Fajar menyingsing di ufuk timur, perlahan membelah pekatnya malam di desa Sukamukti. Di langit, warna jingga berbaur dengan sisa bintang yang enggan pergi. Di tengah suasana hening itu, suara adzan subuh dari surau tua milik pesantren Darul Hikmah berkumandang merdu, memanggil segenap penghuni desa untuk bersujud menyambut pagi.
Azka, seorang santri berusia sembilan belas tahun, tergesa-gesa menuju masjid. Ia baru saja menyelesaikan tilawah yang tertunda semalam, sambil menahan kantuk yang masih membebani kelopak matanya. Ia dikenal sebagai santri yang rajin dan tekun, namun akhir-akhir ini pikirannya sering terganggu oleh hal-hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: dunia digital yang kini menjelma menjadi arus deras, mengalir hingga ke bilik-bilik pesantren yang dulu hanya dihiasi kitab kuning dan rak kayu berdebu.
Setelah shalat subuh berjamaah, para santri biasa duduk dalam lingkaran, mengaji kitab Ta’lim Muta’allim atau mendengarkan tausiyah dari Kyai Musthafa, pengasuh pesantren. Pagi itu, Kyai Musthafa berbicara dengan suara lembut namun tegas, menatap para santri satu per satu.
“Anak-anakku,” ujarnya,
“zaman terus berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Jangan sampai kalian hanya menjadi penonton. Jadilah insan yang membawa ilmu agama ke dunia modern, bukan yang hanyut di dalamnya.”
Azka mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi hatinya gelisah. Beberapa hari terakhir, ia tergoda membuka gawai yang disembunyikan di bawah lipatan sarungnya. Temannya, Fikri, diam-diam telah mengajarinya cara mengakses media sosial dan berita online. Awalnya, Azka hanya ingin mencari informasi seputar dakwah digital dan kajian Islam, namun lama-kelamaan ia terjebak pada video-video yang tak lagi berkaitan dengan ilmu, bahkan berita yang belum tentu kebenarannya. Sore itu, setelah pelajaran tafsir, Fikri menghampirinya dengan wajah antusias.
“Ka, kamu sudah lihat video yang viral itu belum? Tentang seorang kyai yang katanya menyalahgunakan dana pesantren?”
Azka menggeleng.
“Aku belum sempat lihat, Fik. Tapi hati-hati, jangan mudah percaya. Kita belum tahu kebenarannya.”
Fikri tertawa kecil.
“Ah, kamu ini terlalu polos. Semua orang sudah nonton. Ribuan komentar menghujat. Kalau tidak benar, mana mungkin seramai itu?”
Ucapan Fikri membuat dada Azka terasa berat. Ia teringat pesan Kyai Musthafa tentang fitnah di akhir zaman yang bisa menyebar lebih cepat dari api yang membakar jerami. Namun rasa penasarannya mengalahkan kewaspadaan. Malam itu, ketika para santri lain terlelap, ia membuka gawainya dan mencari video yang dimaksud.
Gambar yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup kencang. Seorang lelaki tua yang mirip dengan kyai dari pesantren tetangga tampak berbicara dalam rekaman yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Dalam video itu, terdengar percakapan tentang uang dan proyek pembangunan yang seakan-akan penuh kecurangan.
“Apakah ini benar?” batin Azka.
Ia ingin menutup video itu, tapi jemarinya terus menggulir layar, membaca komentar- komentar penuh amarah dan hujatan. Semakin ia membaca, semakin hatinya gelisah. Malam itu, ia tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi keraguan, bukan hanya terhadap video tersebut, tapi juga terhadap pesantren dan kyai yang selama ini ia hormati.
Keesokan harinya, suasana pesantren terasa berbeda. Angin pagi yang biasanya membawa kesejukan dan aroma bunga melati dari halaman pesantren kini seakan membawa bisikan-bisikan yang penuh kegelisahan. Di bawah pohon mangga yang rindang, beberapa santri tampak berkumpul dalam kelompok kecil, berbisik-bisik sambil menyembunyikan gawai mereka di balik lipatan sarung. Sesekali mereka menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada ustadz atau pengurus pesantren yang melihat.
Berita tentang video itu telah menyebar seperti angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering di halaman pesantren. Dalam waktu semalam saja, gosip itu sudah menjalar ke setiap sudut kamar santri, ke dapur umum, bahkan ke warung kecil di luar gerbang pesantren. Yang awalnya hanya desas-desus kini berubah menjadi obrolan hangat yang sulit dibendung.
Ada yang membicarakannya dengan nada prihatin, ada pula yang menyampaikannya dengan rasa penasaran bercampur kegembiraan, seakan menemukan rahasia besar yang selama ini tersembunyi.
Bahkan, beberapa santri yang dikenal alim dan pendiam pun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu mereka.
“Benarkah itu Kyai Ahmad dari pesantren sebelah?” Bisik seorang santri sambil menatap layar ponselnya.
Santri lain yang duduk di sebelahnya menimpali dengan suara lebih pelan,
“Katanya sih iya. Banyak yang bilang suaranya mirip sekali. Kalau benar, ini bisa jadi masalah besar bagi dunia pesantren kita.”
Azka berdiri tak jauh dari mereka, mendengar percakapan itu dengan dada berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan teman-temannya, tapi suaranya kalah oleh hiruk pikuk gosip yang beredar.
“Kita belum tahu kebenarannya. Jangan terburu-buru menuduh,”
katanya dengan nada tegas, berusaha mengingatkan.
Beberapa santri menoleh ke arahnya, sebagian dengan tatapan ragu, sebagian lagi dengan pandangan sinis. Seorang santri yang dikenal kritis, bernama Mahrus, menyahut dengan nada tajam,
“Ka, jangan terlalu membela. Bisa saja pesantren kita juga seperti itu, hanya saja belum ketahuan.”
Perkataan itu menusuk hati Azka seperti duri tajam. Ia ingin membalas, namun lidahnya kelu. Dalam benaknya berkecamuk perasaan yang sulit dijelaskan: marah, sedih, sekaligus bingung. Ia merasa berada di persimpangan: antara mempertahankan kepercayaan pada kyai dan pesantren yang selama ini ia cintai, atau ikut hanyut dalam arus keraguan yang datang dari dunia digital yang tak terbendung.
Hari itu terasa begitu panjang bagi Azka. Di kelas tafsir, pikirannya melayang-layang. Kata-kata gurunya terdengar samar, seakan berasal dari tempat yang jauh. Ketika jam pelajaran selesai, ia berjalan ke kamar dengan langkah gontai. Di sepanjang jalan, ia mendengar potongan-potongan percakapan yang membuat hatinya semakin resah.
“Aku dengar video itu sudah masuk berita di portal nasional,” kata seorang santri. “Serius? Kalau sudah masuk portal berita, berarti benar dong!” sahut yang lain. “Belum tentu,” timpal santri lain,
“bisa saja berita itu juga cuma ikut-ikutan viral.”
Azka menutup telinganya, mencoba mengusir suara-suara itu. Tapi semakin ia berusaha, semakin jelas suara-suara itu terdengar di kepalanya. Malam itu, ketika semua santri terlelap, ia duduk di sudut kamar dengan gawai di tangan. Jemarinya gemetar saat mengetikkan kata kunci yang selama ini ia coba hindari.
Layar ponselnya menampilkan video yang sedang ramai dibicarakan. Suara seorang lelaki tua terdengar jelas, seolah sedang berdiskusi tentang dana pembangunan pesantren. Dari sudut pengambilan gambar yang tersembunyi, tampak sepotong wajah yang sekilas mirip seorang kyai terkenal di daerah mereka. Azka menahan napas.
“Apakah ini benar?” batinnya.
Ia membaca komentar-komentar yang berseliweran di bawah video itu. Ribuan orang berdebat, sebagian memaki, sebagian membela. Kalimat-kalimat itu seperti gelombang yang menghantam perasaannya bertubi-tubi. Malam itu, Azka tak bisa tidur. Matanya terus menatap layar ponsel yang dingin, sementara pikirannya berkecamuk tak karuan.
Keesokan malam, ia memutuskan untuk menghadap Kyai Musthafa. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju rumah kyai yang berada di sisi barat pesantren. Lampu minyak di beranda rumah kyai berpendar redup, menambah suasana haru yang menyelimuti hati Azka.
Ia mengetuk pintu dengan tangan bergetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Kyai Musthafa muncul dengan senyum tenang. Wajahnya yang dipenuhi keriput memancarkan kebijaksanaan.
“Ada apa, Nak Azka? Wajahmu tampak gundah,” tanya Kyai Musthafa lembut.
Azka menunduk, mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan suara lirih, ia menceritakan tentang video yang viral, komentar-komentar di media sosial, dan kegelisahan para santri. Kyai Musthafa mendengarkan tanpa memotong pembicaraan, sesekali mengangguk pelan. Setelah Azka selesai, kyai itu menarik napas panjang, lalu berbicara dengan nada yang penuh keteduhan.
“Azka,” ujarnya,
“dunia digital bagaikan samudera luas. Di dalamnya ada mutiara ilmu, tapi juga banyak badai fitnah. Video yang kamu lihat bisa benar, bisa juga rekayasa. Jangan mudah percaya hanya karena banyak yang menontonnya. Nabi kita, Muhammad SAW, mengajarkan untuk tabayyun, memastikan kebenaran sebelum menyebarkan kabar.”
Air mata menitik di sudut mata Azka. Ia merasa seolah sedang dipeluk oleh kata-kata kyainya yang penuh hikmah.
“Tapi, Kyai,” suaranya bergetar,
“bagaimana caranya agar kami, para santri, bisa tetap teguh di tengah badai informasi seperti ini? Kami merasa seperti kapal kecil di tengah lautan yang bergelombang.”
Kyai Musthafa tersenyum bijak.
“Dengan ilmu dan adab, Nak. Zaman boleh berubah, tapi prinsip kita harus tetap. Gunakan teknologi untuk berdakwah, bukan untuk saling menjatuhkan. Jadikan pesantren ini benteng yang mengajarkan kebenaran, bukan arena perpecahan.”
Malam itu, Azka pulang ke kamarnya dengan hati yang lebih tenang. Ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi penonton pasif dalam dunia digital. Ia ingin mengambil peran, membawa pesan kebaikan di tengah gelombang fitnah.
Sejak malam itu, Azka bertekad untuk berubah. Ia mulai mempelajari cara memanfaatkan teknologi secara bijak. Ia membaca buku tentang komunikasi digital, menonton video tutorial, dan bertanya kepada ustadz muda yang mengerti tentang media sosial.
Beberapa minggu kemudian, ia mendengar kabar tentang pelatihan dakwah digital yang diadakan oleh organisasi santri muda di kota. Tanpa ragu, ia mendaftar dan mengikuti pelatihan itu meski harus berjalan kaki cukup jauh menuju terminal, lalu naik bus seorang diri.
Dalam pelatihan itu, ia belajar banyak hal: mulai dari membuat konten yang menarik, cara memverifikasi berita sebelum membagikannya, hingga teknik sederhana untuk mengedit video. Azka merasa seperti menemukan dunia baru yang selama ini asing baginya.
Dengan ilmu yang ia dapatkan, Azka membuat akun media sosial khusus untuk berbagi pesan-pesan positif, ceramah singkat, dan kisah inspiratif dari pesantren. Ia merekam Kyai Musthafa saat memberikan tausiyah, lalu mengunggahnya dengan caption yang menyentuh hati.
Perlahan, akun tersebut mulai diikuti banyak orang. Santri-santri yang dulu suka menyebar gosip kini mulai bergabung, membuat konten yang membela kebenaran dan melawan hoaks. Pesantren Darul Hikmah yang dulu menjadi korban fitnah, kini berubah menjadi sumber pencerahan di dunia digital.
Beberapa video dakwah yang diunggah Azka bahkan viral. Salah satunya adalah video tentang adab santri kepada guru, yang ditonton ratusan ribu kali dalam beberapa hari. Banyak komentar positif yang memuji kesederhanaan pesantren dan keikhlasan para santri.
Namun ujian belum berhenti di situ. Suatu hari, berita mengejutkan datang: aparat kepolisian menangkap pelaku penyebaran video fitnah yang dulu membuat gaduh. Ternyata, video itu sengaja direkayasa oleh sekelompok orang yang iri dengan berkembangnya pesantren di daerah tersebut.
Ketika kebenaran itu terungkap, banyak orang yang merasa bersalah karena telah percaya tanpa tabayyun. Para santri yang dulu penuh keraguan kini merasa malu. Mereka mendatangi Kyai Musthafa untuk meminta maaf.
Fikri, yang dulu sering mendorong Azka menonton video fitnah, datang menemuinya dengan wajah tertunduk.
“Ka, aku… aku menyesal,”
suaranya bergetar.
“Aku sudah ikut menyebarkan berita itu. Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku?”
Azka menatap sahabatnya dengan iba. Ia lalu menepuk bahu Fikri dan berkata,
“Mulailah dari sekarang, Fik. Gunakan media sosialmu untuk kebaikan. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.”
Hari berganti, dan pesantren Darul Hikmah kembali tenang. Suasana yang dulu penuh gosip kini dipenuhi semangat belajar. Kyai Musthafa mengumpulkan seluruh santri di aula pesantren yang luas dan sederhana. Dengan suara lantang, beliau menyampaikan pesan yang akan selalu terpatri di hati Azka dan teman-temannya.
“Anak-anakku,” kata Kyai Musthafa,
“dunia digital adalah anugerah sekaligus ujian. Jika kalian bijak, teknologi akan menjadi sahabat dalam dakwah. Tapi jika kalian lengah, ia akan menjadi musuh yang merusak iman dan persaudaraan. Jadilah santri yang mampu berdiri tegak di persimpangan zaman ini, membawa cahaya ilmu di tengah gelapnya fitnah.”
Kata-kata itu menggema di ruangan, seperti cahaya yang menembus kabut. Azka menatap wajah kyai yang penuh wibawa itu. Ia merasa seolah beban berat dalam hatinya terangkat. Kini ia mengerti, menjadi santri di era digital bukan sekadar menghafal kitab, tapi juga memahami dunia modern agar mampu menebar kebaikan di mana pun berada.
Di luar aula, langit sore tampak cerah. Burung-burung terbang kembali ke sarang, sementara para santri berjalan menuju masjid untuk shalat maghrib. Azka melangkah dengan penuh keyakinan. Ia tahu perjalanan masih panjang, tapi ia siap menghadapi setiap tantangan yang akan datang.
“Ya Allah,” doanya dalam hati,
“jadikan aku santri yang mampu memanfaatkan zaman ini untuk-Mu, bukan hanyut di dalamnya.”
Dengan tekad itu, Azka melangkah maju, meninggalkan jejak di persimpangan zaman digital yang terus berubah, membawa misi mulia pesantren ke dunia yang lebih luas.
Profil Penulis
Penulis bernama lengkap Abdul Kholik, S.H.I.,M.H, Penulis lahir di Cirebon, 03 Maret 1983. Saat ini penulis menjadi Mahasiswa S3 Menempuh Program Studi S3 Doktor Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia. Rumah penulis bertempat di Jalan raya susukan utara No 55 RT 19 RW 03 Dusun Panjunan, Desa Susukan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat-Indonesia. No HP / Whatsap : 081313472919 / 081226107562 email : [email protected]