RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Majelis Masyayikh bersama Komisi VIII DPR RI mendorong percepatan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Fokus utama desakan ini meliputi pengakuan setara bagi lulusan pesantren serta pemenuhan hak pembiayaan melalui Dana Abadi Pesantren yang hingga kini belum terealisasi secara optimal.
Ketua Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) menegaskan pentingnya rekognisi terhadap sistem pendidikan dan lulusan pesantren sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nasional.
“Jadi melalui Undang-Undang itu tidak ada lagi segregasi antara pesantren dan pendidikan non-pesantren. Tidak ada perbedaan antara lulusan pesantren dan lulusan non-pesantren. Negara wajib menerima, kemudian pendidikan tinggi wajib menerima, pemangku pekerjaan misalnya juga wajib menerima. Tidak boleh ada perbedaan berdasarkan ijazah,” tegas Gus Rozin di Jakarta, Rabu, (5/11/25).
Selain itu, beliau juga mengungkapkan amanat pembentukan Dana Abadi Pesantren yang masih perlu didorong pelaksanaannya. “Hal lain lagi oleh Undang-Undang ini adalah amanat untuk membentuk Dana Abadi Pesantren. Dana Abadi Pesantren yang sampai sekarang itu masih perlu kita dorong pelaksanaannya,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menyatakan bahwa meskipun UU Pesantren telah disahkan sejak 2019, pelaksanaannya belum sepenuhnya dinikmati oleh pesantren. Marwan juga menegaskan perlunya revisi Undang-Undang Sisdiknas agar tidak lagi menyebut pesantren sebagai pendidikan non-formal.
“Kenapa perlu Undang-Undang Pesantren? Karena di Sisdiknas disebutkan pendidikan pesantren itu non-formal. Padahal kenyataannya pesantren itu sisi historis, kemudian realitasnya tetap mencerdaskan anak bangsa. Maka kita buat Undang-Undang Pesantren. Di Undang-Undang Pesantren itu hak-hak pesantren itu setara dengan pendidikan lainnya,” katanya.
“Maka kalau pasal ini bisa ditetapkan tidak ada lagi dikotomi, tidak ada lagi rezim-rezim pendidikan. Sekarang kan ada rezim agama, rezim umum. Tuntutan kita, rezim pendidikan ini tidak ada. Pokoknya pendidikan, mau di manapun, namanya pendidikan,” pungkasnya.
(Anisa).