Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
Agama, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh manusia adalah merupakan pilihan yang ada dalam sanubarinya masing-masing. Karena itu, tidak mungkin seseorang memaksa orang lain untuk memasuki suatu agama atau keyakinan. Karena hal itu berkaitan dengan hati sanubarinya masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuasaan, bisa memaksa orang lain untuk melakukan hal-hal yang bersifat lahiriah, tapi tidak bisa memaksa agama atau keyakinan seseorang.
Sekiranya mereka dipaksa dengan kekerasan, paling-paling mereka akan melakukan taqiyah, yaitu lahiriahnya mengikuti paksaan orang itu, tapi hati dan keyakinannya secara batiniah, akan tetap pada keyakinannya semula. Taqiyah adalah suatu sikap menyetujui sesuatu yang bersifat sementara, sedangkan hatinya tetap menolak. Apabila ia tidak dalam keadaan terpaksa lagi, maka akan kembali kepada keyakinannya.
Menyadari hal ini, ajaran Islam sangat memperhatikan tentang kebebasan seseorang dalam masalah agama dan keyakinan. Karena itu ditegaskan berkali-kali, baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah bahwa sesungguhnya tidak ada paksaan untuk memeluk dan mengikuti agama Islam. Masalah kondisi hati seseorang, baik mengenai agama, kepercayaan dan keyakinannya tidak ada orang lain yang mengetahui. Bahkan, para nabi pun tidak mengetahui isi hati seseorang, kecuali mendapatkan wahyu dari Allah s.w.t..
Dengan demikian, tugas para nabi dan rasul dalam berdakwah atau mengajak orang lain menuju agama Allah, sama sekali tidak melalui pemaksaan atau kekerasan. Mereka sekedar menyampaikan risalah kebenaran yang datangnya dari Allah s.w.t.. Para nabi dan rasul menginformasikan bahwa tugas kami semua adalah hanya menyampaikan kebenaran berdasarkan wahyu dari Allah s.w.t.. Allah s.w.t. memperingatkan para nabi bahwa mereka itu tidaklah ditugaskan untuk memaksa orang lain agar mengikuti kemauan dan kehendaknya.
Memperhatikan kenyataan ini, maka setiap orang muslim diarahkan agar tidak saling mengkafirkan sesama mereka. Apabila ada seseorang muslim yang menuduh orang lain itu kafir, padahal orang itu tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepadanya, sehingga dialah yang menjadi kafir.
عَنِ ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّه عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “إِذا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ: يَا كَافِر، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُما، فَإِنْ كَان كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ “متفقٌ عليه.
Dari Ibnu Umar r.a. menginformasikan: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka ucapan itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika benar seperti yang ia katakan, maka tertuju kepadanya, dan jika tidak, maka kembali kepada yang mengucapkannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain yang serupa itu, dari Abu Dzar r.a. menyebutkan:
وعَنْ أَبي ذَرٍّ رَضِي اللَّه عنْهُ أَنَّهُ سمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقُولُ: “منْ دَعَا رَجُلاً بالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللَّهِ، ولَيْس كَذلكَ إِلاَّ حَارَ علَيْهِ” متفقٌ عليه.
Dari Abu Dzar r.a. menginformasikan bahwa ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan sebutan kafir atau berkata, ‘Wahai musuh Allah,’ padahal orang itu tidak demikian, maka ucapan itu akan kembali kepadanya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud r.a. menyebutan bahwa seorang muslim itu bukanlah orang yang suka mencela, bukan orang yang suka melaknat, bukan pula orang yang keji, dan bukan pula orang yang berkata kotor. (HR. Tirmidzi, 3457).
Usamah bin Zaid bin Haritsah ketika ditugaskan oleh Nabi s.a.w. sebagai panglima perang. Dalam peperangan itu, beliau menghadapi musuh satu persatu. Musuh itu sangat ganas, ketika Zaid berhasil melumpuhkan musuhnya, sehingga ia tidak bisa menghindar, tiba-tiba ia mengucapkan Laailaaha Ilallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Usamah menganggap ucapan orang itu hanya sekedar siasat, tidak keluar dari hatinya yang murni, karena itu, beliau tetap membunuhnya.
Peristiwa itu sampai kepada Nabi s.a.w., Usamah langsung ditegur: Mengapa engkau membunuh dalam peperangan itu, seseorang yang mengucapkan Laailaaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)? Usamah menjawab: Ucapan orang itu hanya sekedar siasat, bukan dari hati yang sesungguhnya. Nabi menegur kembali bahwa tidak ada orang yang bisa mengetahui hati orang lain. Nabi terus menanyakannya sampai tiga kali, sehingga Usamah merasa sangat menyesal dengan penyesalan yang luar biasa.
Memperhatikan kenyataan ini bisa kita pahami bahwa masalah keyakinan, agama dan kepercayaan adalah masalah hati manusia yang tidak bisa diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Allah s.w.t.. Oleh karena itu, Islam melarang saling mengkafirkan sesama muslim, karena apabila yang dituduh kafir itu ternyata tidak demikian, maka akan kembali kepada orang yang menuduhnya, sehingga dialah yang menjadi kafir.