Oleh: Yudhiarma MK (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Di puncak keangkuhan manusia, di mana langit Eropa bersatu dengan bumi dalam waltz salju dan sinar matahari keemasan, berdirilah seorang lelaki. Namanya terpateri di menara-menara kaca dan baja kota-kota metropolis, terukir dalam daftar para raja tanpa mahkota yang menguasai pundi-pundi ekonomi dunia.
Latansa Nashibaka, adalah seorang alumni Oxford cemerlang, yang pidato wisudanya pernah menggema di aula berarsitektur Gothic itu. Orasi yang penuh komitmen tentang etika dan integritas. Namun kini janji-janji itu telah menguap, digantikan oleh gemerisik saham dan desis transaksi gelap yang membangun imperium bisnisnya.
Dia berdiri di lereng Piz Corvatsch, Lembah Engadin, Swiss. Menghadap danau glasial Silvaplana, yang berkilau bagai siluet selendang malaikat malam saat bintang dan meteor berpendar di angkasa. Pegunungan Alpen membentang bak mahakarya lukisan para dewa perupa, dengan puncak-puncaknya yang berjubah kristal, menyembunyikan wajahnya di balik selubung kabut yang bergulir lembut. Udara tipis beraroma pinus dan salju murni memenuhi paru-parunya, sebuah kemewahan yang ia beli dengan mudah.
Di bawahnya, lembah-lembah hijau berselimut uap es tampak seperti lukisan impresionis, dengan setu-setu biru kehijauan yang memantulkan kemegahan langit. Dia meluncur dengan ski carbon fiber yang custom-made, meninggalkan torehan sempurna di atas hamparan salju yang masih perawan, bagai seorang pelukis yang menggoreskan kuas di atas kanvas putih tak bertepi. Ini adalah puncak pencapaiannya: menguasai alam yang perkasa dengan aneka sarana mewah yang bisa ia beli dengan uang, kekuasaan, dan segala kekayaannya.
Tapi raga yang meluncur itu adalah jasad resah dengan ruh yang terbang melayang di udara. Jiwa yang berusaha mengubur bayangan seorang anak kecil yang pernah berdiri di dataran lain, bukan salju, tetapi pasir dan lautan kabut di Segara Wedi, Bromo.
***
Pikirannya melayang, jauh dari kemewahan Alpen, menembus lapisan waktu ke sebuah pagi di Jawa Timur, kala ia masih menjadi juara dan teladan pesantren. Di sana, alam berbicara dengan bahasa yang berbeda. Bukit-bukit hijau di Malang selatan berpadu dengan langit jingga saat fajar menyingsing di Widodaren.
Dia, seorang santri dengan sarung sederhana, berdiri di Penanjakan, menatap kemegahan yang sama sekali lain. Kabut tebal menyapu kaldera, perlahan-lahan tersibak memperlihatkan Gunung Batok yang anggun dan Semeru di kejauhan yang tampak perkasa digumuli awan keperakan.
Udara pagi yang menusuk tulang, berbeda dengan kesejukan Alpen; ini adalah dingin yang diselingi aroma belerang, kopi pahit, dan kemenyan dari sesajen. Di sini, ia tak merasa seperti penguasa. Dia hanya penikmat alam yang takjub, sebagai salah satu bagian terkecil dari penghuni jagat raya yang maha memesona namun lebih misterius dari dirinya.
Di lereng Batu, di mana gunung-gunung berselimut kabut biru dan kicau burung adalah melodi pertama sang fajar, tersembunyi sebuah pesantren. Di sanalah, di antara pepohonan yang berbisik dan hamparan sawah menghijau, ribuan jiwa muda dari berbagai pelosokNusantara dan mancanegara, menjalani laku kerasnya ilmu dan lembutnya iman.
Hari-hari mereka adalah untaian waktu yang padat, dirangkai dalam disiplin besi yang dibalut doa dengan tekad baja. Sebelum mentari menyingsing, ketika bintang-bintang masih enggan pergi dan embun menetes bagai air mata malam, mereka telah terbangun oleh panggilan tahajud pukul empat pagi.
Tubuh-tubuh letih itu digerakkan oleh keyakinan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Wajah temaram yang masih sembab tidur bersinar dalam cahaya lampu yang remang, memantulkan kerinduan pada Yang Maha Pengasih.
Selepas ufuk timur memerah, dimulailah derap panjang nan melelahkan. Mulut-mulut itu komat-kamit melafalkan huruf-huruf langit, menghafal al-Quran, ayat demi ayat, seakan mereka ingin menelan seluruh samudera wahyu. Bahasa Arab dan Inggris berseliweran di koridor, di bawah naungan pepohonan, menjadi nyanyian sehari-hari yang mengiringi dentang jam. Kelas-kelas ilmu dunia dan akhirat diserap bagai tanah gersang menyeruput hujan.
Di laboratorium, jari-jemari mungil itu memegang tabung reaksi, mengamati keajaiban ciptaan-Nya dalam mikrokosmos. Di perpustakaan, hening hanya diselingi decak dan derak buku-buku usang yang menyimpan khazanah ilmu pengetahuan. Mereka membaca, dengan mata yang telah redup oleh kurang tidur, namun hati yang selalu haus akan cahaya.
Pukul dua puluh dua malam, ketika katak-katak mulai bernyanyi saat gerimis dan angin berhembus dingin, barulah izin untuk merebahkan tubuh diberikan. Namun, bahkan dalam lelapnya, mungkin bibir mereka masih berkomat-kamit mengulang hafalan, atau mata mereka berkedip melihat mimpi tentang kampung halaman yang hanya boleh dikunjungi setahun sekali. Rindu itu ditahan, dibungkus dengan kesabaran, dan bersiram doa dan air wudhu.
Di sela-sela itu, hidup tak hanya tentang tasbih dan kitab. Ada derap kaki berirama drumb band yang memecah kesunyian, latihan silat yang penuh semangat, dan nada-nada musik yang menyentuh kalbu.
Pramuka mengajarkan arti persaudaraan dan cinta pada Tanah Air. Dan puncaknya adalah panggung seni, di mana jiwa-jiwa yang terkekang itu bebas melukiskan dunianya dengan tari, syair, dan drama khas pesantren, hingga mendapat tepuk tangan yang membahana.
Mereka makan bersama dalam satu kantin, berbagi suapan nasi dan lauk seadanya, belajar bahwa kemuliaan ada dalam rasa cukup dan kebersamaan. Shalat berjamaah lima waktu adalah napas yang menyatukan mereka, mengingatkan bahwa di balik semua kelelahan, ada satu tujuan agung.
Muhadharah dan latihan pidato adalah medan tempur lain. Di sana, mereka berdiri tegak, menyusun kata-kata persuasif, menyampaikan gagasan dengan berani, melatih lidah untuk menyebarkan kebenaran. Suara mungkin gemetar, namun semangat tak pernah pudar.
Inilah kehidupan mereka. Jiwa-jiwa yang dibakar rindu pada ilmu, dibentuk oleh disiplin, dan dihaluskan oleh spiritualitas. Mereka adalah pelita-pelita yang menyala dalam kesunyian malam, di tengah keindahan alam Malang selatan yang memukau.
Mereka letih, mereka rindu rumah, tapi mereka tahu, di balik semua pengorbanan ini, ada taman indah yang dijanjikan, di mana mata air pengetahuan dan iman berpadu dalam harmoni abadi. Dan dalam kesedihan yang sunyi, tumbuhlah bunga-bunga kebijaksanaan yang kelak akan mewangi untuk dunia.
Tiba-tiba kenangan itu datang menghantam lebih keras dari angin gunung mana pun. Sebuah pemandian jenazah di pesantren. Tubuh ayahnya, lelaki kurus yang berpulang setelah bekerja banting tulang, terbujur kaku. Asap kemenyan menari-nari, menyatu dengan bau kapur barus yang menyengat. Suara tahlilan membahana mengisi ruang-ruang kosong di segenap penjuru desa.
Tangannya yang masih kecil gemetar memegang sepotong kapas, diperintah oleh sang Kiai untuk menutupi aurat sang mayat. Kapas itu lembut, sangat lembut, tapi terasa berat bagai gunung di jarinya. Putihnya sangat menyilaukan, sebuah kesucian yang menyayat hati dan menyentuh jiwa-jiwa yang masih hidup.
”Wahai anakku” bisik sang Kiai, suaranya serak bagai gesekan batu namun menembus kalbu. “Kapas ini cermin bagi amal kita. Jika ia putih dan tulus, seputih ini, selembut ini, maka lidahmu akan ringan menjawab pertanyaan malaikat di alam sempit itu.”
“Dalam kubur, Munkar dan Nakir tak hanya akan bertanya 'man rabbuka? Man nabiyuka? Dan seterusnya. Pada Hari Kiamat, pengadilan akhirat akan menelusuri jejak rezekimu. Min aina? Dari mana semua harta kau peroleh? Wa fima anfaqtahu? Dan untuk apa kau gunakan dan belanjakan? Persoalan itulah yang akan menggelisahkan mereka para pemilik nafkah yang ternoda, dan kekayaan yang diperoleh dari jalan yang mengotori jiwa”.
Nasihat itu terpatri dalam-dalam di benaknya, namun terinjak-injak oleh sepatu boot ski dari Italia, terhanyut oleh deru helikopter pribadi yang mengantarnya ke puncak-puncak eksklusif. Ia membangun menara untuk melupakan gubuk. Ia membeli petak-petak tanah lembah di pegunungan Swiss untuk menutupi Bromo dalam memorinya.
***
Kembali ke Alpen. Sebuah gumpalan salju terlepas dari tebing, menggelinding, membesar, menjadi bola raksasa yang menghanyutkan segala yang ada dalam lautan putih. Bagi sang konglomerat, itu adalah halangan. Bagi jiwa santri yang terpendam, itu adalah penampakan barzakh.
Dia tak lagi melihat salju. Ia melihat kapas. Kapas yang putih bersih, suci, polos, membesar dalam pandangannya, persis seperti kapas yang pernah ia pegang untuk memulasara jenazah sang Kiai. Kiai yang telah wafat dalam usia sepuh, orang yang merawatnya dengan ikhlas setelah ia yatim-piatu.
Kiai yang hartanya hanya ilmu dan ketenangan jiwa, yang pemakamannya sederhana namun dihadiri oleh ribuan orang yang mencintainya. Saat itu, dialah yang memandikan. Dan sekali lagi, kapas itu ada di tangannya, untuk terakhir kalinya. Air matanya jatuh, menyadari betapa miskin dirinya di hadapan sang guru yang kaya akan ketenangan batin.
Dan kini, di lereng gunung orang lain, di atas salju yang dibeli dengan harta bergelimang “min aina” yang kelam, kapas itu datang kembali. Bukan di tangannya, tapi menggelinding, menghantam, menggilas. Sebuah pertanyaan yang bergulung menjadi bola yang dahsyat.
Dia terjatuh. Tubuhnya yang terbiasa melekat dengan kemewahan, terhempas ke hamparan salju yang dingin. Tak ada suara jeritan. Hanya desahan angin yang menyanyikan elegi bagi sebuah jiwa yang tersesat.
Tatapannya terbuka lebar, memandang langit biru keabadian yang semakin pudar. Di pelupuk mata dengan kedipan terakhir, yang terlihat bukan lagi kemegahan Alpen yang memukau. Tapi dua pemandangan: keperkasaan Bromo yang memantulkan kerendahan hati, dan sepotong kapas: yang sangat putih, sangat bersih, sangat suci.
Seperti pertanyaan yang akhirnya datang, menghantam jiwanya yang telah lama bersembunyi di balik menara emas dan papan ski mewah. Min aina? Wa fima anfaqtahu?
Salju itu seolah menjelma menjadi kapas, secuil kelembutan putih, diam, polos,menunggu saatnya tiba. Ia mewarnai hidup. Menjadi penghangat di kala dingin, menjadiperanti rehat di kala lelah. Ia kerap berbisik dalam hening, “Tugasku yang sesungguhnya adalah menemanimu dalam kesendirian terakhir, saat kau tak lagi ditemani kemegahan dan kemewahan duniawi”.
Saat nafas terhenti dan dunia mulai memudar, dialah yang pertama menyambut: kapas putih itu. Bukan kekayaan material yang dikumpulkan dengan susah payah, bukan takhta yang direbut dengan ambisi dan konspirasi. Tapi dia, sang kapas yang lembut, yang akan dengan setia menjadi alas terakhir untuk tubuh yang tak lagi bernyawa.
Dia akan menjadi bagian dari kain kafan yang membungkus jasad, menjadi satu- satunya harta yang benar-benar menyertai perjalanan menuju keabadian. Di kegelapan kubur yang sunyi, dialah yang akan merasakan getar ketakutan jiwa saat dua malaikat datang bertanya, Man rabbuka? Man nabiyuka? Serta momen interogasi pada penghakiman
ukhrawi: min aina? Wa fima anfaqtahu?
Secuil kapas yang polos itu adalah pengingat yang paling menyentuh jiwa. Bahwa pada akhirnya, yang akan menemani bukanlah apa yang dinggap berharga, tetapi sebuah kesederhanaan yang penuh makna.
Kapas-kapas Alpen pun dengan lembut dan ironis mulai menutupi tubuhnya yang kaku, memulasaranya dalam kesunyian yang dramatis, memilukan, dan penuh satir. Sebuah kehidupan yang sukses di mata dunia, tetapi berakhir dalam kesendirian yang pilu. Dihadang oleh pertanyaan-pertanyaan paling sederhana dari masa lalunya sendiri, yang ternyata adalah pertanyaan terberat untuk dijawab.
Dan kekayaan tak mampu membeli jawaban. Keperkasaan duniawi tak sanggup menahan gulungan kapas yang menjadi saksi atas pertanyaan-pertanyaan pada saat hanya raga yang boleh bicara. Karena, mulut tak lagi diberi kuasa untuk bersuara. Min aina? Wa fima anfaqtahu?
(Naskah Lomba Cerpen Risalah NU 2025, Tema: “Santri dan Perubahan Zaman”)