Sulit membayangkan kehidupan bangsa tanpa kehadiran pers. Di balik setiap perubahan sosial, selalu ada tinta wartawan yang merekam zaman. Sejarah pers Indonesia tidak hanya kisah tentang media, namun perjalanan panjang tentang perjuangan, keberanian, dan suara yang menembus batas kekuasaan. Dari masa kolonial hingga era digital, pers selalu menjadi saksi sekaligus pelaku dalam perjalanan demokrasi negeri ini.
Pers Indonesia lahir dari semangat perlawanan terhadap penjajahan. Awal abad ke-20 menjadi titik penting ketika Raden Mas Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji (1907), surat kabar pertama yang dikelola pribumi. Media ini tidak hanya tempat menulis berita, lebih dari itu, ia menjadi wadah untuk menyalakan api perlawanan nasional lewat tulisan di tengah tekanan kolonial. Lewat tulisan-tulisan yang bernas, menukik nan tajam, rakyat mulai memahami arti sebuah persatuan, harga diri, dan kemerdekaan berpikir. Semangat yang dinyalakan oleh media cetak Medan Prijaji ini, kemudian memantik kesadaran baru, bahwa membangun literasi, pada hakikatnya memupuk semangat kemerdekaan.
Selang beberapa waktu kemudian, muncul media cetak lain yang bernama Bintang Hindia, Pewarta Deli, dan berbagai surat kabar lain yang ikut mengobarkan semangat perlawanan. Meskipun kemudian, pada saat kependudukan Jepang di Indonesia, mereka sempat membungkam kebebasan pers, namun nyala semangat itu tak pernah padam. Para wartawan tetap menyajikan suguhan informasi dan wawasan literasi yang membangkitkan kesadaran nasionalisme. Mereka secara diam-diam menyalurkan pesan perjuangan di antara baris kata yang tampak sederhana, namun sarat akan penguatan ideologi bangsa.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pers kembali berdiri tegak. Akan tetapi, misinya bukan lagi sebagai pendorong Gerakan kemerdekaan, namun sebagai penjaga suara rakyat dan pengawal kebenaran. Surat kabar menjadi corong semangat bangsa muda, menyebarkan kabar perjuangan dan harapan. Para wartawan tidak lagi menulis berita, lebih dari itu mereka berjuang lewat kata demi satu hal, yakni agar kebenaran tak pernah hilang dari tanah yang baru merdeka ini.
Pada masa Orde Baru, pers kembali menghadapi tekanan besar akibat kebijakan Sistem Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang membatasi kebebasan media. Setiap penerbit wajib memiliki izin pemerintah, dan kebijakan ini dijadikan alat untuk mengontrol isi pemberitaan. Banyak media besar seperti Tempo, Kompas, dan dan mass media lain dibredel karena dianggap mengganggu “stabilitas nasional”. Suara kritis dibungkam, dan ruang bagi jurnalis independen semakin sempit.
Di balik tekanan itu, wartawan tidak kehilangan akal. Mereka beradaptasi dengan menulis menggunakan bahasa simbolik, satir, dan metaforis agar pesan tetap tersampaikan tanpa melanggar sensor. Pers menjadi cerminan bagi kondisi bangsa yang tak bisa bersuara lantang, namun tetap mampu menyajikan narasi sarkas dengan halus dan bermakna. Dalam keterbatasan tersebut, pers tetap berperan menjaga kesadaran publik. Berita bukan lagi sekedar informasi, melainkan bentuk perlawanan halus terhadap kekuasaan tirani. Wartawan menimbang setiap kata dengan hati-hati, memastikan kebenaran terselip di antara baris tulisan yang tampak netral. Dari sinilah lahir jurnalis hebat, cerdas, dan berani yang tak perlu berteriak untuk menyentuh nurani masyarakat, namun tetap tajam dalam membela kebenaran.
Meski hidup di bawah bayang-bayang sensor, semangat jurnalisme tak pernah padam. Banyak wartawan muda tumbuh dengan tekad menjaga idealisme pers, menjadikan pena sebagai alat perjuangan yang sunyi namun berpengaruh. Dari ruang redaksi yang sederhana, mereka belajar bahwa kebenaran tak bisa dimatikan, hanya bisa ditunda. Ketika angin reformasi akhirnya datang, pers pun bangkit kembali dengan suara yang lebih bebas, membawa harapan baru bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Kebebasan itu membuka peluang bagi media untuk lebih berani mengeksplorasi isu sosial, politik, dan budaya tanpa takut dibungkam. Pers mulai memegang peran vital sebagai pengawas kekuasaan sekaligus penyalur aspirasi rakyat, memastikan suara publik terdengar dan kebenaran tetap menjadi prioritas utama.
Tahun 1998 menjadi titik balik besar dalam sejarah media Indonesia. Runtuhnya rezim Orde Baru membuka lembaran baru bagi kebebasan pers yang selama ini dibungkam. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi tonggak penting dalam perjalanan jurnalisme nasional. Regulasi ini menjamin kebebasan berekspresi, melindungi jurnalis dari tekanan politik, dan menegaskan bahwa kegiatan pers tidak lagi berada di bawah kendali pemerintah.
Kebebasan itu segera disambut dengan euforia. Media tumbuh pesat di berbagai daerah, surat kabar lokal bermunculan, dan televisi swasta berkembang menjadi sumber hiburan sekaligus informasi. Masyarakat menikmati keberagaman pandangan dan berita dari berbagai perspektif. Pers yang dulu terbelenggu kini menjelma menjadi ruang terbuka bagi aspirasi publik, tempat di mana suara rakyat bisa menggema tanpa takut dibungkam.
Namun, di balik kebebasan yang meluas, muncul tantangan baru yang tak kalah berat. Persaingan antar-media semakin ketat, mendorong sebagian pihak mengejar kecepatan tanpa memperhatikan akurasi. Disinformasi dan berita sensasional mulai merebak, sementara kepemilikan media yang terpusat menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya independensi redaksi. Kebebasan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata kini diuji oleh dinamika zaman digital yang bergerak begitu cepat.
Dalam kondisi ini, tanggung jawab etis jurnalis menjadi hal yang tak bisa ditawar. Pers bukan sekedar penyampai informasi, tetapi juga penjaga nurani bangsa. Di tengah derasnya arus berita dan kepentingan, jurnalis dituntut untuk tetap berpihak pada kebenaran dan keadilan, serta menolak tekanan yang bisa mengaburkan fakta. Kebebasan pers sejatinya bukan hanya hak untuk berbicara, tetapi juga kewajiban menyuarakan yang benar dan membungkam informasi yang menyesatkan, agar publik tetap mendapat berita yang akurat, bermakna, dan membangun kesadaran kritis masyarakat.
Kini, setiap orang bisa menjadi “wartawan”. Media sosial seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram membuat arus informasi mengalir tanpa batas, seolah semua orang punya panggung untuk berbicara. Namun, kebebasan ini sering disalahgunakan. Fenomena clickbait, hoaks, dan disinformasi menjamur, membuat publik semakin sulit membedakan fakta dari manipulasi. Informasi yang seharusnya mencerahkan justru sering memecah belah dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Di tengah situasi itu, media besar seperti Kompas, Tempo, dan CNN Indonesia beradaptasi melalui transformasi digital. Mereka menghadirkan platform daring yang menekankan verifikasi, edukasi, dan transparansi dalam setiap pemberitaan. Upaya ini menjadi bentuk tanggung jawab moral untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap media arus utama, sekaligus memastikan informasi yang disajikan tetap akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perubahan ini menunjukkan bahwa jurnalisme tak hanya mengikuti perkembangan teknologi, tetapi juga berperan sebagai penjaga nalar publik. Di tengah derasnya arus informasi, wartawan dituntut lebih hati-hati, tidak hanya cepat menyebarkan berita, tetapi juga memastikan kebenarannya. Pers kini menjadi filter kritis, membantu masyarakat memilah mana berita yang bermanfaat dan mana yang menyesatkan.
Kini, media tidak lagi sekedar penyampai berita, melainkan penjaga literasi digital masyarakat. Melalui etika, integritas, dan komitmen pada kebenaran, jurnalisme berusaha menuntun publik agar tetap berpikir kritis di tengah kebisingan dunia maya. Media modern berperan untuk membentuk masyarakat yang lebih cerdas, waspada, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang jelas dan sahih. Wallahu A’lam…
Fakhri Rizki Maulana
(Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Negeri Surabaya)