ASEAN DIANGGAP MASIH KURANG MELINDUNGI PEKERJA MIGRAN MEREKA

0

RISALAH NU ONLINE, Jakarta – Perlindungan terhadap Pekerja Migran di wilayah negara-negara anggota ASEAN dianggap masih lemah baik dalam kerangka kebijakan level domestic maupun level regional.

Negara-negara ASEAN masih dianggap kurang melindungi para pekerja migran yang berada di wilayah mereka, yang mana hal ini terlihat dari kurangnya peraturan dan hukum yang bersifat universal dalam perlindungan Pekerja Migran, yang membuat aksi eksploitasi dan pelanggaran hak asasi terhadap pekerja Migran terus meluas di wilayah ASEAN. Hal tersebut menjadi salah satu topik bahasan dalam diskusi bertajuk “Addressing The challenges and solutions to Southeast Asia Migrant Workers.” Yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Council of Indonesia (FPCI) pada tanggal 4 Oktober 2025 di Holten Sultan, Jakarta, yang mana tema diskusi ini menjadi satu dari tema diskusi parallel dalam rangka acara “ÄSEAN for Peoples Conferences” yang berlangsung selama dua hari dari tanggal 4 hingga 5 Oktober 2025.

Dalam diskusi ini menghadirkan narasumber sebagai berikut : 1) Dr. Jayant Menont, Praktisi senior Visiting ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura 2) DR. Boualaphiane Sisouk, Kepala Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas Nasional Laos 3) Eni Lestari, ketua Aliansi Migran Internasional dan 4) Adrian Pereira, Direktur Eksekutif North – South Institute, serta dimoderatori oleh Nathalia Widjaja, Presiden Indonesia Diaspora Network (IDN) Global.

Bahasan Diskusi

Dalam diskusi ini, hampir semua narasumber sepakat bahwa perlindungan terhadap pekerja Migran di wilayah ASEAN masih lemah. Hal ini kemudian diperparah dengan tingginya biaya perekrutan dan maraknya pekerja migran ilegal, yang mana kedua hal ini kemudian membuat eksploitasi terhadap pekerja migran semakin marak dan pada akhirnya juga mengurangi pasar untuk pekerja migran low-skill yang ingin berangkat secara legal. Hal ini ditekankan oleh Adrian Pereira.

“Sayangnya filosofi hari ini Adalah mereka membiarkan orang kaya bepergian dengan mudah, namun untuk mereka yang berpenghasilan rendah, itu menjadi sangat sulit. Anda harus membayar biaya perekrutan yang sangat konyol. Anda juga harus menggunakan jasa penyelundup. Jadi isu utamanya adalah isu filosofikal yang mencegah dan menyebabkan hak lain dari si pengguna.”

Menurut DR. Sisouk dengan melihat kasus di negaranya, Laos, pekerja migran illegal banyak terjadi karena pasarnya besar. Sulitnya mencari pekerjaan di Laos kemudian memicu banyak pekerja di Laos yang bermigrasi ke Thailand, Jepang dan korea Selatan. Yang mana mereka kebanyakan pergi dengan jalur illegal. Hal ini kemudian menjadi penting karena mereka yang pergi secara ilegal otomatis tidak akan terlindungi secara hukum. Bahkan mereka yang pergi secara legal pun juga tidak lepas dari ancaman eksploitasi dan pelanggaran hak pekerja. Kurangnya kemauan politik dan penegakan hukum kemudian menurut Eni, membuat pekerja migran rawan dalam kondisi yang disebut sebagai “Perbudakan Modern” dimana bekerja tanpa hari libur dan upah rendah. Hal ini kemudian akan mempengaruhi kesehatan mental dan jasmani mereka.

“Karena itu kritik kita adalah bukan karena tidak ada perlindugan. Alasan mereka tidak dilindungi karena tidak ada kemauan politik sejak awal (untuk melindungi pekerja migran). Saya pikir ada gap antara ini dengan penegakan hukum.” Ucap Eni di fórum tersebut.

Maraknya upah rendah di kalangan Pekerja Migran ini juga membuat perusahaan berusaha mencari pekerja dengan upah semurah mungkin. Hal ini kemudian juga menciptakan persaingan tersendiri bagi para pekerja migran di negara-negara ASEAN untuk membuat perusahaan mempekerjakan mereka dengan gaji yang murah.

“Jika Pekerja dari Filipina dianggap terlalu mahal, maka mereka akan mencari pasar pekerja dari negara lain yang dianggap lebih murah.” Eni kembali menegaskan hal tersebut.

Karena itu Ia juga menekankan pentingnya bagi pemerintah Negara-Negara ASEAN untuk mengadopsi standar Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam perlindungan hak-hak pekerja migran. Sayangnya saat ini, negara-negara ASEAN dianggap masih menggunakan hukum nasional negara masing-masing yang belum cukup melindungi para pekerja migran. Adapun pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Serikat Buruh bagi DR. Jayant juga dianggap penting dalam melindungi pekerja migran. Hanya saja saat ini baik LSM maupun Serikat belum menganggap masing-masing sebagai partner yang setara. Selain itu, walau setiap tahun LSM dan Serikat bisa mengirimkan proposal mereka dalam ASEAN Forum on Migrant Labour, namun dalam mewujudkan rekomendasi tersebut selalu terhalang factor structural.

“Masalahnya struktur ASEAN adalah non-interferensi dan konsensus. Normalnya perdebatan selalu antara negara penerima dan pengirim. Mereka selalu tidak setuju terhadap banyak hal. Hal itu yang kemudian membuat kita tidak bergerak (dalam isu ini)” Ucap DR. Jayant.

BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

Terkait kondisi Pekerja Migran di Indonesia, walaupun saat ini pengiriman Pekerja Migran ditangani secara khusus oleh Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) yang mana sebelumnya penanganan dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan secara regulasi dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) secara operasional lapangan, namun hampir tidak ada perubahan berarti dalam perlindungan Pekerja Migran di Indonesia.

“Kementerian yang baru hanya sibuk mengubah tata Kelola pengiriman saja. Bagaimana dia memproses pengiriman dari desa ke kota ke Luar Negeri. Tapi belum ada gebrakan dalam konteks gimana biaya migrasi murah. Termasuk gimana upah di Luar Negeri naik.” Ucap Eni ketika diwawancarai Jurnalis Risalah NU dalam wawancara terpisah usai diskusi.

Eni menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana langkah konkrit dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang sejak dulu disampaikan oleh kelompok LSM. Peran Atase Ketenagakerjaan di beberapa negara sendiri dianggap tidak maksimal karena mereka dianggap hanya menangani kasus semata tanpa membuat pengaruh di level kebijakan. Ia kemudian juga menambahkan bahwa selama ini Pemerintah mengeluarkan kebijakan zero cost untuk migrasi, tetapi itu tidak punya mekanisme pelaksanaan. Sehingga itu hanya disebarkan di kertas saja tanpa ada mekanisme menjalankan kebijakan. Selama ini setiap ada masalah, dirinya selalu dianjurkan untuk melapor, namun mekanisme penyelesaiannya tidak jelas.

“Dalam konteks pelatihan tidak pernah ada masalah, namun biaya ini yang menjadi masalah.” Eni kembali menegaskan.

Terkait peran yang bisa dilakukan Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Asia Tenggara dalam membantu Pekerja Migran, Eni menjelaskan bahwa yang pertama NU perlu memetakan masalah ini. Masalah global mulai dari pandemi sampai geopolitik harus bisa dibaca. Kedua setelah dipetakan, maka NU bisa menyampaikan permasalahan ini kepada Pemerintah di Jakarta, karena masalah migran ini akarnya ada di jakarta bukan Daerah, terkait konteks pembuatan kebijakan. Kalau pemerintah Pusat hanya diam, maka negara lain mampu berbuat semena-mena terhadap para pekerja migran. Karena itu NU dan LSM lain bisa ikut membantu memfasilitasi antara pekerja migran dengan pemerintah Pusat, mengingat Nahdiyin dianggap sebagai salah satu ormas yang memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Pada akhirnya, pekerjaan rumah untuk masalah Pekerja Migran ini memang masih banyak, karena itu semua elemen baik Pemerintah Pusat, Serikat Buruh dan LSM termasuk Ormas seperti Nahdlatul Ulama harus bisa duduk bersama membahas masalah Pekerja Migran yang sering dianggap sebagai pahlawan devisa ini, agar mereka bisa berangkat dengan biaya yang bisa dijangkau, bekerja dengan aman di negara penempatan serta bisa kembali ke negara ini dengan selamat. (Kharizma)

Leave A Reply

Your email address will not be published.