RISALAH NU ONLINE, BOGOR – Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Kementerian Agama RI melalui Subdirektorat Kemasjidan menggelar kegiatan Pembinaan dan Penguatan Kompetensi Takmir Masjid dan Musholla di Hotel Permata, Bogor, yang berlangsung pada 22–24 Oktober 2025. Kegiatan ini diikuti oleh para takmir dari wilayah Jabodetabek, Lampung, dan Cilacap.
Kegiatan yang dibuka oleh Kasubdit Kemasjidan KH. Nurul Badruttamam, MA. ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalitas para takmir dalam mengelola masjid dan musholla, tidak hanya dari sisi fisik bangunan, tetapi juga dalam konteks sosial, ekonomi, dan spiritual. Dalam sambutannya, KH. Nurul Badruttamam menegaskan bahwa kegiatan ini tidak berhenti pada pembinaan semata. “Setelah kegiatan ini akan ada pendampingan khusus bagi para takmir terkait layanan sistem kemasjidan,” ujarnya. Ia juga mengungkapkan bahwa dari seluruh peserta yang hadir, baru satu masjid yang telah terintegrasi dengan sistem kemasjidan digital. Hal ini menunjukkan masih perlunya peningkatan literasi dan kemampuan manajerial dalam tata kelola masjid berbasis teknologi.
Sementara itu, Direktur Bimas Islam, Dr. KH. Arsyad Hidayat, Lc., MA., dalam arahannya menekankan pentingnya perubahan paradigma takmir dalam memahami peran mereka. Menurutnya, fenomena yang sering terjadi saat ini adalah takmir hanya berfokus pada hal-hal fisik seperti pengumpulan infak untuk mengganti fasilitas yang masih berfungsi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan pemberdayaan umat. “Banyak takmir yang ketika mendapat infak langsung memikirkan perbaikan kipas angin atau cat masjid, padahal yang lama masih bisa dipakai. Padahal hakikat takmir itu lebih dari sekedar mengurus bangunan,” tegasnya.
Ia menambahkan, takmir semestinya meneladani konsep kemasjidan pada masa Rasulullah SAW, di mana masjid berfungsi sebagai pusat peradaban dan kegiatan sosial umat. “Di masa Rasulullah, masjid berperan sebagai Baitul Mal, tempat membayar zakat, pusat musyawarah masyarakat, hingga tempat tinggal bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan ekonomi. Masjid menjadi jaminan sosial bagi umat,” ungkapnya.
Lebih jauh, KH. Arsyad menyoroti pentingnya penguatan ekonomi dan kemandirian masjid agar tidak selalu bergantung pada donasi. Ia memberikan contoh bahwa masjid dapat mengembangkan unit usaha yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti membuka jasa laundry atau warung. “Kalau masjid mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat, masyarakat pun akan semakin percaya dan mendukung masjid. Dana untuk kegiatan sosial dan keagamaan pun akan mengalir dengan sendirinya,” ujarnya. Beliau juga mengingatkan bahwa di masa awal perkembangan Islam, banyak universitas besar di dunia Islam bermula dari kegiatan keilmuan di masjid. “Halaqah-halaqah ilmu yang dulu dilakukan di masjid akhirnya berkembang menjadi universitas besar. Itu menunjukkan bahwa masjid bisa menjadi pusat ilmu dan peradaban,” imbuhnya.
KH. Arsyad juga mendorong para takmir untuk berpikir kreatif dan memanfaatkan teknologi serta sumber daya alam sekitar. Salah satu contoh konkret adalah penggunaan energi surya. “Takmir perlu mulai memanfaatkan cahaya matahari untuk energi listrik melalui panel surya. Ini bukan hanya menghemat biaya, tapi juga wujud tanggung jawab ekologis. Anggaran yang seharusnya untuk listrik bisa dialihkan ke program sosial lainnya,” jelasnya.
Kegiatan pembinaan dan penguatan kompetensi takmir masjid dan musholla ini menjadi bagian dari strategi nasional Kemenag dalam memperkuat fungsi masjid sebagai pusat moderasi beragama, pemberdayaan ekonomi, dan transformasi sosial di tengah masyarakat. Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, diharapkan takmir masjid ke depan tidak hanya berperan sebagai penjaga tempat ibadah, tetapi juga menjadi motor penggerak peradaban yang memadukan nilai spiritual, sosial, dan kemanusiaan. (ron/rls).