Perempuan dan Pesantren

0

Oleh: Ashila Mukhbita (Santriwati Pondok Pesantren Al Khodijah, Surabaya)

Awal Kehidupan Hivda

Di sebuah desa hijau nan asri, jauh dari hiruk pikuk kota, terbentang hamparan sawah yang luas dan subur. Udara sejuk berhembus setiap hari, ditemani kicau burung dan suara gemericik air irigasi yang mengalir di pematang sawah.

Suasana desa itu begitu tenang, hingga penduduk menyebutnya sebagai Desa Lembah Sakinah. Sebuah lembah yang menghadirkan ketentraman bagi siapa pun yang singgah. Kehidupan masyarakat desa berjalan sederhana. Fajar menyingsing ditandai kokok ayam jantan dan lantunan adzan shubuh dari masjid desa.

Para lelaki bergegas ke sawah, sementara para perempuan menyiapkan sarapan dan mengurus rumah. Sebagian dari mereka berjualan di pasar kecil di pinggir jalan utama desa, menjajakan hasil bumi seperti sayur segar, buah-buahan, dan beras dari sawah yang baru dipanen.

Namun, di balik kesederhanaan itu, masih tertanam keyakinan lama Perempuan dianggap tak lebih tinggi derajatnya dibandingkan laki-laki. Banyak yang percaya bahwa peran perempuan sebatas di dapur, di rumah, dan mengurus anak. Pandangan itu terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Di tengah hamparan sawah itu berdiri sebuah pondok pesantren putri salafiyah yang kecil bernama “Raudhatul Sakinah”. Meski sederhana, pesantren itu adalah cahaya ilmu bagi gadis-gadis desa. Dindingnya dari tembok tua bercat putih yang mulai kusam, atapnya sebagian bocor, dan halaman tanahnya berdebu saat kemarau serta becek ketika hujan.

Namun, setiap hari pesantren itu hidup oleh lantunan ayat-ayat suci dan riuh tawa santri putri yang belajar dengan penuh semangat. Di pesantren inilah seorang gadis muda bernama Hivda Yasmina Afiya tinggal.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu sudah menetap di pesantren sejak usianya sepuluh tahun, tepat setelah kecelakaan tragis yang merenggut kedua orang tuanya. Sejak kecil, Hivda sudah akrab dengan pesantren ini.

Ia sering menemani Ibunya mengaji atau sekadar berkunjung ke rumah pengasuh pesantren. Ketika tragedi itu terjadi, Ibu Nyai Salma, pengasuh pesantren, memutuskan untuk merawat Hivda. Beliau hidup seorang diri, tanpa suami dan anak, sehingga kasih sayangnya tercurah sepenuh hati kepada Hivda. Sejak saat itu, hubungan mereka tak sekadar antara pengasuh dan santri, tetapi seperti ibu dan anak kandung.

Pesantren itu dihuni sekitar dua puluh santri, termasuk sahabat karib Hivda, Rahmah. Meski jumlah santri tidak banyak, suasana selalu hangat. Setiap pagi mereka belajar kitab kuning, siangnya belajar pelajaran umum, dan setiap ba’da maghrib halaman pesantren dipenuhi anak-anak kecil dari desa yang datang belajar mengaji di Musholla Pesantren.

Hivda sangat menyukai kegiatan belajar mengajar itu. Dengan sabar ia mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyah, membetulkan bacaan mereka yang masih terbata-bata, lalu memuji setiap kemajuan kecil yang mereka capai. “Bagus sekali, Gendis.

Sekali lagi, biar lebih lancar ya,” katanya sambil tersenyum. Anak-anak pun menatapnya dengan mata berbinar, seolah semangat mereka bertambah hanya karena mendapat senyum dari Hivda.

Bagi Hivda, pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan juga rumah yang membesarkan hatinya. Di sini, ia menemukan keluarga baru, sahabat sejati, dan panggilan hidupnya.

Namun, seiring waktu, bangunan pesantren mulai menunjukkan kelemahan. Atap yang bocor setiap kali hujan deras, sumur yang mengering di musim kemarau, dan lantai retak yang sering mengeluarkan rembesan air hingga menimbulkan banjir kecil. Setiap kali melihat kondisi itu, hati Hivda terasa pilu. Dalam hatinya ia selalu berdoa,

“Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan tempat ini roboh. Jika pesantren ini hilang, cahaya ilmu di desa kami akan padam.”

***

Tekad Hivda dan Pengajuan Proposal

Sore itu, Hivda duduk di teras pesantren, memandangi hamparan sawah yang berkilau diterpa cahaya matahari senja. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru disiram hujan semalam. Dari kejauhan, ia bisa mendengar suara anak-anak kecil yang masih bermain di pematang, tawa mereka riang, kontras dengan beban yang ia rasakan di dadanya.

Rahmah, sahabat karibnya, datang sambil membawa dua gelas teh hangat di atas nampan. “Assalamualaikum, Da…..” sapa Rahmah sambil duduk di sampingnya.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Hivda pelan, matanya masih menatap jauh.

“Kamu lagi mikir apa?” Rahmah menyodorkan segelas teh.

Hivda menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku memikirkan cara agar pesantren ini tetap bertahan. Atap kita makin bocor, sumur sering kering. Kalau hujan deras, air merembes dari lantai. Aku takut, mah… aku takut suatu hari pesantren ini benar-benar roboh.” Rahmah menyesap tehnya sebentar, lalu berkata,

“Kamu kan sudah menulis proposal itu, tinggal kita ajukan ke pemerintah daerah. InsyaAllah ada jalan.” “Tapi… bagaimana kalau ditolak? Bagaimana kalau mereka menganggap kita cuma pesantren kecil, santrinya sedikit, tidak penting untuk diperhatikan?” Suara Hivda lirih, penuh keraguan.

Rahmah menatapnya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Hivda, niat baik tak pernah sia-sia. Ingat sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:’ Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin’—menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki maupun perempuan.

Kalau pesantren ini roboh, siapa yang akan membimbing anak-anak di desa? Kita punya tanggung jawab.” Kata-kata itu menyalakan kembali semangat dalam hati Hivda. Ia tersenyum tipis. “Kamu benar, mah. Kita harus ikhtiar.”

Mereka pun masuk ke ruang belajar. Lampu minyak tergantung di langit-langit, cahayanya berkelip ditiup angin malam yang menyelinap dari jendela. Di atas meja kayu tua, kertas-kertas proposal berserakan. Pena dan laptop tua yang sering mati mendadak menjadi saksi perjuangan dua gadis muda itu.

“Bagaimana kalau bagian pendahuluan kita tulis begini Pesantren adalah pusat pendidikan moral dan spiritual di Desa Lembah Sakinah. Meski sederhana, pesantren ini telah melahirkan generasi yang mencintai Al-Qur’an…?” ucap Rahmah sambil menyalin kalimat ke kertas. “Baaagus. Lalu tambahkan data jumlah santri, kegiatan Tpq, dan kondisi bangunan yang rusak. Semakin jelas, semakin meyakinkan,” tambah Hivda.

Malam itu mereka bekerja hingga larut. Sesekali mereka berhenti, berdiskusi, lalu tertawa kecil ketika salah satu dari mereka salah mengetik atau membuat kalimat yang terdengar janggal.

Di sela penat, mereka berdoa lirih, berharap tulisan mereka menyentuh hati para pejabat yang membacanya. Ketika proposal itu akhirnya selesai, mereka menatapnya dengan mata berbinar. “Semoga Allah mudahkan,” bisik Hivda.

Tiga bulan berlalu. Proposal itu telah mereka serahkan dengan penuh harap, namun tak ada kabar balasan. Seakan lenyap ditelan birokrasi. Yang lebih menyakitkan, kabar tentang proposal itu menyebar ke warga desa.

Suatu sore, saat Hivda membeli sayur di warung, ia mendengar ejekan dari beberapa lelaki yang duduk di bangku bambu. “Ngapain bikin proposal? Pesantrennya kecil, santrinya cuma dua puluh,” ujar seorang lelaki sambil terkekeh.

“Perempuan itu urus saja dapur. Jangan sok repot mikirin hal besar,” tambah yang lain. Tawa mereka pecah, menusuk telinga Hivda. Wajahnya panas, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

Dengan langkah cepat ia pergi, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk. Sesampainya di pesantren, ia langsung menuju kamarnya. Di dalam kamar sempit itu, tangisnya pecah.

Sesekali ia menutup wajah dengan bantal agar suara isaknya tak terdengar. Tapi air mata terus mengalir, membawa seluruh perasaan sakit dan kecewa. Ibu Nyai Salma yang kebetulan melintas mendengar suara itu. Beliau mengetuk pintu pelan, lalu masuk. “Nak, kenapa? Kok sedih begini?” tanyanya lembut, duduk di sisi ranjang.

“Ibu…” Hivda terkejut, buru-buru menghapus air matanya. “Aku salah ya bu… berinisiatif mengajukan proposal ke pemerintah untuk pembangunan pesantren ini ? Aku hanya ingin pesantren ini lebih baik. Tapi orang-orang bilang percuma. Katanya perempuan tak usah mimpi terlalu tinggi. Mereka menertawakanku.”

Ibu Nyai menatapnya penuh kasih, lalu menggenggam tangannya erat. “Kenapa harus salah? Justru itu mulia. Ingat firman Allah: ‘Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan…’ (QS. Ali Imran: 195).

Jangan biarkan hinaan mereka mematahkanmu. Hinaan itu hanya suara bising, tapi langkahmu adalah suara kemenangan.” Ibu Nyai Salma melanjutkan dengan suara lembut, “Perempuan memang sering di remehkan. Di bilang tidak perlu bersusah payah lah karena nanti ujung-ujungnya menikah.

Kalau hidup hanya diukur dengan selesai S1, lanjut S2, lalu S3, kemudian menikah, bekerja, dan hidup mapan—itu terlalu murah nilainya. Jangan berhenti pada titik aku sudah selesai dengan diriku sendiri.” Beliau menambahkan lagi, “Perempuan berhak berjuang dan bermanfaat bagi sesama.

Di tengah zaman yang semakin individualistis ini, jangan jadikan hidup sekadar untuk mencari aman dan untung sendiri. Hidup akan benar-benar bernilai ketika diniatkan untuk memberi arti, menghadirkan manfaat, dan menebar kebaikan setidaknya bagi orang-orang di sekitar kita. Hidup yang mahal adalah hidup yang penuh makna dan kebermanfaatan.

Jadikan cemooh dan ocean mereka sebagai bahan bakarmu untuk membuktikan bahwa Perempuan itu bisa berperan dan berdaya”. Pelukan hangat itu membuat Hivda kembali tegar. Air matanya masih jatuh, tapi kini bercampur dengan tekad yang lebih kuat. Dalam hati ia berjanji, “Aku tidak akan berhenti. Aku akan buktikan bahwa perempuan juga bisa berperan dan berdaya.”

***

Musim Hujan dan Bencana

Musim hujan datang lebih deras dari tahun-tahun sebelumnya. Langit Desa Lembah Sakinah hampir setiap hari dipenuhi awan gelap, seolah menyimpan beban yang siap dituangkan kapan saja.

Angin bertiup kencang, menghempas dedaunan dan menggoyangkan batang padi yang mulai merunduk. Sungai kecil di tepi desa meluap, membawa air cokelat pekat dari hulu. Malam itu, hujan turun tanpa henti sejak sore. Rintiknya kian deras, memukul atap genteng tua pesantren yang sebagian sudah retak.

Air merembes dari sela-sela genting, menetes ke lantai kamar dan musholla kecil. Para santri berlarian membawa ember dan kain pel, berusaha menampung dan mengeringkan air yang masuk. “Cepat, tutup dengan kain di sini!” teriak Rahmah, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Hivda berlari ke dapur, membawa ember tambahan. Matanya gelisah melihat atap dapur yang terus-menerus berderak diterpa angin. “Ya Allah, lindungi kami…” doa lirihnya keluar tanpa sadar.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan semakin deras, disertai kilat menyambar dan guntur yang menggelegar. Tiba-tiba terdengar suara keras—kraaaakkk! Atap dapur roboh, genteng-genteng jatuh berserakan, menimbulkan kepanikan luar biasa.

“Semua keluar! Cepat, keluar!” teriak Hivda lantang, suaranya penuh wibawa meski hatinya berdebar kencang. Para santri kecil menjerit, sebagian berlari sambil menangis. Hivda dan Rahmah menggiring mereka menuju halaman depan yang lebih aman. Namun, di tengah kekacauan itu, Hivda menyadari seorang santri kecil bernama Zahra belum terlihat.

“Zahra di mana?!” teriaknya panik.

“Saya tadi lihat dia di dapur, Kak!” jawab salah satu santri terbata-bata. Tanpa pikir panjang, Hivda kembali berlari ke arah dapur yang sudah setengah ambruk. Angin kencang meniup jilbabnya, hujan menghantam wajahnya. Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, kuatkan langkahku. Jangan biarkan aku kehilangan seorang pun malam ini.”

Di dalam dapur, ia menemukan Zahra bersembunyi di sudut, tubuhnya gemetar ketakutan. “Zahra! Ayo ikut kakak!” seru Hivda, meraih tangannya. “Aku takut, Kak…” suara Zahra nyaris tak terdengar. “Tidak apa-apa, Kakak di sini. Pegang erat tangan kakak,” Hivda berusaha menenangkan.

Dengan susah payah, ia menarik Zahra keluar. Baru beberapa langkah meninggalkan dapur, suara gemuruh besar terdengar. Braaaak! Sisa atap dan dinding runtuh, sebagian mengenai tubuh Hivda. Ia jatuh tersungkur, tubuhnya penuh luka, tapi tangannya masih menggenggam kuat tangan Zahra, memastikan gadis kecil itu selamat.

Para santri menjerit. Rahmah berlari menghampiri, membantu membawa Zahra. Ibu Nyai Salma yang sejak tadi sibuk mengatur santri, menjerit histeris melihat Hivda berlumuran darah. “Ya Allah, Hivda… Nak!” Beliau langsung memeluk tubuh gadis itu.

Hivda tersenyum lemah, matanya masih sempat menatap santri-santri lain yang menangis ketakutan. “Alhamdulillah, mereka selamat…” batinnya sebelum matanya terpejam sejenak karena lemas.

Malam itu, pesantren kecil Raudhatul Sakinah luluh lantak diterpa badai. Bangunan yang rapuh tak mampu lagi menahan derasnya ujian alam. Hanya musholla kecil yang masih berdiri, meski penuh bocor dan retakan. Para santri dievakuasi ke rumah warga terdekat, sementara Hivda dibaringkan di ruang tamu pesantren dengan perban seadanya.

Esok paginya, kabar robohnya pesantren menyebar ke seluruh desa. Ada yang iba dan datang membawa makanan, tapi tak sedikit pula yang mencibir. “Itulah akibatnya kalau dipimpin perempuan,” ucap seorang warga di kerumunan.

“Dari dulu aku bilang, pesantren kecil itu tak akan bertahan lama,” sahut yang lain. Ucapan itu sampai ke telinga Hivda. Meski tubuhnya lemah, hatinya seperti ditikam. Ia memandang langit biru yang mulai cerah setelah badai, lalu berdoa dalam hati: “Ya Allah, jangan biarkan pesantren ini mati. Jangan biarkan ejekan mereka menjadi kenyataan. Beri aku kekuatan untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjaga cahaya ilmu”.

***

Surat Terbuka Hivda dan Kebangkitan Pesantren

Hari-hari setelah bencana terasa panjang dan berat. Para santri diungsikan ke rumah singgah milik seorang dermawan desa. Suasana yang biasanya riuh oleh tawa anak-anak, kini berganti sepi penuh kecemasan. Pesantren Raudhatul Sakinah tinggal kenangan berupa puing-puing kayu dan tembok yang roboh.

Berbeda dengan Hivda, meski tubuhnya masih lemah karena luka-luka, ia mencoba tegar di hadapan para santri. Setiap malam ia duduk di tengah mereka, membacakan kisah-kisah nabi dan ulama pejuang. “Kalian tahu, Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam keterbatasan, tapi ilmunya menerangi dunia.

Kita juga harus tetap semangat, meski pesantren kita roboh,” katanya dengan suara lirih. Anak-anak kecil menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sebagian menggenggam erat tangannya. “Kak Hivda, kapan kita bisa ngaji lagi di pesantren?” tanya seorang anak polos. Pertanyaan itu menusuk hatinya. Ia tersenyum, meski matanya berkaca. “InsyaAllah, sebentar lagi.

Pesantren boleh roboh, tapi ilmu tidak pernah roboh.” Namun di luar sana, suara sinis terus terdengar. Sebagian warga berbisik-bisik, “Sudah kubilang, pesantren kecil itu hanya menyusahkan. Kalau dipimpin perempuan, pasti begini hasilnya.” Ucapan itu menyebar, menambah luka batin yang belum sembuh.

Suatu malam, ketika semua santri terlelap, Hivda duduk sendirian di beranda rumah singgah. Bulan pucat menerangi wajahnya yang pucat, tangannya gemetar memegang pena dan kertas. Ia menulis sebuah surat terbuka. Tangannya bergetar, tetapi hatinya mantap. Kata demi kata mengalir:

“Saudaraku, pesantren kecil kami memang roboh. Tapi semangat kami belum roboh. Jangan biarkan anak-anak desa kehilangan cahaya ilmu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.’ (HR. Ahmad). Kami ingin menjadi manfaat itu.

Kami mohon, mari kita bangun kembali pesantren ini, agar generasi kita tidak kehilangan tempat belajar dan berlindung.” Beberapa hari kemudian, Hivda dengan kondisi tubuh lemah dibopong Rahmah menuju masjid besar di kota. Setelah sholat jum’at, ia diberi kesempatan berdiri di mimbar kecil.

Jamaah masjid menatap penuh rasa ingin tahu gadis muda yang tubuhnya dibalut perban tipis itu. Dengan suara bergetar, ia membaca suratnya. Setiap kata terasa menusuk hati. Suaranya serak, namun penuh keyakinan. Tangannya gemetar, tapi matanya berbinar. Di tengah pembacaan, beberapa orang menundukkan kepala, sebagian meneteskan air mata.

Ketika ia selesai, suasana masjid hening sejenak sebelum akhirnya terdengar gema “Allahu Akbar” dari jamaah. Seorang bapak paruh baya berdiri, “Nak, kami akan membantu. Jangan khawatir, pesantrenmu tidak akan mati.” Berita tentang surat terbuka Hivda menyebar cepat. Media lokal menulis kisahnya, warga kota tergerak menggalang dana. Proposal yang lama tak dijawab akhirnya disetujui oleh pemerintah daerah. Bantuan mengalir dari berbagai arah—uang, bahan bangunan, bahkan tenaga sukarela.

Rahmah menangis haru sambil memeluk Hivda. “Da….. kamu benar-benar luar biasa. Kata-katamu membangunkan hati orang-orang.” Hivda tersenyum, menatap langit biru yang mulai cerah. “Itu bukan karena aku, mah. Itu karena Allah yang menggerakkan hati mereka. Kita hanya perantara.”

Tiga bulan kemudian, di lahan pesantren yang dulu hanya puing, berdirilah bangunan baru yang megah dan kokoh. Dindingnya bercat putih bersih, atapnya rapi, halaman ditanami bunga, dan sumurnya diganti dengan pompa modern.

Hari tasyakuran digelar. Warga desa, pejabat daerah, dan donatur hadir. Doa-doa dipanjatkan, air mata bahagia menetes. Anak-anak kecil kembali berlari di halaman pesantren, suara tawa mereka memenuhi udara. Namun di tengah kebahagiaan itu, kondisi Hivda semakin melemah. Luka dalam tubuhnya menimbulkan komplikasi. Nafasnya sering terengah, tubuhnya kurus, dan wajahnya pucat.

Meski demikian, ia tetap tersenyum setiap kali melihat pesantren barunya berdiri tegak. Suatu pagi, Hivda terbaring di pangkuan Ibu Nyai Salma. Dengan suara lirih ia berbisik, “Ibu… alhamdulillah pesantren kita sudah berdiri lagi. Aku tenang sekarang.” Air mata Ibu Nyai menetes, membasahi pipi Hivda. “Nak, jangan bicara begitu. Kamu masih harus mendidik adik-adikmu.”

Hivda tersenyum lemah. “Ibu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: ‘Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh yang mendoakan.’ (HR. Muslim). Pesantren ini… akan menjadi sedekah jariyah kita semua.”

Tak lama kemudian, napasnya terhenti. Senyuman masih menghiasi wajahnya. Suasana pesantren yang baru saja meriah berubah duka. Tangis para santri dan warga desa mengiringi kepergiannya.

Beberapa hari setelah pemakaman Hivda, sebuah papan besar dipasang di gerbang pesantren baru. Tulisan itu dipilih oleh Ibu Nyai Salma sebagai warisan pesan moral bagi siapa pun yang melangkahkan kaki ke Raudhatul Sakinah. Tertulis kalimat hikmah dalam bahasa Arab:

Artinya: “Dengan mendidik perempuan, akan lahir generasi yang shalih, dan dengannya peradaban akan tegak.”

Para santri yang membaca tulisan itu selalu teringat pada sosok Hivda Yasmina Afiya gadis sederhana yang dengan perjuangannya telah membuktikan kebenaran kalimat tersebut. Meski raganya telah tiada, semangatnya tetap hidup dalam doa, dalam lantunan ayat-ayat suci, dan dalam tekad para perempuan desa untuk terus menegakkan peradaban melalui ilmu.

TAMAT

(Naskah Lomba Cerpen Majalah Risalah NU 2025)

Leave A Reply

Your email address will not be published.