RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Presiden RI Prabowo Subianto berulang tahun yang ke-74 pada Jumat (17/10/2025) hari ini. Pada hari ulang tahunnya, Presiden mendapat banyak ucapan dari para tokoh, masyarakat dan jajaran pejabat kabinet merah putih.
Namun, ada hal yang menarik perhatian dan patut diapresiasi di momen ultah sang Presiden yakni ucapan khusus dari tokoh NU KH Mukhlas Syarkun dengan menerbitkan buku berjudul “The Great Motivator & Inspirational Prabowo”: Jejak Spiritualitas dan Rasionalitas dalam Kepemimpinan Bangsa.
Meski sudah menjadi buku yang layak di baca, akan tetapi buku ekslusif dengan jumlah 400 halaman tersebut masih soft lounching dan masih tahap penyempurnaan dan memerlukan masukan dari para tokoh dan masyarakat.
”Alhamdulillah, hari ini kita soft lounching buku Pak Prabowo dan insyallah secepatnya akan dilouncing besar-besaran,” ujarnya Mukhlas Syarkun kepada Risalah NU Online saat soft lounching di ruang Perpustakaan PBNU, Jakarta, Jum’at (17/10).
Dalam Buku The Great Motivator & Inspirational Prabowo, karya KH Mukhlas Syarkun hadir sebagai pengecualian. Buku itu tidak sekadar kisah hidup seorang Jenderal yang menjadi presiden, melainkan peta nilai yang menuntun pembaca memahami metamorfosis Prabowo Subianto dari trah budaya, spiritualitas ulama, hingga strategi politik yang matang.
Mukhlas Syarkun tidak menulis dengan gaya dokumenter atau jurnalisme kronik, melainkan dengan napas ilmiah populer yang berakar pada tiga sumber: sejarah, agama, dan rasionalitas. Pendekatan seperti ini memperkaya genre biografi politik Indonesia yang selama ini terpecah antara glorifikasi militer dan penilaian elektoral.
Trah Mataram ke Jiwa Nusantara
Pada bab pertama buku ini, “Trah Mataram”, menjadi pembuka yang sarat makna. Mukhlas Syarkun menempatkan Prabowo dalam rantai panjang sejarah Mataram Islam—dari Sultan Agung hingga Pangeran Diponegoro—sebagai bentuk rekoneksi identitas antara Jawa-Islam dan nasionalisme modern.
Pendekatan ini berbeda dari Prabowo: The Unauthorized Biography karya Odin Dunne (2020) yang menulis dengan gaya “Western objective”, menekankan fakta-fakta hidup tetapi mengabaikan konteks budaya Nusantara. Syarkun justru mengajak pembaca *melihat kepemimpinan bukan sebagai akumulasi jabatan, melainkan pewarisan nilai sejarah yang berkesinambungan*¹.
Dalam bab ini, Mataram bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, tetapi menjadi metafora tentang kemandirian dan kehormatan bangsa. Dengan begitu, Mukhlas berhasil menjadikan sejarah sebagai ruang spiritual politik, bukan sekadar catatan kronologis.
Warisan Intelektual dan Rasionalitas Ekonomi
Berbeda dari biografi Ade Ma’ruf (Prabowo Subianto: Jalan Terjal Seorang Jenderal, 2020) yang banyak menyoroti karier militer, Mukhlas memberi porsi signifikan bagi Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, sebagai figur rasionalis ekonomi kebangsaan.
Dalam bab “Mengkonstruksi dan Mengaktualisasi Pemikiran Sumitro”, pembaca menemukan argumen bahwa kepemimpinan Prabowo dibentuk oleh sintesis antara intelektualisme ekonomi dan nasionalisme sosial. Syarkun tidak memuja keberhasilan politik, tetapi menjelaskan kerja pikir dan nilai kerja keras sebagai moralitas baru bangsa. Dalam konteks itu, buku ini memperlihatkan kesinambungan antara rasionalitas ekonomi keluarga Djojohadikusumo dan spiritualitas Mataram-Islami sebagai dua sayap kepemimpinan nasional.
Ulama dan Spirit Kebangsaan
Keunikan utama buku Mukhlas Syarkun ialah keberaniannya menempatkan ulama sebagai poros pembentukan moral politik Prabowo. Ia menyebut nama-nama besar seperti KH. Maimun Zubair, KH. Yusuf Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, dan KH. Shalahuddin Wahid — bukan sekadar guru agama, melainkan mentor ideologis bangsa.
Bab “Mendapat Asuhan Rohani dan Visi Kebangsaan dari Para Kiai” memperlihatkan bahwa Prabowo dibentuk oleh keistiqamahan spiritual dan kesetiaan terhadap nilai kebangsaan Islam moderat. Ini mengingatkan pada booklet Partai Gerindra seperti Rekam Foto Sang Patriot atau Kepemimpinan Militer (2014–2019), namun dengan kedalaman reflektif yang lebih kuat. Syarkun menggeser narasi kampanye menjadi narasi etis: bahwa *seorang pemimpin besar bukan hanya hasil pilihan rakyat, tetapi juga hasil bimbingan ulama dan doa para guru bangsa*³.
Keteguhan Militer, Humanisme, dan Krisis Eksistensial
Dalam bab “Pembentukan Karakter dari Pengalaman Perang” hingga “Menghadapi Jalan Terjal”, Mukhlas membingkai pengalaman militer dan pengasingan Prabowo sebagai uji karakter dan laboratorium nilai.
Jika J.B. Soedarmanta dalam Prabowo Subianto — Tegas: Memihak Rakyat (2009) menggambarkan Prabowo sebagai tokoh konfrontatif yang berani melawan arus, Mukhlas justru menampilkan ketegasan yang humanis — tegas pada prinsip, namun lembut pada kemanusiaan⁴. Perbedaan ini menunjukkan arah baru dalam penulisan biografi politik: menggeser militerisme dari kekuatan koersif menjadi moral leadership.
Politik Kerakyatan dan Kepemimpinan Inspiratif
Bab “Membangun Basis Bersama Petani dan Pendekar” menegaskan bahwa buku ini tidak hanya mengagungkan kepemimpinan elitis, tetapi menghidupkan politik kerakyatan — memperjuangkan petani, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Mukhlas menulis dengan nada moral, bahwa pemimpin sejati harus “berdiri di antara rakyat, bukan di atas mereka.” Pandangan ini sejalan dengan Jenderal Penakluk Sejarah Presidensial karya Moch. Eksan (2024)⁵, namun Syarkun memperkaya makna “penaklukan” bukan pada kemenangan politik, melainkan pada penaklukan diri, ego, dan ambisi pribadi.
Strategi, Empati, dan Kematangan Moral
Puncak buku ini, “Kematangan Strategi : Terpilih Menjadi Presiden RI”, menunjukkan bahwa kemenangan politik bukanlah akhir, melainkan buah dari kematangan spiritual dan empati publik. Syarkun mengulas strategi “Gemoy” dan “James Bond” bukan sebagai gimmick, melainkan metode humanisasi kekuasaan — menjadikan politik sebagai seni mendekatkan diri dengan rakyat tanpa kehilangan integritas.
Pendekatan seperti ini jarang ditemui dalam booklet resmi Partai Gerindra yang lebih bersifat kampanye, sebab Mukhlas mengajukan tafsir ideologis : politik harus menjadi amal kebangsaan, bukan panggung kekuasaan semata.
Penutup: Kepemimpinan sebagai Refleksi Kebangsaan
The Great Motivator & Inspirational Prabowo dapat dibaca sebagai peta besar perjalanan bangsa melalui figur pemimpinnya.
Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang kemenangan, tetapi tentang kemampuan memadukan sejarah (trah Mataram), ilmu (Sumitro), dan iman (para kiai) menjadi satu kesatuan moral.
Dalam konteks itu, Mukhlas Syarkun menawarkan paradigma baru: pemimpin adalah inspirator peradaban, bukan hanya administrator politik. Buku ini bukan sekadar biografi; ia adalah testimoni nilai bahwa kebangkitan bangsa dimulai dari kesadaran moral pemimpinnya. (hud).