
Oleh: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa Institut Syudi Islam Fahmina, Cirebon)
Pagi itu, langit seolah enggan tersenyum. Awan kelabu menggantung berat, menelan cahaya mentari yang biasanya hangat menembus celah jendela pondok. Hujan turun perlahan, rintiknya mengetuk genting seperti denting nada pilu, membasahi tanah pesantren yang kering. Udara dingin merayap masuk, menusuk ke dalam hati.
Di serambi asrama, Aca duduk sendiri. Tubuhnya dibalut mukena tipis yang masih basah oleh wudhu subuh tadi. Di pangkuannya terbuka buku diary lusuh, kertasnya dipenuhi tulisan kecil-kecil yang sering jadi tempat ia melabuhkan rasa. Tetapi kini penanya berhenti, matanya justru menatap ke langit yang muram.
“Bagaimana rasanya kuliah, ya? Andaikan saja Umma dan Aba mau mengizinkan,” gumamnya lirih dalam hati.
Sejak kecil, jalan hidup Aca sudah seperti garis yang digambar orang lain. Lulus SD, mondok, lalu menikah. Begitulah kebiasaan di keluarganya. Kakak-kakaknya pun sama: tidak ada yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Keluarganya percaya, perempuan tidak perlu sekolah terlalu jauh. Kata mereka, “perempuan itu cukup di sumur, dapur, dan kasur.” “Ilmu agama sudah lebih dari cukup.”
Tapi hati Aca memberontak. Ada suara lirih dalam dirinya yang tak bisa diredam. Ia ingin melangkah lebih jauh. Ingin menimba ilmu yang luas, ingin mengenal dunia yang lebih lebar dari sekadar pagar pondok. Diam-diam, ia sudah mengambil paket C di Madrasah Aliyah. Ia belajar di balik pengetahuan Umma dan Aba, sebab ia tahu pasti mereka akan menolak.
Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Seorang pengurus pondok, yang biasa ia panggil Eteh, datang dengan payung lipat yang masih meneteskan air hujan.
“Aca, lagi ngapain sendirian? Sini bantuin Eteh. Ada tamu yang mau lihat pondok, tolong dampingi, ya.”
Aca buru-buru menutup diary-nya.
“Siap, Teh. Aca simpen buku dulu ke kamar, habis itu nyusul.”
Tak lama, Aca sudah berdiri bersama para tamu itu. Sekelompok mahasiswa KKN datang dengan jaket almamater berwarna merah marun cerah. Mereka tampak begitu percaya diri, suara mereka riang, dan mata mereka berbinar penuh semangat.
Di sisi mereka, Aca merasa kecil sekaligus kagum. Ada dunia lain yang mereka bawa: dunia kampus, dunia ilmu pengetahuan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Dengan hati-hati, Aca bertanya, suaranya bergetar menahan rasa ingin tahu.
“Ka, kuliah itu seperti apa, sih? Susah nggak? Bisa nggak kalau orang kayak Aca ini kuliah?”
Seorang kakak mahasiswa tersenyum hangat, menepuk pelan bahu Aca.
“Semua orang bisa kuliah, Dek. Jangan takut. Ada banyak jalan, termasuk beasiswa. Saya sendiri kuliah karena beasiswa, alhamdulillah sampai sekarang bisa bertahan.”
Kata-kata itu menyalakan bara di dada Aca. Seperti api kecil yang selama ini ia sembunyikan, kini mulai berkobar. Ia yakin harapan masih ada dan pasti akan ada jalan.
Setelah para mahasiswa pamit, Aca masih berdiri di serambi. Matanya menerawang, hatinya berbisik,
“Kalau aku dapat beasiswa, berarti aku bisa kuliah tanpa merepotkan Umma dan Aba. Tapi, apakah mereka akan mengizinkan?”
Senja mulai merambat dan warna tembaga mulai berganti menghiasi langit. Suara santri mengaji bergema dari mushola kecil. Aca masih duduk terdiam, wajahnya muram.
Eteh datang membawa setumpuk kitab. Ia menaruhnya di meja lalu menatap Aca.
“Ca, kok melamun lagi? Lagi ada masalah? Coba, ceritain ke Eteh. Siapa tahu Eteh bisa bantu.”
Aca tersenyum malu, jemarinya meremas ujung mukena.
“Hehe… Aca tadi ngobrol sama kakak-kakak mahasiswa itu. Jadi makin kepingin kuliah, teh. Kira-kira ada nggak ya, beasiswa buat Aca?” ucapnya malu-malu.
“Banyak Ca, jenisnya macam-macam. Nanti Eteh coba tanyakan ke mahasiswa-mahasiswa tadi, siapa tahu mereka punya info. Tapi Aca yakin mau kuliah? Kan Umma sama Aba nggak setuju?”
Mendengar itu, sejenak Aca langsung tertunduk. Tapi, sesaat kemudian api semangatnya mulai menyala kembali. Dengan suara tegas dan penuh keyakinan ia menjawab,
“Aca yakin banget, Teh. Dari kemarin kepikiran terus, sampai susah tidur. Kalau masalah izin, nanti Aca coba bicara langsung ke Umma dan Aba. Tapi Aca butuh bantuan Eteh buat meyakinkan mereka.”
Eteh terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Kalau sudah bulat, Eteh dukung. Tapi janji, jangan berhenti di tengah jalan.”
“Siap, Teh! Aca janji,” jawab Aca penuh semangat.
Esoknya, Aca memberanikan diri menelepon rumah. Suaranya bergetar saat salam pertama meluncur.
“Assalamualaikum, Umma. Gimana kabarnya di rumah? Aba juga sehat, kan?”
“Waalaikumussalam, Aca. Alhamdulillah, Umma dan Aba sehat. Kamu gimana di pondok? Sehat? Baik-baik?” tanya Umma dengan nada suara lembut dan penuh kasih.
“Alhamdulillah, Aca sehat, Umma. Cuma… ada yang mau Aca omongin,” kata Aca membuka pembicaraan.
“Iya, Nak. Silakan. Kamu baik-baik saja, kan? Kalau ada yang bikin kamu susah, bilang sama Umma. Jangan dipendam. Kamu anak kesayangan Umma dan Aba.”
Air mata Aca menitik pelan.
“Iya, Umma. Aca baik-baik aja. Cuma, kemarin ada mahasiswa datang ke pondok. Mereka cerita soal kuliah. Aca jadi kepingin banget, Umma. Boleh nggak Aca lanjut kuliah setelah lulus pondok? Aca janji akan cari beasiswa, supaya nggak merepotkan Umma dan Aba.”
Suasana berubah hening sejenak. Lalu, suara Umma terdengar lebih berat memecah keheningan.
“Aca, kamu tahu kan prinsip keluarga kita? Dari dulu, nenekmu selalu bilang, yang penting itu ilmu agama. Yang akan dibawa mati hanya itu. Lainnya tidak.”
“Iya, Umma. Aca tahu. Tapi zaman sekarang butuh ilmu lain juga. Aca ingin bisa kerja, ingin bahagiain Umma dan Aba. Aca ingin kasih sesuatu dari hasil keringat sendiri. Aca ingin jadi pengusaha sukses, Umma. Tolong izinkan yah Umma…”
Suasana pun hening kembali.
Sesaat kemudian, dengan suara lirih penuh ragu, Umma akhirnya menjawab.
“Nanti Umma bicarakan dulu dengan Aba, ya! Umma tahu apa yang kamu katakan tidak salah. Sabar ya, Nak! Semoga Aba bisa mengizinkan. Sehat-sehat di sana. Umma sayang sekali sama kamu.”
Mendengar jawaban itu, tangis Aca pecah. Dengan terbata-bata ia berkata, “Makasih, Umma. Aca juga sayang banget sama Umma dan Aba.”
Hari-hari setelah percakapan dengan Umma terasa begitu panjang bagi Aca. Setiap detik seperti mengiris pelan dadanya. Meskipun begitu, hari-harinya berjalan seperti biasa: ia belajar, mengaji, dan bercengkerama dengan teman-teman santri lain. Tetapi, pikirannya terus saja melayang pada satu hal: “Akankah Aba mengizinkan?”
Namun, di tengah gulungan keresahan itu, seberkas cahaya datang. Bu Nyai, dengan kelembutan senyumnya, menyampaikan kabar yang nyaris membuat Aca tak percaya. Ternyata beliau mengenal seorang dosen di sebuah kampus besar. Kampus tersebut, kata Bu Nyai, menyediakan beasiswa penuh untuk santri, bahkan tanpa harus memikirkan biaya makan.
Bagi Aca, kabar itu terlihat seperti pintu langit yang terbuka. Seperti embun jatuh di tengah padang gersang. Tapi bersamaan dengan harapan itu, rasa takutnya juga semakin besar.
“Bagaimana jika Aba menolak? Bagaimana jika semua ini hanya sebatas mimpi?”
Malam itu, langkah Aca gontai menuju mushola kecil pondok. Suara hujan di luar jatuh berirama, menyatu dengan detak jantungnya yang berdegup resah. Ia membentangkan sajadah, menengadahkan tangan, lalu sujud lama, bahkan lebih lama daripada biasanya.
Dalam hening malam, suaranya tenggelam bersama isak tangis yang lirih.
“Ya Allah… Engkaulah Yang Maha Mengetahui isi hatiku. Jika jalan ini adalah kebaikan, maka lapangkanlah, mudahkanlah, kuatkanlah aku. Tapi jika bukan yang terbaik, maka genggam hati ini agar mampu ikhlas. Jangan biarkan aku mengecewakan Umma dan Aba. Jadikanlah restu mereka satu nafas dengan restu-Mu.”
Air matanya membasahi sajadah, namun hatinya terasa lebih ringan. Malam itu, Aca belajar, bahwa di balik doa yang panjang, selalu ada seberkas ketenangan yang diselipkan Allah ke dalam dada.
Keesokan harinya, Aca disibukkan dengan lembar-lembar tugas pondok. Tangannya menulis, tapi pikirannya masih berkelindan pada doa-doa semalam.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara langkah tergesa memecah keheningan.
“Ca, orang tuamu datang!” seru Eteh dengan nadanya panik sekaligus terkejut. “Mereka sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Nyai dan Pak Kyai. Cepat, bersiaplah!”
Seolah dunia berhenti berputar. Pena terlepas dari genggaman Aca, dadanya bergetar hebat. Darahnya berdesir, seperti ada arus deras yang memaksa mengalir ke seluruh tubuh. Sekejap, wajahnya pucat. Pelipisnya dingin, disapu butiran keringat yang bermunculan tanpa diminta.
“Ya Allah…” bibirnya bergetar tanpa suara. “Apakah Aba datang dengan amarah? Apakah ini pertanda beliau tak merestui langkahku? Atau justru Engkau tengah memperlihatkan jawaban dari segala sujudku?”
Langkah kakinya terasa berat, namun hati di dadanya berdentum seperti genderang perang. Setiap tarikan napas menjadi doa yang berulang: semoga hari ini bukan badai, melainkan cahaya.
Dengan langkah yang gemetar, Aca melangkah menuju ruang tamu. Setiap tapak rasanya seperti menapaki jalan panjang menuju takdir. Tirai yang tersibak bagai membuka lembar baru kehidupannya.
Di sana, Umma dan Aba duduk kaku. Wajah mereka serius, tak sedikitpun memancarkan isyarat yang bisa Aca tafsirkan. Umma menunduk, menahan sesuatu di matanya. Aba duduk tegap, sorotnya tajam namun samar menyimpan kegelisahan.
Pak Kyai, dengan wajah teduh penuh kebapakan, menyambut Aca dengan senyum hangat. Suara beliau bening, menembus udara yang menegang di ruangan itu.
“Alhamdulillah, Aca. Ada kabar baik untukmu. Seorang dosen sahabat saya bersedia memberikan beasiswa penuh. Bahkan biaya makan pun akan ditanggung. Kamu hanya perlu belajar sungguh-sungguh. Bagaimana menurut Umma dan Aba?”
Kata-kata itu jatuh bagaikan hujan pertama setelah musim kemarau panjang yang kering. Aca menunduk, dadanya bergetar. Matanya beralih pada Umma, lalu singgah ke wajah Aba—mencari secercah restu, sambil berharap menemukan cahaya di balik kebekuan itu.
Di dalam hati, ia berbisik: “Ya Allah, lunakkanlah hati mereka. Jadikanlah kesempatan ini jalan keberkahan, bukan pertentangan.”
Aba menatap putrinya lekat-lekat. Tatapan itu begitu dalam, seakan hendak menembus sampai ke relung hati Aca. Udara di ruang tamu terasa padat, setiap detik menjadi degup yang menyesakkan.
Dengan suara berat yang penuh wibawa, Aba akhirnya bicara.
“Terus terang, Aba awalnya tidak setuju.”
Kata-kata itu meluncur seperti palu, membuat jantung Aca seakan terhenti sesaat.
Aba menarik nafas panjang, lalu melanjutkan dengan sorot mata yang melembut.
“Aba takut kamu terbawa arus pergaulan yang buruk. Dunia di luar pondok tidak sama dengan dunia di sini. Tapi kalau memang ada asrama mahasiswa, aturan jelas, dan kamu tetap terjaga, insyaAllah, Aba bisa lebih tenang.”
Sejenak, ruangan berubah hening, hanya terdengar detak jam dinding yang mengiringi keputusan besar itu. Lalu, Aba mengakhiri dengan kalimat yang membuat mata Aca berkaca-kaca.
“Kalau itu yang terbaik untukmu, Aba setuju,” suara Aba memecah keheningan.
Bagaikan pintu langit yang terbuka, hati Aca seketika luluh dalam syukur. Air matanya hampir tumpah, namun ia menahannya, takut suasana berubah terlalu haru. Dalam diam, ia hanya menunduk dalam-dalam, membisikkan doa, “Ya Allah, Engkau telah menjawab sujudku.”
Air mata Aca tak lagi terbendung. Jatuh deras, membasahi pipinya yang pucat. Dengan suara bergetar, ia memberanikan diri bertanya, seolah masih takut jawabannya hanya mimpi:
“Berarti… Aba mengizinkan Aca kuliah?”
Aba mengangguk pelan, sorot matanya teduh, meski ada sisa kerikil kekhawatiran di sana.
“Iya, Ca. Soal nenekmu, biar Aba yang urus. Kamu anak Aba. Yang penting, jaga dirimu, jaga nama baik keluarga, dan belajarlah dengan sungguh-sungguh.”
Kalimat itu menembus dada Aca, hangat sekaligus menenangkan. Rasa gentar yang selama ini menghantui, seketika luruh bersama linangan air mata.
Bu Nyai, yang sejak tadi menyimak dengan senyum penuh doa, menimpali dengan suara lembut yang menenangkan suasana.
“Alhamdulillah. Aca, ini karunia besar. Jangan sekali-kali kamu sia-siakan.”
Aca menunduk dalam, tubuhnya bergetar oleh haru. Dengan langkah hati-hati, ia menyalami mereka satu per satu. Tangan Pak Kyai yang hangat, genggaman Bu Nyai yang lembut, dekapan Umma yang menenangkan, hingga genggaman Aba yang penuh wibawa—semuanya menjadi tanda restu yang tak ternilai.
Suaranya tersendat, terisak, namun sarat janji dan keteguhan.
“Makasih banyak, Pak Kyai… Bu Nyai… Eteh… Terima kasih Umma, Aba. Aca janji akan sungguh-sungguh, tidak akan mengecewakan siapa pun.”
Dalam hati kecilnya, Aca tahu, malam-malam panjang penuh doa dan air mata kini telah menemukan jawabannya. Jalan menuju mimpinya terbuka, meski ia sadar masih banyak rintangan menanti di depan. Namun kini, ia melangkah dengan satu bekal paling berharga: restu yang akan selalu ia genggam erat.
Tangis bahagia mewarnai ruangan itu. Suara isak berubah menjadi lantunan syukur yang tak terucap, hanya bisa dirasakan dalam dada yang bergetar.
Malamnya, di kamar kecil pondok, Aca kembali membuka diary lusuh yang selama ini setia menampung rahasianya. Tangan gemetar menari di atas kertas, kalimat-kalimat barunya mengalir deras, jernih, seperti doa yang dituliskan dengan tinta air mata.
“Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya mimpi ini tak lagi terpenjara di balik pagar pesantren. Hari ini bukan akhir, tapi awal. Aku akan belajar sungguh-sungguh, demi diriku, demi Umma dan Aba, demi masa depan yang Engkau ridhoi.”
Di luar, hujan kembali turun, mengetuk genting pondok dengan irama lembut. Namun kali ini, hati Aca tidak lagi muram. Setiap tetes hujan terasa seperti bisikan kasih Ilahi. Dan di balik mendung pekat, ia merasakan cahaya matahari perlahan menembus, masuk, lalu menerangi di dalam jiwanya.
 
			
