kurang layak, namun tetap Istiqomah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dan Ikhlas Beramal menunaikan perkhidmatannya penuh dengan ketulusan dalam mendidik anak bangsa. Fakta ini tentunya wajib menjadi perhatian serius pemerintah untuk memberikan Penghargaan, dan Jaminan akan kelangsungan hidup dan kesejehteraan lulusan pesantren sebagai bentuk pengejawantahan rekognisi negara terhadap kiprah santri di Republik ini. Hadirnya Undang-Undang serta Peraturan Daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi) Tentang Pesantren, salah satunya Wajib menjawab pertanyaan mendasar berikut ini: “Adakah Gaji/Upah/Tunjangan yang rutin diberikan Pemerintah (Pusat/Daerah) kepada Lulusan Pesantren (Kyai/Ustadz/Ajengan/dan sebutan lainnya) yang mendidik jutaan anak bangsa di pesantren salafi/salafiyah, di majelis taklim, di madrasah diniyah takmiliyiah, di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), di Mesjid/Mushola dan sejenisnya, yang jelas-jelas turut mensukseskan program pemerintah pada bidang keagamaan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat?”. Silahkan dijawab dengan Bukti.
Membaca Filosofi dari Logo Hari Santri 2025 yang dalam hitungan hari akan diperingati (22 Oktober 2025) dengan mengusung semangat tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, yang merepresentasikan tekad santri untuk tetap berada di garda terdepan dalam menjaga bangsa, sekaligus menatap jauh ke cakrawala global. Tanda tanya besar bagi penulis, “Sudah layakkah kehidupan lulusan Pesantren?”. Tentu harapan kita semua, lulusan pesantren terutama pesantren salafi/salafiyah yang mungkin saja pendidikan formalnya rendah, sudah sewajibnya negara mengakomodir dan memberdayakannya untuk mengisi ruang-ruang strategis pada bidang pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Penulis meyakini begitu banyak ruang-ruang strategis yang dapat diisi oleh santri dalam turut serta berkontribusi menjadi bagian dari sistem dalam membangun negara baik dibawah naungan Kementerian Agama, Kementerian dan Institusi/Instansi Lainnya serta di SKPD tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Andai Kementerian Agama mendirikan Pusat Layanan Keagamaan (PLK) di tingkat kelurahan/desa, akan betapa banyak santri yang dapat mengisi ruang-ruang pengabdian di Pusat Layanan Keagamaan tersebut. Jika di desa/kelurahan sudah berdiri PUSTU (Puskesmas Pembantu) yang merupakan unit pelayanan kesehatan masyarakat di tingkat desa atau kelurahan, dan juga sudah banyak berdiri Lembaga Pendidikan Negeri (Sekolah/Madrasah), maka Pusat Layanan Keagamaan (PLK) tidak kalah pentingnya untuk dapat didirikan di desa/kelurahan sebagai kepanjangan tangan dari KUA (Kantor Urusan Keagamaan). Usulan akan hadirnya Pusat Layanan Keagamaan (PLK) di tingkat desa/kelurahan sudah barang tentu, salah satunya dalam rangka memberdayakan kiprah dan kontribusi santri dalam mengoptimalkan fungsi Pelayanan dan Bimbingan kepada masyarakat, Peningkatan Kualitas Pendidikan Keagamaan dan dalam memelihara Kerukunan Umat.
Lulusan pesantren yang familier dipanggil Kyai/Ustadz/Ajengan/dan sebutan lainnya di Nusantara tidak kalah dalam pemahaman dan keilmuan agamanya dibandingkan dengan lulusan pendidikan tinggi bidang keagamaan. Tentu tidak ada maksud untuk menapikan pentingnya pendidikan formal, namun setidaknya bentuk rekognisi dan afirmasi terhadap lulusan pesantren salafi/salafiyah juga wajib menjadi perhatian dan pertimbangan negara dalam memberdayakannya. Penulis meyakini, lulusan pesantren sangat mampu menjadi guru mata pelajaran/materi keagamaan (Intrakurikuler/ kokurikuler /ekstrakurikuler) dibawah naungan kemenag/kemendikdasmen/disdik dan merekapun sangat mumpuni untuk menempati posisi seperti penghulu, penyuluh, staff pada bimbingan keluarga sakinah, bimbingan kemasjidan, bimbingan pembinaan syari’ah, bimbingan pesantren dan ruang-ruang pemberdayaan lainnya.
Betapa banyak ruang-ruang pemberdayaan alumni pesantren, tidak hanya berkutat dibawah naungan kementerian agama saja, lulusan pesantren yang pendidikan formalnya rendah juga dapat diberdayakan diberbagai instansi/institusi negara, merekapun dapat mengisi ruang-ruang/bidang-bidang keagamaan diberbagai instansi/institusi pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah tentu dengan status kepegawaian yang jelas dan gaji/upah serta tunjangan yang pasti/rutin diterima setiap bulan untuk kelayakan hidup dan masa depan keluarganya. Penulis meyakini, pemerintah tiada henti berichtiar dan berjuang keras untuk terus memberdayakan SDM Unggul lulusan Pesantren, salah satunya (terbaru) adalah usulan pembentukan Ditjen Pesantren yang mudah-mudahan dapat terealisasi segera, sehingga dapat membawa peluang besar terciptanya ruang-ruang pemberdayaan bagi para santri lulusan pesantren salafi/salafiyah.
Itulah sesungguhnya salah satu hakikat dan substansi dari bentuk Rekognisi dan Afirmasi terhadap pendidikan pesantren.