RISALAH NU-ONLINE, JAKARTA – Dunia internasional kembali mengakui kiprah intelektual dan spiritual tokoh Indonesia. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, atau Gus Yahya, dalam daftar bergengsi The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims edisi 2026.
Dalam publikasi yang baru dirilis Oktober 2025 tersebut, Gus Yahya menduduki peringkat ke-19, sebuah posisi yang membuktikan bobot kontribusinya dalam peta pemikiran Islam kontemporer. Sementara itu, terdapat dua tokoh Indonesia lainnya yaitu Presiden Prabowo Subianto (urutan ke-15) dan Habib Lutfi bin Yahya (urutan ke-31)
Publikasi itu memberikan porsi khusus untuk menjelaskan peran strategis Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Muslim terbesar di dunia, dengan basis massa lebih dari 90 juta anggota dan jaringan 21.000 madrasah. Ditekankan bahwa di bawah kepemimpinannya, NU konsisten mengusung wajah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang tradisionalis, moderat, dan penuh welas asih.
Ajaran NU yang menekankan Islam sebagai agama cinta kasih, rahmat, dan pengabdian bagi kemanusiaan universal dijadikan fondasi gerakannya. Narasi ini menyimpulkan bahwa pengaruh Gus Yahya telah melampaui batas nasional, menjadikannya tokoh sentral dalam membentuk wacana Islam modern yang inklusif dan mencerahkan.
Pengaruh multidimensi Gus Yahya menempatkannya dalam kategori Ulama, Pemimpin Otoritas Agama, dan Khatib, dengan catatan dampak besarnya di tiga ranah: administrasi, politik, dan pendidikan. Kiprah diplomasinya, baik di tingkat nasional sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden maupun di panggung global, menjadi pilar utama pengakuannya. Ia aktif mempromosikan visi Islam yang pluralis, antara lain melalui pendirian Bayt ar-Rahmah dan Center for Shared Civilizational Values pada 2021, yang bertujuan memperluas pengaruh intelektual-spiritual NU ke Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah. Melalui berbagai inisiatif seperti Forum R20 di Bali, ISORA di Jakarta, hingga Konferensi Internasional Humanitarian Islam, Gus Yahya konsisten menawarkan Islam Nusantara sebagai model alternatif untuk melawan narasi ekstremisme.
Selain itu, publikasi ini juga mencatat sikap tegasnya menentang serangan Israel di Gaza, yang ia nilai sebagai tindakan tidak manusiawi dan melanggar keadilan universal. Bersama NU, ia bergabung dengan masyarakat sipil Indonesia mengutuk “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina.
Ekalavya
 
			
