Lembaran Kertas Sibawaih

0

Pagi itu Sibawaih sudah keluar rumah membawa sejumlah uang dirham menuju rumah Umar bin Bukair Al-Warraq. Umar dikenal sebagai penjual kertas di Basrah yang didatangkan dari Samarkand.

Ia membeli beberapa lembar kertas kasar dan tinta Cina yang masih dalam bentuk batu. Tinta itu nanti digosok lama pada air mendidih sehingga menjadi tinta cair. Ia juga membeli beberapa buah kayu untuk pena yang kadangkala ia raut tajam dan pipih.

Kertas sudah mulai diproduksi di Samarkand sejak berakhirnya perang Talas (Kyrgistan) tahun 751. Perang sejak zaman Dinasti Umayyah 715 itu berakhir di zaman Dinasti Abbsiyah. Banyak tawanan China Dinasti Tang yang mengajarkan pembuatan kertas kepada muslimin di wilayah utara. Samarkand menjadi pusat industri kertas pertama di zaman Abbasiyah. Kemudian Bagdad dan Mesir.

Amr bin Usman bin Qanbar sering dipanggil Sibawaih. Sejak muda, sejak belajar kepada imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dan Hammad bin Salamah di Basrah, ia sudah tersibukkan dengan menulis. Ia tengah menyalin karya Imam Khalil Al-’Ain, sebuah mawsu’ah (kamus atau mini ensiklopedia).

Dalam bahasa persia Subawaih adalah bau apel. Menurut Tarikh Annahwi, Sibawaih bermakna seseorang yang memiliki 30 aroma. Ia memang dikenal sebagai tokoh tampan dan menjaga tubuhnya tetap wangi.

Ia lahir di Baydla’, Hamadan, Persia tahun 148 atau 765 M. ia mengikuti keluarganya pindah ke Basrah dan ia tertarik dengan ilmu bahasa yang berkembang di sini. Basrah waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan sebelum Baghdad. Ia tengah gandrung menulis tentang gramatika Arab dan telah menghabiskan banyak kertas dan tinta serta waktu kunjungan ke desa-desa untuk meneliti bahasa keseharian warga.

Kali ini ia membawa segebok kertas yang bakal habis ditulisnya dalam sepekan. Uangnya habis untuk membeli kertas dan tinta.

Ia hidup sendiri di sebuah rumah yang tak jauh dari masjid kota. Ia suka dialog dengan warga Bashrah untuk menguatkan bahasanya. Ia masih berlogat Persia. Hingga kemudian ia mengalami kesalahan membaca hadis di hadapan gurunya, Imam Hammad bin Salamah. Ia malu dan sedikit terpukul karena Imam Hammad memanggilnya wahai orang Persia (ya farisi). Ia kemudian bertekad dengan menulis buku gramatika Arab.

Ia mulai kitabnya dengan bab al-kalim. Ia kutip sekitar 200 gurunya, termasuk Abu Ali bin Al-Ala dan Abu Ishaq. Ia sangat akurat dalam menyebut sumbernya dengan jujur. Ia dianggap tokoh nahwu aliran Bashrah meneruskan Imam Khalil dan Abul Aswad.

 

Menikahi Budak

Dalam kesehariannya dan dalam keasyikannya menulis itu, ia bertemu dengan seorang wanita, budak hamba sahaya (jariyah) yang bernama Lamiyah. Ia sangat menyukai Sibawaih bahkan ia bersedia dinikahinya. Sibawaih yang sibuk itu bersedia karena ia memang butuh orang yang mengatasi kesehariannya. Selama ini tak teratur makan,minum dan tidurnya.

Lamiyah dimerdekakan dengan tebusan ke majikannya dan kemudian dinikahinya secara sederhana disaksikan tetangga dekat dan para sahabat belajarnya.

Memang terasa ringan hidup setelah menikah. Beberapa pekerjan yang selama ini dikerjakannya sendiri kini sudah terbantu dengan kehadiran Lamiyah.

BACA JUGA

Namun, ia rupanya belum bisa menjadi suami yang layak karena membiarkan Lamiyah sendiri di malam hari sementara Sibawaih terus tenggelam dengan kalimat-kalimat. Menurut Shaid Al-Baghdadi, Lamiyah tak sabar dan kemudian membakar karya-karya itu ketika Sibawaih tengah membeli kertas.

Sibawaih kaget melihat karyanya bertahun-tahun telah menjadi abu. “Aku ceraikan engkau,” katanya, geram. Lamiyah menyesal dan ia lakukan demi cintanya untuk mendapat perhatian. Sibawaih sudah tak peduli. Menurut sebuah riwayat ia sempat pingsan melihat karyanya hangus.

Tapi, kawan-kawanya menghiburnya sehingga ia bisa menulis lagi. Gubernur Basrah membantu menyediakan kertas tanpa batas dan membiarkannya menulis di kantornya. Sehingga Al-Kitab menjadi utuh kembali meskipun ada sisi-sisi yang hilang. Namun, ada sisi lain yang melengkapi.Kebakaran sebagai hikmah. Karya setebal 900 halaman itu bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

Ia hidup sendiri lagi. Namun ia tetap dipanggil Abul Bisyr sebagai gelar kepakarannya. Bisyr adalah sebutan lain untuk ilmu nahwu atau gramatika Arab. Ia adalah tokohnya dari Bashrah.

 

Menuju Baghdad

Al-Kitab menjadi idaman semua pelajar ilmu nahwu di mana0-mana, hingga perdana menteri Khalid Al-Barmaki di masa khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah memiliki guru bernama Al-Kisai, seorang ahli qiraat dan bahasa dari Kufah. Ia ingin hadapkan Sibawaih dengan Al-Kisai dengan imbalan 10.000 dirham, penghasilan 100 bulan Sibawaih. Keduanya adalah tokoh utama yang mewakili dua mazhab Nahwu yang bersaing, dan pertemuan mereka di Baghdad menjadi legenda.

Pada dasarnya, hubungan mereka adalah hubungan antara dua rival intelektual yang paling terkemuka. Imam Sibawaih (w. 180 H/796 M) dan Imam Al-Kisa’i (w. 189 H/805 M).

Mazhab Bashrah lebih mengedepankan logika, analogi (qiyas), dan kehati-hatian dalam menerima data bahasa. Mereka cenderung “preskriptif” (menetapkan aturan). Sementara Mazhab Kufah lebih luas dalam menerima data bahasa dari suku-suku Arab Badui dan lebih fleksibel. Mereka cenderung lebih “deskriptif” (menggambarkan penggunaan bahasa).

Keduanya dipertemukan dalam kasus lebah (al-zunbur). Debat dihadiri oleh para cendekiawan terkemuka Baghdad. Al-Kisa’i mengajukan sebuah pertanyaan tata bahasa yang rumit kepada Sibawaih mengenai sebuah kalimat hipotetis.

“Dulu saya menyangka bahwa kalajengking lebih menyengat daripada lebah, ternyata dia adalah (lebah) itu juga.”

Inti masalahnya adalah pada kata ganti untuk “lebah” (az-zunbur). Apakah harus menggunakan bentuk nominatif (huwa hiya) atau akusatif (huwa iyyaha). Sibawaih menjawab bahwa yang benar adalah bentuk nominatif. Al-Kisa’i membantahnya dengan argumen percakapan sehari-hari (‘amiyah) orang Arab yang didukung seorang ahli bahasa Badui.

Sibawaih merasa dikalahkan dengan cara yang tidak adil. Perbedaan dua aliran itu terus menjadi kasus dalam gramatika Arab. Sibawaih sangat sedih meninggalkan Baghdad dengan hati hancur. Ia putus asa dan kembali ke Syiraz, Persia. Di sana ia meninggal dalam sepi. Namun, karyanya menyebar dan mengilhami ulama nahwu berkutnya: Imam shanhaji, Imam Ibnu Mu’thi dan Imam Ibnu Malik.

Pertemuan mereka berakhir dengan “kekalahan” Sibawaih, yang menjadi kisah tragis dalam sejarah ilmu pengetahuan Arab. Banyak ahli sejarah kemudian menilai ada unsur politis karena wilayah Bashrah adalah wilayah yang dianggap duri bagi Dinasti Abbasiyah.

Dikutip dari ‘Al-Kitab: Kitab Sibawaih’ tahqiq Abdussalam Muhammad Harun, halaman 15-20, terbitan Alamul Kutub, Damaskus, cetakan ketiga, 1403/1983 dan Tarikhun Nahwi leh Ali An-Najdi Nashif, Darul Maarif. (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.