Oleh: Alida Nurlia Rifdiana (Santri Ponpes Sabilil Muttaqien, Pangandaran)
Hidup ini bagaikan secarik kertas putih yang bersih dari goresan tinta. Kemudian perlahan titik demi titik, coretan hingga warna mengisi halaman pertama, halaman tengah hingga halaman akhir. Begitulah perjalanan manusia, kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi di hari ini, kejutan apa yang sudah Allah siapkan di esok pagi dan ujian apa yang harus kita hadapi lusa. Dan kini, aku tidak tau sedang ada di halaman mana perjalanan hidupku. Bagiku hidup ini bagaikan lukisan, dan kita adalah seniman yang bebas berimajinasi dengan karya yang kita lukis.
Namaku Alida, perempuan berdarah jawa yang lahir di tanah sunda. Aku menyukai namaku. Nama indah yang ayahku berikan. “Alida” dalam Bahasa Jerman berarti Perempuan yang Mulia atau Bangsawan. Sudah tentu ayahku memberikan nama yang indah itu dengan terbesit doa dan harapan kelak aku akan menjadi perempuan yang tangguh, cantik dengan akhlak yang baik, mulia dengan ilmu, berlimpah rezeki dan tentunya tetap rendah hati. Dan inilah perjalanan hidupku.
Aku baru saja lulus dari salah perguruan tinggi negeri di Bandung. Ketika teman-teman sebayaku sibuk mengirimkan lamaran pekerjaan ke satu perusahaan ke perusahaan lainnya, sibuk mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 bahkan ada yang sudah memulai kehidupan baru menikah dengan pasangannya. Di sisi lain aku justru memiliki keinginan yang berbeda, yakni aku
ingin menghafal al Quran. Selama kuliah aku memang beberapa kali ikut “dauroh tahfidz”1atau sekedar bergabung dengan para penghafal quran dalam organisasi kampus , tapi hasilnya belum maksimal karena aku memang baru pemula.
Aku percaya, setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda dan tentunya kita tidak perlu membanding-bandingkan. Titik mulainya saja beda, latar belakang keluarganya beda bahkan tujuan hidupnya saja berbeda. Di dunia ini tidak ada yang terlalu cepat dan tidak ada yang terlalu lambat, semua berjalan sesuai porsi dan waktunya masing-masing, bahkan bunga yang indah pun
1 Dauroh tahfidz adalah kegiatan menghafal al quran yang diselenggarakan oleh organisasi atau Lembaga tertentu dalam waktu tertentu dan target juz yang sudah ditentukan.
tidak mekar secara bersamaan, setiap bunga memiliki musimnya tersendiri. Begitupun manusia, pasti setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk berhasil dan sampai pada tujuannya.
Keinginanku untuk bisa menghafal sangat kuat dan keputusan untuk masuk Pesantren di umurku yang baru lulus kuliah pun sudah aku fikirkan dengan sangat matang. Aku mulai mencari Pesantren Tahfidz yang memang sesuai dengan target dan latar belakangku. Mungkin saja orang lain melihat hal ini sebuah keterlambatan, tapi aku selalu meyakinkan diriku bahwa tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Dengan umurku yang sudah menginjak 21 tahun, aku memiliki target untuk bisa menyelesaikan hafalanku nanti dengan cepat dan mutqin2tentunya. Hingga bertemulah aku dengan salah satu Pesantren di Pangandaran, “Pesantren Sabilil Muttaqien” namanya.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar”, Lantunan adzan terdengar nyaring dari celah gerbang Pesantren. Suara bel untuk solat berjamaah bersahutan dengan kicau burung yang berbondong-bondong pulang dari perantauan mencari makan.
Sore itu, hari jumat tanggal 3 September tahun 2023. Aku diantar keluargaku untuk sowan3ke pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien. Saat bertemu Pak Kyai dan Bu Nyai, mereka menyambut hangat dan memberikan banyak nasehat, salah satu nasehat yang paling aku ingat adalah dawuh4 Pak Kyai :
“Nak, kalau nanti di tengah perjalananmu mondok disini ada sesuatu yang dirasa berat, ingat tujuanmu datang kesini untuk apa, tidak ada perjuangan yang mudah. Tetaplah bertahan untuk melanjutkan perjalanan, karena hidup yang tidak diperjuangkan tidak akan pernah dimenangkan”.
Nasehat inilah yang aku jadikan pegangan dalam perjalananku menjadi seorang santri dan pada hari itulah perjalananku dimulai.
2 Lancar hafalan diluar kepala bukan hanya sekedar hafal
3 Berkunjung, bersilaturahmi
4 Dalam Bahasa Jawa kata Dawuh berarti perkataan atau ucapan
Di awal kisah mondokku, aku sangat semangat untuk mengikuti semua kegiatan yang sudah dijadwalkan, dari mulai salat subuh berjamaah, mengaji subuh, amalan-amalan sunah harian hingga jadwal setoran hafalan dua kali dalam sehari dan ditutup dengan menyetorkan hafalan kepada Allah melalui salat hajat. Salat hajat ini Bu Nyai ijazahkan kepada santri-santrinya sebagai riyadhoh5permohonan kepada Allah agar diberikan kekuatan dan dijaga hafalannya. Setelah salat hajat biasanya aku dan teman-teman baruku masih menyempatkan untuk menikmati malam sembari sekedar mengobrol, bercerita atau mengulang hafalan.
Semilir angin malam menjadi saksi perjuanganku dan teman-temanku disini. Kadang kami baru tidur jam 12 hingga jam 1 malam, bukan untuk bergadang tanpa sebab melainkan untuk mengejar target harian kami. Bu Nyai mewajibkan kami untuk bisa murojaah6 minimal 5 juz. Ketika siang hari belum bisa mencapai target 5 juz, maka kami lanjutkan di malam hari. Bergadang bukan lagi hal yang tabu bagiku. Justru pada waktu tengah malam inilah aku banyak menemukan makna perjuangan yang sesungguhnya. Seisi alam terasa sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan cahaya bulan yang mengintip di balik ranting pohon, sesekali daunnya jatuh tertiup angin diselimuti udara yang dingin namun menenangkan. Aku menemukan makna diri dari keadaan yang sunyi ini.
Terlintas dalam fikiranku, ternyata untuk mampu mendapatkan hafalan yang mutqin butuh perjuangan dan usaha yang tidak bisa dianggap sepele. Bukan sekedar hafalan yang didapat tetapi makna dari setiap ayat dan usaha untuk mengamalkan hal-hal baik dari nilai-nilai dalam al Quran itu sendiri.
Mungkin aku kehilangan waktu tidurku, tapi pelan-pelan aku sudah mulai terbiasa dan nyaman. Ditemani secangkir kopi yang menjagaku dari serangan kantuk, prinsipnya pantang tidur sebelum selesai mengaji.
5 Dalam tradisi pesantren kata riyadhoh diartikan sebagai bentuk latihan spiritual yang bertujuan untuk menyucikan jiwa, mengendalikan hawa nafsu atau karena memiliki tujuan tertentu
6 Dalam Bahasa Arab murojaah adalah mengulang hafalan yang sudah dihafal
Memasuki tahun pertamaku berada disini, aku diberikan amanah untuk membantu mengajar di Madrasah Tsanawiyyah (MTs)7 milik pesantren. Aku tidak merasa keberatan, karena latar belakangku yang memang fresh graduate dalam bidang pendidikan. Selain mengajar, aku juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan mencicipi pengalaman baru sebagai team media pesantren. Aku dikirim ke Radar Cirebon selama 7 hari untuk belajar banyak hal tentang media. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai merestui dan mendukung setiap prosesku disini.
Ternyata Allah itu baik banget loh. Ketika aku datang kesini dengan niat untuk menghafal al Quran, tapi Allah berikan bonus yang lain dengan kesempatan mengajar dan dan belajar banyak hal baru. Namun di sisi lain, aku pun mulai merasa kerepotan karena harus bisa membagi waktu antara menghafal, mengajar dan kegiatan yang lain. Aku jadikan semua ini sebagai tantangan yang harus aku pecahkan bukan sebagai bahan untuk mengeluh apalagi sampai dijadikan alasan untuk malas-malasan. Beberapa kali aku merasa lelah, tapi aku selalu ingat nasehat Pak Kyai saat pertama kali aku datang kesini. Sekali lagi terlintas di fikiranku ucapan beliau :
“Tetaplah bertahan untuk melanjutkan perjalanan, karena hidup yang tidak diperjuangkan tidak akan pernah dimenangkan”.
Dan aku usahakan untuk memenangkan apa yang sedang aku perjuangkan.
Aku adalah perempuan yang menyukai tantangan dan senang belajar hal baru. Suatu hari, aku mendapatkan info perlombaan tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dalam rangka Hari Santri Nasional. Salah satu cabang perlombaannya adalah Fotografi. Aku mengajak team media pesantren untuk mengikuti kompetisi besar ini. Dengan tekad yang kuat aku fikirkan konsep yang matang, ide yang menarik hingga meminta bantuan team untuk menyiapkan santri MTs untuk dijadikan talent dan memilih tempat yang unik untuk eksekusi foto yang saat itu temanya adalah kehidupan santri, karena fotografi bukan sekedar gambar tapi didalamnya tersimpan banyak momen yang indah dan makna yang dalam.
Dari hasil kerjasama yang baik, aku dan team media pesantren mendapatkan juara ke 3 fotografi tingkat nasional dan kami diundang ke Surabaya untuk menerima penghargaan dari Kementerian Agama. Tentu saja ini pencapaian yang membanggakan dengan membawa nama baik pesantren.
7 Sekolah setingkat SMP
Sejak saat itu aku memiliki keyakinan bahwa menjadi santri bukanlah alasan untuk tidak bisa berkarya. Santri bukan hanya bisa mengaji tapi juga mampu mengukir prestasi.
Aku menjadikan aktivitas mengajarku dan menjadi team media pesantren sebagai bentuk pengabdianku ke pesantren ini. Aku bersyukur bisa berada disini, aku bisa diberikan kesempatan untuk mengaji sekaligus belajar mengembangkan kemampuan diri.
Tentu saja perjalananku menjadi santri tidak selalu mudah. Ada ujian yang harus aku hadapi. Di tengah-tengah perjuanganku aku harus kehilangan nenek yang begitu ingin melihatku naik ke atas panggung wisuda tahfidz. Saat itu aku nenekku sakit hampir satu bulan lamanya, dan aku merawatnya di rumah sakit selama satu minggu sampai akhirnya Allah memanggilnya. Walaupun nenek tidak bisa menyaksikan aku di wisuda nanti, tapi aku percaya beliau akan bangga padauk dan do’a – do’anya terus mengalir di sepanjang perjalanan hidupku.
Orang yang sedang menuntut ilmu diberikan ujian dari berbagai arah, bukan untuk melemahkan tapi untuk semakin menguatkan perjuangannya. Nikmat yang Allah berikan kepada orang yang menuntut ilmu pun berlimpah, berupa nikmat lahir dan batin. Tentu saja ujiannya di hadapi dan nikmatnya semakin disyukuri.
Di tahun ini adalah tahun ke 2 ku berada disini sekaligus menjadi tahun terakhirku karena tinggal beberapa juz lagi aku menyelesaikan hafalanku. Ujian 1 juz, ujian 5 juz hingga ujian semester sudah aku lalui, terakhir yang sekarang aku sedang usahakan adalah ujian 30 juz sebelum akhirnya aku bisa wisuda. Lagi – lagi Allah memberikan kejutan kepadaku di tahun terakhir. Baru saja aku mengikuti kompetisi video kreatif tingkat Nasional dan Allah memberikanku hadiah juara 2. Sekali lagi aku katakan bahwa santri bukan hanya bisa mengaji namun juga bisa berprestasi.
Di arus digitalisasi ini, santri sudah banyak memberikan kontribusi untuk negeri. Banyak karya yang dihasilkan oleh santri, maka jangan malu mengakui diri menjadi santri. Kita perlu bangga sebagai santri. Jangan berhenti untuk terus berkarya dengan memanfaatkan peluang yang ada. Ini adalah kesempatan kita untuk memanfaatkan digital sebagai media dakwah. Terus upgrade diri menjadi lebih berkualitas, selesaikan perjuangan yang sudah dimulai hingga bisa kau menangkan.
Jadilah lebih baik dari dirimu yang kemarin, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik, kuatkan niat, bulatkan tekad, mulai dengan langkah kecil, jika perlu berlarilah tunjukkan pada dunia bahwa santri juga mampu berdedikasi untuk negeri.
Selesai.
 
			
