Oleh: Moh Azizi Al Mahbub, B.sc (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo)
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan pada 31 Januari 1926.
NU memiliki peran penting dalam mendorong nilai-nilai moderasi dan kebangsaan, serta membangun koeksistensi antara individu dan kelompok dengan latar belakang beragam, baik agama, suku, maupun budaya. Dalam konteks tantangan global dan meningkatnya intoleransi, pendekatan NU dalam memperjuangkan kerukunan antarumat beragama sangat relevan.
Salah satu landasan pemikiran NU adalah komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan yang terwujud dalam ideologi Pancasila. NU meyakini bahwa keanekaragaman budaya dan agama di Indonesia adalah anugerah yang harus dihargai dan dipertahankan. Sebagai pendorong kerjasama antarumat beragama, NU aktif dalam dialog lintas iman, seminar, dan kegiatan sosial yang melibatkan semua elemen masyarakat. Upaya ini mendukung penguatan rasa persatuan di tengah- tengah keragaman yang ada.
Koeksistensi dan Prinsip Kebebasan Berkeyakinan
Prinsip kebebasan berkeyakinan merupakan salah satu fokus penting dalam ajaran NU yang tercermin dalam Al-Qur’an. Misalnya, Surah Al-Baqarah ayat 256 menegaskan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama.” Kebebasan ini sangat penting untuk kehidupan berdampingan antar manusia. Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa perbedaan di antara manusia adalah bagian dari kehendak Allah, yang memberikan hak kepada setiap individu untuk memilih keyakinannya (Surah Al-Kahf, Ayat 29 dan Surah Ghafir, Ayat 48).
Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya menghormati keyakinan orang lain, termasuk non- Muslim. Islam melarang tindakan mencaci maki sembahan orang non-Muslim karena dapat memicu kebencian tanpa alasan, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, Ayat 108.
Koeksistensi dan Pengakuan Terhadap Orang Lain
Koeksistensi juga tercermin dalam pengakuan terhadap kepercayaan orang lain. Dalam Surah Al-Kafirun, Allah SWT mengajarkan bahwa “untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Meskipun ada perbedaan, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dan saling menghormati.
Surah Al-‘Ankabut Ayat: 46 juga mendorong dialog yang baik, di mana Rasulullah SAW menekankan pentingnya merespons dengan kebaikan, bahkan ketika pihak lain berbuat buruk.
Prinsip ini mengedepankan sikap toleransi dalam berinteraksi, di mana berbuat baik terhadap orang yang berbeda pendapat dipandang sebagai tindakan mulia, selama mereka tidak memerangi atau menindas. Dalam Surah Al-Mumtahana Ayat: 8, Allah berfirman bahwa hukum ketidakadilan tidak berlaku bagi orang yang tidak memerangi umat Islam, yang menunjukkan perlunya menjaga hubungan baik dengan semua individu.
Koeksistensi dan Kemanusiaan
Keberadaan prinsip tinggi akan nilai kemanusiaan dalam Islam juga berkontribusi pada koeksistensi. Al-Qur’an menegaskan bahwa semua manusia, tanpa memandang afiliasi, warna kulit, atau ras, dimuliakan. Sesuai Surah Al-Isra’, Ayat 70, Allah menyatakan bahwa Anak Adam memiliki posisi yang tinggi di sisi-Nya.
Prinsip ini menekankan bahwa segala tindakan yang merendahkan kemanusiaan bertentangan dengan nilai Islam. Konsep ini diperkuat dengan Godaan untuk saling membantu dan memperhatikan kondisi orang lain, terutama bagi yang mengalami kesulitan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa membantu orang miskin dan janda adalah tindakan terpuji yang setara dengan jihad di jalan Allah, menciptakan suasana empati di antara masyarakat.
Keadilan dalam Interaksi
Islam menganjurkan keadilan dalam berinteraksi meskipun terdapat perbedaan keyakinan. Dalam Surah Al-Maidah ayat:8, Allah berfirman tentang pentingnya berlaku adil, yang merupakan lebih dekat kepada takwa. Bahkan terhadap orang yang berbeda keyakinan, keadilan tetap harus menjadi prinsip utama dalam berinteraksi. Dan untuk memperkuat atas hal itu, Allah SWT berfirman dalam Surah Asy-Syura – Ayat 15: “Demi kesatuan agama dan untuk menghindari perselisihan tentang hal itu, serulah mereka untuk menegakkan agama! Beristikamahlah sebagaimana Allah perintahkan, dan jangan ikuti hawa nafsu orang-orang musyrik. Kemudian katakan, “Aku mempercayai semua kitab suci yang diturunkan Allah kepada rasul- rasul-Nya, dan aku diperintahkan-Nya untuk menegakkan keadilan di antara kalian. Allah adalah pencipta kami dan kalian. Bagi kami amalan-amalan kami dan bagi kalian amalan-amalan kalian. Masing-masing kita tidak perlu memberikan alasan, karena
kebenaran telah jelas. Allah akan mengumpulkan kita semua untuk penentuan keputusan masalah di antara kita secara adil. Hanya Dialah tempat kembali”.
Mencari Prinsip dan Nilai Titik-temu
Prinsip koeksistensi yang efektif mencakup pencarian terhadap nilai-nilai bersama. Dalam Surah Ali Imran ayat: 64, Allah mengajak para Ahli Kitab untuk berpegang pada kalimat berkeadilan. Sikap ini tercermin dalam kisah Ja’far bin Abi Thalib RA yang menjelaskan nilai- nilai bersama di hadapan raja Habasyah saat hijrah.(Musnad Ahmad, Dar Al-Hadith, Cetakan 1, 4/245.). Fokus pada nilai-nilai universal seperti kejujuran dan hubungan baik dengan tetangga menjadi kunci dalam menumbuhkan hubungan baik di tengah keragaman. Kaum Muslimin tinggal di Habasyah dan hidup berdampingan dengan realitas masyarakat baru dan budaya yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang menyatukan mereka, dan tidak berfokus pada apa yang memisahkan mereka.
Menggalakkan Keadilan dan Menolak Kezaliman
Nilai keadilan juga sering diulang dalam ajaran Islam, penolakan terhadap kezaliman merupakan salah satu landasan penting dalam membangun masyarakat. Rasulullah SAW dikenang sebagai sosok yang mengedepankan perlindungan hak orang yang teraniaya, dan ini seharusnya dijadikan teladan bagi umat. Misalnya, tindakan kolektif masyarakat pada waktu itu untuk membantu orang yang terzolimi menunjukkan betapa pentingnya solidaritas dalam menjaga keadilan. Beliau SAW bersabda setelah Allah memuliakannya dengan kenabian dan risalah: “Aku telah menyaksikan bersama paman-pamanku suatu perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an, yang aku tidak suka memiliki unta merah sebagai gantinya,” (Musnad Ahmad, 2/301). Nabi berbicara di sini tentang Hilf al-Fudul (Perjanjian Fadl).
Kasih Sayang dan Martabat Kemanusiaan
Prinsip kasih sayang dan menjaga martabat kemanusiaan menjadi pilar dalam membangun masyarakat yang damai. Masyarakat harus diberdayakan, bukan dibiarkan dalam keadaan sengsara. Pemberian bantuan kepada janda dan anak yatim dianggap sebagai tindakan mulia yang akan mendatangkan balasan dari Allah seperti orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang shalat malam dan puasa di siang hari. (“Shahih Bukhari”,nomor hadis 1164) Rasulullah SAW mengajarkan bahwa tindakan menjayakan yang lemah dan teraniaya adalah bentuk ibadah yang sangat dianjurkan.
Imam Ahmad dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa seorang pria mengadu kepada Rasulullah SAW tentang hatinya yang keras, maka beliau bersabda kepadanya: “Jika engkau ingin hatimu menjadi lembut, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim” (Musnad Ahmad, 7/337).
Menghormati Opini Publik
Menghormati dan mempertimbangkan opini publik sebagai aspek penting dalam koeksistensi damai antar masyarakat adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat relevan. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa tindakan untuk melindungi kerukunan sosial dan memperhatikan pemahaman masyarakat penting untuk mencegah konflik. Dalam hal ini, reaksi terhadap perubahan harus memperhatikan suasana di sekitar untuk memastikan persatuan tetap terjaga.
Kita melihat hal ini dengan jelas dalam kisah pembangunan Ka’bah dan peruntuhannya, serta hikmah dari tidak membangunnya kembali. Aisyah ra bertanya kepada Nabi tentang tembok rumah (Ka’bah), Aku bertanya: apakah itu termasuk bagian dari rumah? Beliau menjawab: “Ya.” Aisyah bertanya: “Lalu mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam rumah?” Beliau menjawab: “Kaummu kekurangan biaya.” Aku bertanya: “Lalu mengapa pintunya tinggi?” Beliau menjawab: “Kaummu melakukan itu agar mereka bisa memasukkan siapa yang mereka mau dan mencegah siapa yang mereka mau.” Beliau bersabda: “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa jahiliyah, aku khawatir hati mereka akan menolak jika aku memasukkan tembok ke dalam rumah, dan menempelkan pintunya ke tanah.” (Shahih Bukhari, nomor hadis 1584).
Nahdlatul Ulama berkomitmen untuk membangun koeksistensi dengan prinsip-prinsip toleransi dan keadilan dalam interaksi sosial. Dengan mengedepankan nilai-nilai seperti kebebasan berkeyakinan, penghormatan terhadap orang lain, serta prinsip kasih sayang dan keadilan, NU memberikan contoh bagaimana masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun berbeda dalam banyak hal. Dengan cara ini, NU berperan penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai, menjadi contoh bagi umat manusia dalam kerukunan antarumat beragama.