Oleh: Didik Gatot Pranoto Hadi (Mahasiswa STAI SAM Mojokerto, Jatim).
Pondok Pesantren Darul Mubarok berada di kaki Gunung Argopuro tepatnya di desa Karangjati. Dikelilingi hutan jati dan hamparan sawah yang terhampar luas bak permadani di kaki langit, diiringi semilir angin berhembus membawa aroma padi yang mulai menguning. Di pagi hari, suara lantunan ayat suci dari masjid kecilnya mengalun lembut, mengiringi aktivitas para santri yang sibuk menyapu halaman, menimba air, atau menyiapkan sarapan sederhana di dapur umum.
Banyak santri yang betah mondok di Pesantren Darul Mubarok karena suasananya yang tenang, alam pedesaan yang indah serta keakraban sesama santri yang sedang berjuang bersama menuntut ilmu hingga pesantren ini menjadi salah satu rujukan untuk setiap orang tua yang ingin anaknya belajar di pesantren.
Di antara para santri, ada seorang remaja bernama Ahmad. Usianya baru 16 tahun, postur tubuhnya agak kurus, namun wajahnya bersih dan matanya memancarkan ketenangan. Ahmad dikenal sebagai santri yang rajin, jarang bicara jika tidak perlu, dan lebih suka menghabiskan waktu membaca kitab kuning di serambi masjid. Selain di serambi masjid para santri banyak mengisi kegiatan disela waktu istirahat dengan mengulang kembali pelajaran yang telah diterima di pilar – pilar masjid sambil sesekali bersenda gurau dengan sesama teman bahkan tidak sedikit yang ketiduran ketika sedang murojaah hafalan kitab.
Namun, ketenangan di Pesantren Darul Mubarok mulai terusik ketika Farhan, seorang santri baru yang cukup pintar namun sering mencari perhatian, masuk pada awal semester ini. Farhan memiliki pembawaan percaya diri, tapi kadang terlalu berlebihan, cepat akrab dengan sebagian santri, namun tak terlalu cocok dengan Ahmad yang lebih pendiam.
Suatu sore, setelah kajian kitab selesai, beberapa santri berkumpul di serambi masjid sambil menikmati teh manis hangat dan pisang goreng. Farhan duduk di tengah kelompok, bercerita panjang lebar tentang kehidupannya di kota. Di tengah obrolan santai, tiba-tiba dia berkata “Eh, kalian tahu nggak ? Aku dengar-dengar, Ahmad itu sering keluar malam diam-diam. Katanya sih ketemu orang luar. Entah buat apa…”
Beberapa santri langsung terdiam dan saling melempar pandangan. Ada yang menatap Farhan penasaran, ada pula yang tertawa kecil.
“Ah, masa ? Bukannya Ahmad anaknya alim ?” sahut Ilham, santri asal Lamongan.
Farhan mengangkat bahu. “Ya, aku cuma cerita apa yang aku dengar. Tapi beneran, aku pernah lihat dia keluar lewat pintu samping sekitar jam sepuluh malam, aku nggak tahu ngapain, tapi… ya kalian pikir aja sendiri”. Kata-kata Farhan itu seperti percikan api yang mengenai tumpukan jerami kering. Dalam hitungan hari, kabar “Ahmad keluar malam” mulai menyebar dari satu asrama ke asrama lain.
Dunia Pesantren
Di dunia pesantren yang kehidupannya tertutup, berita sekecil apa pun akan mudah menjadi besar. Sangat cepat berita itu berkembang liar. Ada yang mengatakan Ahmad bertemu seorang perempuan di luar pesantren. Ada yang menaburi bumbu dengan cerita yang lebih dramatis bahwa ia menerima uang dari orang asing. Bahkan, ada yang mulai mengaitkan dengan isu-isu yang sama sekali tak berdasar seolah – olah Ahmad terlibat dalam kegiatan yang mencoreng nama baik pesantren.
Ketika isu itu semakin berkembang, Ahmad mulai merasakan perubahan sikap aneh teman – temannya. Beberapa santri yang biasanya menyapanya kini hanya melirik sekilas. Bahkan, ada yang sengaja menjauh ketika ia duduk di serambi masjid. Ahmad tidak mengetahui apa yang sedang terjadi hingga suatu malam, sahabatnya, Ridwan, memberanikan diri untuk bicara. “Akhi” begitu Ridwan biasa memanggil Ahmad, “ada yang ingin aku omongin sama kamu, tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana dan sebenarnya aku ragu mau bilang tentang hal ini, tapi sekarang banyak yang ngomongin kamu,” ujar Ridwan membuka obrolan dengan hati-hati.
Ahmad tertegun. “Ngomongin aku ? Soal apa Kang ?” tanya Ahmad penasaran. Ridwan menundukkan wajahnya. “Katanya kamu sering keluar malam ketemu orang… bahkan ada yang bilang hal-hal yang lebih parah. Aku nggak percaya, tapi orang – orang terlanjur percaya dengan berita yang sudah menyebar itu.”
Jantung Ahmad berdegup kencang. Ia mencoba mengingat, kapan terakhir kali ia keluar malam. Ingatannya kembali terulang ketika dua minggu yang lalu saat ia mendapat amanat untuk membantu Ustadz Rahman mengantarkan obat ke rumah salah seorang warga yang sakit parah. Itulah satu – satunya alasan ia keluar lewat pintu samping. Dan ia tidak pernah menganggap itu sesuatu yang perlu diceritakan apalagi itu adalah sebuah amanat dari salah satu gurunya yang harus segera dilaksanakan.
Setelah tiga hari, kabar itu semakin tersebar dengan sangat cepat di segenap penjuru pesantren. Hingga keesokan harinya Ahmad dipanggil ke kantor Kiai Burhanuddin, pengasuh Pondok Pesantren Darul Mubarok yang sangat dihormati dan disegani. Kiai duduk di sebuah ruangan sederhana sambil membaca majalah Risalah NU. Di ruangan tersebut penuh dengan lemari berisi kitab-kitab tua dan beberapa majalah keislaman seperti Risalah NU dan majalah Aula. Ahmad mengucapkan salam dan menunduk hormat sambil mencium tangan Kiai.
“Ahmad, ada laporan yang cukup serius,” kata Kiai Burhanuddin membuka percakapan dengan suara tenang namun tegas. “Ada berita tersebar yang mengatakan kamu sering keluar malam namun tim keamanan Pondok tidak pernah melihatmu keluar malam, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan Kamu tahu aturannya bahwa santri tidak boleh keluar di jam berapapun tanpa izin.”
Ahmad menghela napas. “Mohon maaf Kiai, saya hanya pernah keluar sekali menjalankan amanat dari Ustadz Rahman untuk mengantarkan obat ke rumah salah satu warga kampung yang sedang sakit. Kalau ada yang bilang saya sering keluar, itu tidak benar Kiai” Ujar Ahmad dengan wajah tertunduk.
Kiai menatapnya dalam-dalam. “Saya percaya kamu, Nak. Tapi ingat, fitnah itu cepat menyebar dan untuk membersihkannya butuh kesabaran. Mulai hari ini, lebih berhati – hatilah dan jaga diri baik-baik semoga masalah ini segera menemukan jalan keluar.”
Ahmad mengangguk. Meski lega bahwa Kiai Burhanuddin mempercayainya, hatinya tetap terasa sesak, perasaannya berkecamuk hebat antara marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. namun ia sadar, membantah dan meyakinkan semua orang satu per satu tentang hal yang sudah telanjur beredar adalah hal yang sia – sia sama saja seperti menimba air di keranjang bocor.
Hari demi hari, situasi semakin tak nyaman. Di kantin, Ahmad sering mendengar bisik- bisik saat ia lewat. Di kelas, ada yang sengaja menjatuhkan buku atau berdeham keras setiap kali ia bicara. Ahmad tetap berusaha tenang walau di dalam hatinya ada gemuruh kemarahan yang berkecamuk, namun ia ingat sebuah Hadits “Janganlah marah, maka bagimu surga.”. Dan tak lupa setiap selesai shalat ia selipkan doa memohon kepada Allah SWT agar diberikan kesabaran dalam menghadapi setiap cobaan yang terjadi. Bahkan Kiai Burhanuddin juga berpesan kepadanya bahwa orang yang beriman itu memohon pertolongan dengan sabar dan shalat serta meyakinkan bahwa Allah akan selalu bersama orang yang sabar.
Suatu malam, ketika sedang mengambil air wudhu, ia mendengar dua orang santri bercakap-cakap di balik dinding, “Katanya sih, Ahmad sekarang udah dikasih peringatan sama Kiai. Kalau ketahuan sekali lagi keluar malam, bisa dikeluarin dari pesantren.”
“Pantas aja dia sekarang jadi pendiam. Tapi kalau dia keluar, ya udah, tamat riwayatnya.” Ahmad mengepalkan tangan. Ia ingin marah, tapi ia tahu marah hanya akan membuatnya terlihat semakin bersalah. Dengan pasrah Ahmad melangkah menuju masjid untuk shalat dan berdoa berkeluh kesah memohon petunjuk kepada Allah SWT
Akhirnya pertolongan Allah datang tepat pada waktunya, tak disangka-sangka Ustadz Rahman, yang dua minggu lalu mendapat tugas dari Kiai Burhanuddin untuk menjalankan amanat mengasuh sementara pengajian di Majelis Taklim di desa sebelah dan harus bermukim di sana. Sebelum berangkat menuju Majelis Taklim tersebut, Ustadz Rahman meminta bantuan Ahmad untuk mengantar obat kepada salah satu warga. Hingga akhirnya Ketika kembali ke pesantren ia mendengar kabar yang beredar dari salah satu rekan pengajar di pesantren bahwa Ahmad mendapat peringatan dari Kiai Burhanuddin karena keluar malam tanpa ada sebab yang diperbolehkan. Sontak ustadz muda ini kaget. Bagaimana bisa ada kabar yang membuat salah seorang santri dituduh tanpa ada bukti, sedangkan malam itu Ahmad keluar dari pondok karena menjalankan perintahnya
Akhirnya tanpa menunggu lama ustadz muda ini langsung menemui Kiai Burhanuddin untuk menjelaskan kejadian yang terjadi dan menceritakan kebenaran yang sesungguhnya.
“Kiai, mohon maaf saya yang memberi perintah kepada Ahmad keluar malam itu” kata Ustadz Rahman ketika berada dihadapan Kiai Burhanuddin.”Warga di ujung desa sedang sakit keras, dan saya tidak bisa meninggalkan pesantren saat itu karena harus segera berangkat ke Majelis Taklim di desa sebelah. Ahmad yang saya percayakan untuk mengantar obat. Jadi kalau ada yang menuduhnya macam-macam, itu tidak benar.”
Kiai mengangguk pelan. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan bukan pada Ahmad, melainkan pada para santri yang mudah termakan kabar yang belum jelas kebenarannya.
“Ustadz Rahman, untuk sementara kita tunggu suasana pesantren agak tenang, setelah itu kumpulkan seluruh santri di Aula”. ujar Kiai Burhanuddin memberi perintah. “Baik Kiai” ujar Ustadz Rahman mengangguk takdzim.
Malam Jumat
Akhirnya saat yang ditunggu telah tiba. Malam Jumat setelah pengajian genap satu minggu setelah berita itu tersebar, Kiai Burhanuddin memanggil seluruh santri untuk berkumpul di Aula. Suasana hening ketika beliau berdiri di depan mimbar. Semua santri tertunduk dan terdiam. Tak terkecuali Ahmad yang berharap cemas dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Burhaniddin. Sedangkan Farhan si penyebar berita hoaks tidak merasa bersalah sama sekali atas perbuatannya yang membuat gempar seisi pondok. Tak lama kemudian Kiai Burhanuddin naik mimbar dan mulai berbicara dihadapan dua ratus santri dengan tatapan tajam namun penuh wibawa “Anak-anakku, malam ini saya ingin bicara tentang bahaya hoaks, fitnah dan pentingnya tabayyun. Kalian tahu, di zaman sekarang, berita bohong bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Fitnah adalah dosa yang lebih kejam dari pembunuhan, Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 217.”
Beliau berhenti sejenak, lalu menatap para santri satu per satu.
“Beberapa hari terakhir, ada kabar yang beredar tentang salah satu santri kita yang melakukan pelanggaran, seharusnya Ketika mendapatkan kabar yang belum jelas kebenarannya maka kita diperintahkan untuk tabayyun, mencari tahu tentang kejelasan berita tersebut dan ternyata kabar itu tidak benar. Saya sudah mendapatkan penjelasan langsung dari saksi yang terlibat. Anak yang difitnah itu tidak bersalah.”
Mata para santri mulai saling berpandangan. Sebagian merasa malu karena sudah berprasangka buruk kepada Ahmad dan sebagian menunduk menyesali tindakan yang keliru tanpa mencari kabar kebenaran yang sesungguhnya.
“Saya tidak akan menyebut nama santri yang menyebarkan kabar bohong itu. Tapi saya ingin kalian semua belajar bahwa sebelum menyebarkan berita, pastikan terlebih dahulu kebenaran berita tersebut, jangan sampai mulut kita menjadi sebab orang lain hancur harga dirinya, pepatah mengatakan “mulutmu Harimaumu” dan jangan sampai kabar yang disebarkan menjadi dosa jariyah berkepanjangan” ucap Kiai Burhanuddin bijak dan menutup pertemuan tersebut sambil mengucapkan salam. Selepas Sang Kiai meninggalkan Aula, semua santri termenung menyelami setiap makna yang telah disampaikan, hingga akhirnya beberapa santri menghampiri Ahmad dan meminta maaf bergantian. “Kang Ahmad maafin aku yaa”…kata Asep salah satu santri dari Garut penuh penyesalan.
“Mas Ahmad, nyuwun agungipun samudro pangeksami dumateng panjenengan kulo sampun nglampahi tumindak ingkang awon” ( Mas Ahmad, saya minta maaf yang sebesar – besarnya kepadamu, karena sudah bertingkah laku buruk ) kata Paijo santri dari Yogyakarta dengan air mata beranak sungai mengalir deras di pelupuk mata hingga membasahi pipi. Begitu juga dengan santri yang lain, mereka saling meminta maaf dan memeluk Ahmad bersamaan. Malam itu menjadi saksi bisu tentang kejamnya sebuah fitnah, namun dengan ketegasan seorang pengasuh pesantren akhirnya keadaan di pesantren menjadi tenang kembali.
Usai pertemuan itu, Farhan mendatangi Ahmad di serambi masjid. Wajahnya pucat, suaranya lirih. “Kang… aku minta maaf, aku yang pertama kali menyebarkan berita bahwa kamu keluar malam. Awalnya aku cuma bercanda, tapi ternyata malah jadi begini.”
Ahmad memandang Farhan cukup lama hingga membuat Farhan tertunduk. Lalu Ahmad berkata pelan, “Han, kata-katamu bisa jadi pedang. Sekali keluar, tidak bisa ditarik kembali dan bisa menyakiti perasaan orang lain aku memaafkanmu, tapi tolong… jangan sampai kejadian ini terulang kembali.” Farhan menunduk, matanya berkaca-kaca.
Perlahan, suasana di pesantren kembali damai seperti semula. Para santri mulai menyapa Ahmad lagi, meski beberapa masih terlihat canggung. Ahmad sendiri memilih untuk tidak menyimpan dendam. Ia sadar, di dunia yang tertutup seperti pesantren, menjaga lisan adalah bagian dari menjaga kehormatan.
Ridwan, sahabatnya, suatu sore berkata, “Akhi, kamu luar biasa sabar. Kalau aku yang difitnah, mungkin aku udah marah besar.”
Ahmad tersenyum tipis. “Aku cuma ingat satu hal, Wan. Fitnah itu pasti akan hilang kalau kita tetap di jalan yang benar. Biarlah waktu yang akan membuktikan semuanya.”
Kisah ini menjadi pelajaran berharga di Pesantren Darul Mubarok. Kiai Burhanuddin bahkan menjadikan peristiwa itu sebagai materi dalam khutbah Jumat dan di setiap pengajian bahwa hoaks dan fitnah bisa lahir dari ucapan yang tampaknya sepele namun berakibat buruk dan fatal hingga memakan korban yang tak bersalah.
Suasana Pesantren Darul Mubarok mulai kembali damai. Tidak ada lagi santri yang saling berbisik membicarakan keburukan temannya, yang ada para santri saling mengingatkan untuk saling menjaga, tabayyun jika ada sesuatu yang kurang jelas dan tidak mudah termakan fitnah dengan berita hoaks di antara santri. Farhan sang penyebar berita hoaks akhirnya menerima hukuman dari Ustadz Rahman selaku pengurus asrama untuk mengelola website dan media sosial Pesantren agar belajar menjadi santri yang mampu membedakan antara kabar yang benar dan kabar bohong serta tidak mudah untuk menyebar berita yang belum jelas kebenarannya.
Dan Ahmad Ia tetap menjadi santri yang rajin dan pendiam, tapi kini ia punya tekad baru, suatu hari nanti ia ingin menjadi guru yang mengajarkan pada murid-muridnya tentang bahaya berita bohong agar tak ada lagi yang harus merasakan luka yang sama seperti yang pernah ia alami. Ahmad berdiri di halaman masjid, pandangannya menerawang jauh ke arah Gunung Argopuro yang berdiri kokoh, ia berdoa memohon kepada Allah supaya diteguhkan iman dan agamanya agar mampu berdiri kokoh menghadapi setiap ujian yang datang menerpa seperti kokohnya gunung Argopuro.
(Naskah Lomba Cerpen Majalah Risalah NU tahun 2025).