Menatap Indonesia dari Serambi Pesantren

0

Oleh: Qurrota A’yun (Ma’had Aly Andalusia) 

           Pagi itu masih berbalut sejuk embun, seolah dunia menahan napas dalam diam yang lembut. Cahaya mentari baru saja mengintip malu di ufuk timur, menumpahkan emas yang merambat perlahan di permukaan atap pesantren. Langit memerah lembut, seakan sedang merangkai puisi dengan kuas cahaya, menorehkan guratan jingga dan merah muda yang menyelimuti cakrawala.

            Angin berhembus ringan, membelai tiang-tiang bangunan dengan sentuhan sejuk, membawa aroma tanah basah yang masih segar dan wangi dedaunan yang baru terjaga dari tidur malamnya. Setiap helaian rumput berkilau, meneteskan butiran embun bagaikan mutiara yang tertinggal dari selimut malam.

          Suasana masih hening, hanya burung-burung kecil yang mulai bersenandung lirih, melantunkan simfoni pertama hari itu. Dari kejauhan, terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang merdu dari para santri, mengalun syahdu menyejukkan hati. Segala sesuatu tampak baru, seakan dunia ini lahir kembali di bawah sapuan sang surya. Pagi itu bukan sekadar waktu, ia adalah lukisan hidup, syair yang bergerak, dan napas alam yang membisikkan kedamaian pada siapa pun yang mau mendengar.

             Dari balik jendela kamar pesantren, aku duduk beralaskan sajadah ungu pemberian ibu di sudut kamar Al-Mawardy. Mungkin orang lain yang melihat kamar ini akan menganggapnya terlalu sempit, dipenuhi lemari, tumpukan kitab, dan dihuni tujuh puluh santri. Namun, bagiku, kamar ini bukan sekadar ruang sempit. Kamar ini adalah ruang yang dipenuhi impian, doa, dan harapan yang begitu hebat.

               Namaku Ihsan. Aku seorang santri di sebuah pesantren di Jawa Tengah, kini menapaki jenjang Ma’had Aly, tangga tinggi yang setiap anak undakannya terasa bagai ujian kesabaran. Usia dua puluh satu tahun membuatku merasa sudah jauh berjalan, menelusuri lorong panjang pesantren yang tak selalu terang, di sana, ada air mata yang jatuh tanpa suara, ada detak jantung yang berdegup gugup saat membaca kitab di hadapan guru, ada letih yang nyaris membuatku goyah saat hafalan menolak singgah di kepala. Namun di sela-sela itu, ada cahaya kecil yang tak pernah padam, senyum yang merekah ketika satu demi satu tirai makna kitab tersibak di hadapanku. Dari semua itu aku belajar, pesantren bukan sekadar tempat berdiam, melainkan medan tempur sunyi yang perlahan menempa diriku menjadi baja.

              Hidupku di pesantren sederhana, tapi justru dari kesederhanaan itulah aku merasakan kebahagiaan yang tak ternilai. Kebersamaan menjadi api yang menghangatkan, ilmu yang terus bertumbuh bagaikan pohon yang setiap hari menambah cabang dan buahnya. Hari-hariku pun terasa seperti simfoni yang tak henti dimainkan, lantunan Al-Qur’an di waktu fajar yang meneteskan embun ke dalam jiwa, murojaah kitab yang bergema seperti denyut nadi pesantren, shalawat yang berarak dari kamar ke kamar bagai angin sepoi yang menenangkan, hingga adzan yang membelah langit dan memanggil hati-hati yang letih untuk kembali pada Sang Pemilik Waktu. Semua itu berpadu, menjadi orkestra kehidupan yang tak hanya kudengar, tapi juga kurasakan mengalun di dalam diriku.

Aku merasa sangat damai dengan dunia pesantren. Akan tetapi, ketika aku membuka gerbang pesantren, pemandangan berbeda kutemukan. Indonesia seakan retak, pejabat ditangkap karena kasus korupsi, rakyat miskin mengantre subsidi, tokoh-tokoh bangsa saling mencaci di layar handphone. Media sosial pun kerap memunculkan sisi negatif. Bahkan belum lama, dari media sosial, aku melihat demo di mana-mana. Di jalan-jalan kota, suara rakyat menjelma gelombang. Spanduk berayun seperti layar kapal, menerjang arus ketidakadilan. Demo bukan lagi sekedar kerumunan, melainkan denyut nadi yang bergetar serempak dari bisik paling lirih, hingga gema yang mengguncang langit. Seakan belum cukup, kabar lain pun menyeruak, yakni mengenai maraknya koruptor, ibarat bayang-bayang yang mencuri terang, menggerogoti bangsa dari dalam.

Aku tersentak dalam keheningan, menyadari betapa miris nasib negeri kita. Negeri yang Allah anugerahi kekayaan alam dan keragaman budaya harus layu hanya karena keburukan manusianya. Pagi itu, hatiku yang seharusnya penuh doa dan sabar diaduk oleh kegelisahan. Aku pun bertanya dalam hati, Apakah seorang santri hanya cukup berdiam di balik pagar pesantren? Apakah layak seorang santri memilih bungkam ketika melihat korupsi merajalela? Masih pantaskah disebut santri ketika negeri ini hampir runtuh, ia hanya terdiam tanpa melakukan apa pun?

***

Dentang bel bergema, merambat lembut ke dalam telingaku. Suaranya bukan sekadar tanda, melainkan panggilan bagi jiwa-jiwa pencari ilmu. Setiap getarnya membawa pesan, bahwa sebentar lagi ruang-ruang kuliah akan dipenuhi dialog, tawa, dan mimpi. Bel itu seolah berbisik, “Saatnya melangkah, saatnya membuka lembar baru dalam perjalananmu.”

             Aku pun segera beranjak menuju kelas, meski kepalaku masih dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang tak kunjung reda. Pikiran tentang negeri ini, tentang Indonesia, yang terus berputar dalam benakku. Hingga akhirnya, aku hanya mampu termenung sepanjang pelajaran, sampai suara lembut namun tegas dari Ustaz Wildan membuyarkan lamunanku.“Ihsan, kenapa kamu melamun?”

Aku pun menjawab lirih, “Maaf, Ustaz. Sejak tadi pagi, selepas salat Dhuha, terus-menerus terlintas di pikiranku… apakah seorang santri hanya cukup berdiam di balik pagar pesantren, sementara negeri ini sedang dilanda kekacauan?”

Mendengar ucapanku itu, Ustaz Wildan kemudian bercerita tentang Resolusi Jihad pada tahun 1945. Saat itu para santri turun langsung ke medan perang, mengangkat senjata melawan penjajah. Yang paling membekas di ingatanku adalah ketika beliau berkata, “Indonesia merdeka bukan hanya lahir dari meja diplomasi, tetapi juga ditebus dengan darah para santri.”

Sejak saat itu aku sadar bahwa menjadi santri berarti memikul dua amanah sekaligus, menjaga warisan ilmu para ulama dan meneruskan semangat juang pendahulu yang rela menukar masa mudanya dengan kemerdekaan yang kini kurasakan.

***

      Suara yang menandakan waktu istirahat merambat cepat, menyusup ke setiap sudut ruangan Ma’had Aly. Tanpa berlama-lama, aku melangkah bersama teman-teman menuju warung biru yang berdiri tak jauh dari sana. Biasanya tempat itu riuh oleh canda tawa, tetapi siang itu atmosfernya terasa berbeda. Seakan ada sesuatu yang serius menunggu untuk dibicarakan.

      Khazmi dan Naja duduk di hadapanku. Pandangan mereka tak lagi main-main seperti biasanya. Naja lebih dulu membuka suara, nadanya berat dan penuh rasa ingin tahu. “San, menurutmu bagaimana kondisi pemerintahan saat ini?”

   Pertanyaan itu membuatku terdiam. Sesaat aku membiarkan hening menggantung, menimbang kata-kata sebelum akhirnya melepas jawaban. “Menurutku cukup kacau,” ucapku perlahan. “Pemerintahan sekarang terkesan arogan dan anti kritik. Korupsi pun seolah dianggap hal yang biasa, wajar saja terjadi di lingkaran kekuasaan. Tak heran banyak pemuda merasa frustrasi hingga meluapkannya lewat tagar #KaburAjaDulu. Aku pernah melihat gambaran Indonesia tanpa korupsi di internet. Negeri itu tampak begitu maju dan modern. Seandainya benar-benar terwujud, betapa indahnya Indonesia kita ini.”

      Kalimatku membuat warung biru kehilangan riuhnya. Dari tempat sederhana yang biasanya dipenuhi gelak tawa, kini ia menjelma menjadi ruang diskusi penuh keseriusan. Aku menatap kedua sahabatku, lalu mengalihkan arah obrolan. “Menurut kalian, bagaimana kondisi pendidikan di negeri kita?” tanyaku, kali ini dengan nada yang lebih pelan. Naja menghela napas panjang, sorot matanya teduh namun menyimpan kekecewaan. “Menurutku masih jauh dari baik,” katanya. “Kualitas guru belum merata, fasilitas sekolah timpang, kurikulum terlalu padat dan kurang relevan, bahkan masih ada sekolah dengan biaya yang memberatkan sebagian orang.”

     Aku hendak menanggapi, tetapi Khazmi sudah lebih dulu menyahut. Wajahnya bersemangat, tangannya bergerak-gerak seakan ingin menegaskan kata-katanya.

“Menurutku ada beberapa solusi. Pertama, kualitas guru harus merata, jangan sampai anak desa hanya dibimbing seadanya sementara kota dipenuhi tenaga ahli. Kedua, fasilitas sekolah perlu ditingkatkan, minimal ada ruang kelas yang layak, perpustakaan, dan akses internet. Ketiga, kurikulum sebaiknya lebih sederhana tapi relevan, bukan sekadar hafalan, melainkan melatih siswa berpikir kritis dan kreatif. Keempat, biaya pendidikan harus dipermudah, dengan banyak beasiswa bagi anak dari keluarga kurang mampu.”

   Suasana hening sejenak sebelum sebuah suara lain ikut masuk. Seorang pria berpeci miring, kakak tingkatku yang sejak tadi duduk tak jauh dari kami, menatap dengan tenang. Nada bicaranya dalam dan penuh wibawa. “Solusimu tepat, Mi. Tapi ada hal yang sering kita lalaikan, yaitu pendidikan karakter. Prestasi akademik setinggi langit tak ada artinya jika akhlak generasi kita merosot. Betapa miris bila kelak bangsa ini dipenuhi orang-orang cerdas, tetapi miskin budi pekerti. Selain itu, perlu juga pendidikan tentang kebijakan penggunaan media sosial. Di era ini, hampir semua orang aktif di sana. Tanpa pemahaman yang benar, orang mudah tergelincir, entah dengan asal memposting, menyebar hoaks, menyinggung sesama, atau terjerumus pada konten negatif. Dengan pendidikan itu, masyarakat diharapkan bisa menggunakan media sosial secara bijak, sesuai etika, norma, dan hukum.”

     Aku hanya bisa tersenyum mendengar penjelasannya. Kata-kata itu bergema dalam pikiranku, seolah membuka cakrawala baru. Dalam hati aku berbisik, “Andaikan suatu hari nanti kita yang memimpin pemerintahan, pasti Indonesia bisa tumbuh menjadi negara maju dan hebat.”

***

Bel penanda masuk kelas kembali berkumandang, suaranya bergulir seperti alunan yang menggema di setiap lorong dan jendela Ma’had Aly, hingga terdengar sampai ke warung biru. Dentangnya bukan sekadar tanda, melainkan panggilan yang seolah mengikat langkah para santri untuk kembali ke ruang ilmu. Aku dan teman-teman pun saling pandang sejenak, sebelum akhirnya bergegas menuju kelas.

           Waktu berjalan perlahan di bawah tatapan ustaz, seakan setiap menit adalah ujian kesabaran. Dua jam terasa begitu panjang, namun akhirnya pelajaran hari itu pun usai. Saat bel pulang berdering, suasana kelas seketika mencair. Para santri berhamburan keluar, sebagian tertawa kecil, sebagian lagi tenggelam dalam pikiran masing-masing. Langkah-langkah itu pun mengalir kembali menuju kamar, membawa serta cerita hari ini bersama lelah yang terasa manis.

Dalam perjalanan, tanpa kusadari selembar uang seratus ribuku terjatuh, menari sebentar lalu rebahan di debu. Sesampainya di kamar, ketika hendak membuka kitab Alfiyyah Ibnu Malik, datanglah Syafiq yang sejak tadi menyapu halaman Ma’had Aly. Ia menghampiriku sambil berkata, “San, ini uangmu tadi jatuh. Lain kali hati-hati, ya.”

Aku tertegun. Dari kejadian kecil itu aku sadar bahwa santri telah ditempa dengan kejujuran dan amanah. Aku bergumam dalam hati. Alangkah indahnya negeri ini jika pemerintahan diisi orang-orang berjiwa santri. Negeri yang di ibaratkan rumah reyot atapnya bocor, dindingnya di gerogoti dari dalam, kursi-kursi megahnya dihuni bukan manusia berjiwa, melainkan tikus berdasi, tentu akan kembali tegak dan bermartabat.

Setelah membaca bait-bait Alfiyyah Ibnu Malik, mataku terasa berat oleh huruf-huruf yang menari. Di luar kamar, cahaya siang menumpahkan panasnya lurus dari puncak langit. Bayangan tiang-tiang bangunan mengerut, menyatu di kaki mereka, pertanda sang surya telah bertengger tepat di atas ubun-ubun.

Tiba-tiba, suara azan membelah udara. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” gema itu bergetar, meluncur ke setiap sudut pesantren, menetes seperti kesejukan di tengah terik.

Aku tersenyum. waktu zuhur telah tiba. Dengan hati ringan, aku menutup kitab, menaruhnya di saku baju, lalu beranjak pergi ke aula untuk melaksanakan salat zuhur. Di sana tampak ribuan santri berkumpul, mungkin sekitar seribu lima ratus orang. Meskipun pemandangan ini sudah sering aku lihat, entah mengapa aku selalu kagum. Walau begitu ramai, mereka tetap tertib dan tidak berisik saat menunggu ikamah dikumandangkan.

Pemandangan itu membuatku sadar bahwa pendidikan karakter di pesantren benar-benar terjaga dengan baik. Aku pun berangan-angan, andaikan seluruh rakyat Indonesia hidup setertib ini, pasti dunia akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Bukan hanya besar dan kaya alamnya, tetapi juga tertib dan bermartabat.

Seusai salat zuhur, aku melangkah ke perpustakaan pondok. Suasana di sana begitu tenang, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar malas dan sesekali desis lembaran kertas dibalik. Aku berjalan perlahan di antara rak-rak kayu yang penuh dengan buku, mencari bacaan yang bisa menemaniku siang itu.

Ketika tanganku hampir meraih sebuah kitab tafsir, mataku justru tertumbuk pada sosok yang sudah sangat aku kenal. Ustaz Ahkam, ustaz yang sering disebut-sebut santri lain sebagai orang alim dan rendah hati, duduk di sudut ruangan. Ada sesuatu yang menarik perhatianku, beliau tengah membaca sebuah novel, bukan kitab kuning seperti biasanya.

Aku mendekat pelan. Judul buku itu langsung terbaca jelas, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sempat ada keraguan, tapi akhirnya aku memberanikan diri membuka suara. “Maaf, Ustaz Ahkam,” ucapku sopan, menundukkan kepala sedikit. “Mengganggu waktunya. Apakah buku itu memang sangat bagus sehingga Anda membacanya?”

Beliau menutup sejenak halaman yang sedang dibacanya. Senyum tipis muncul di wajahnya, lalu dengan suara tenang ia menjawab bahwa buku itu menyoroti perjuangan anak-anak Belitung dalam mendapatkan akses pendidikan di tengah segala keterbatasan. Menurut beliau, banyak pelajaran berharga di dalamnya, tentang semangat pantang menyerah, kekuatan persahabatan, nilai sabar, syukur kepada Tuhan, penghargaan terhadap guru, dan kepedulian sosial di tengah kesulitan hidup.

Beliau terdiam sebentar, kemudian suaranya berubah lebih serius. Ia berkata bahwa ada hal yang memprihatinkan. Novel tersebut sekaligus menyingkap wajah muram pendidikan kita, yang masih dibatasi banyak kekurangan. Karena itu, beliau sangat berharap suatu hari nanti ada orang berdarah santri yang menjadi menteri pendidikan. Orang yang jujur, amanah, dan benar-benar peduli, agar pendidikan di negeri ini tak lagi terbelenggu keterbatasan.

Kata-katanya membuatku tercekat. Rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dalam hati, seakan beliau bukan sekadar berbicara, melainkan menegur diriku pribadi. Aku menarik napas panjang, lalu bergumam dalam hati, benar juga, pendidikan memang kunci perubahan. Jika pendidikan rapuh, bangsa pun akan sulit maju.

Aku menanggapi dengan senyum kecil. “Betul sekali, Ustaz. Saya juga berharap kelak banyak santri yang bisa mengambil peran penting di negeri ini. Bukan hanya di bidang agama, tapi juga dalam pemerintahan dan pembangunan bangsa.”

Percakapan itu berakhir, dan aku kembali menyusuri rak-rak buku. Pandanganku lalu berhenti pada sebuah judul buku yang seakan memanggil, Korupsi yang Membudaya di Indonesia. Aku meraih buku itu tanpa ragu. Sejak lama aku ingin memahami lebih dalam penyakit bangsa yang satu ini.

Saat membuka halaman pertama, pikiranku langsung melayang. Seandainya pendidikan mampu melahirkan generasi yang jujur dan berintegritas, tentu korupsi bisa diberantas dari akarnya. Mendadak aku teringat kata-kata Ustaz Ahkam barusan. Mungkin inilah yang beliau maksud, pendidikan yang baik adalah pondasi untuk melawan segala bentuk kebusukan.

Belum lama aku tenggelam dalam bacaan, suara Ustaz Ahkam kembali terdengar dari arah belakang. Beliau berkata bahwa buku itu sangat bagus, karena di dalamnya dijelaskan bagaimana korupsi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Isinya lengkap dengan analisis sejarah, teori budaya korupsi, dampaknya, sampai lemahnya penegakan hukum.

Beliau menatapku lekat-lekat. Tatapan itu penuh wibawa, membuat bulu kudukku sedikit meremang. Dengan nada tegas beliau melanjutkan, “korupsi adalah pengkhianatan terbesar, bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada Allah. Dan seorang santri tidak boleh membiarkannya tumbuh subur.”

Aku menunduk dalam-dalam, menelan bulat-bulat kata-katanya. Di saat itu, aku merasa beban yang besar seakan dititipkan di pundakku, beban yang suatu hari harus kupikul bersama generasi santri lainnya.

***

Malam hampir menyentuh angka dua belas. Pesantren terlelap dalam sunyi, hanya bulan yang setia menggantung di langit, kadang bersembunyi di balik awan tipis. Dari serambi sebelah, samar-samar terdengar lantunan kitab yang dibaca santri, suaranya mengalun bagai doa yang tak putus-putus, menemani kesunyian malam.

Aku merebahkan tubuh di dipan kayu sederhana, mencoba memejamkan mata. Namun, pikiranku justru berlarian ke sana kemari, tak mau diam. Kata-kata berdesakan di kepalaku, meminta dikeluarkan, seakan malam ini bukan milik tidur, melainkan milik catatan kecil yang harus lahir. Pelan-pelan kuambil buku harian dari bawah bantal. Tanganku bergetar ringan saat pena menari di atas kertas, “Korupsi telah merajalela, aku ingin menjadi pemimpin yang jujur. Perpecahan telah menghancurkan bangsa, aku ingin menjadi pemersatu. Rakyat ditindas kebijakan, aku ingin menyusun yang lebih adil. Cinta tanah air bukan hanya kata, melainkan kerja nyata.”

Aku berhenti sejenak, menatap tulisan itu. Aku tahu jalan yang kutulis tidak mudah. Pemerintahan adalah medan penuh godaan. Namun aku percaya, santri yang ditempa doa setiap malam, hidup dalam kesederhanaan, dan terbiasa berkhidmat, akan mampu melawan godaan itu. Dalam hati aku bermunajat, menatap langit gelap yang bertabur bintang.

“Ya Allah, jika suatu saat Engkau takdirkan aku menjadi pemimpin, kuatkanlah aku di jalan yang lurus. Bimbinglah agar setiap keputusan berpihak pada kebenaran dan keadilan. Jadikan aku hamba-Mu yang mengabdi dengan tulus, dan pemimpin yang memegang amanah.”

***

Bulan menggantung sendu, cahaya tipisnya menembus kisi-kisi jendela. Saat itu, langkah kaki terdengar mendekat. Rojih dan Afifi muncul dari balik pintu, wajah mereka masih segar meski malam kian larut. Sebelum sempat kusembunyikan, buku harianku sudah lebih dulu direbut oleh Rojih. Ia membaca cepat, lalu matanya berbinar penuh semangat.

“Aku membayangkan suatu hari nanti ada santri yang menjadi presiden,” ujarnya, suaranya bergetar oleh antusiasme. “Presiden yang hatinya bersujud hanya kepada Allah, bukan pada kepentingan kelompok. Ada santri yang duduk di kursi hakim, memutuskan perkara dengan adil tanpa silau amplop. Ada santri yang menjadi menteri pendidikan, menyusun kurikulum berlandaskan akhlak, bukan sekadar angka ujian. Dan ada santri yang menjadi menteri kesehatan, memastikan tak ada rakyat yang mati hanya karena tak mampu membeli obat.”

Afifi yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara dengan nada serius. “Bukankah dulu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan para ulama ikut mendirikan negeri ini? Mereka bukan hanya ulama, tapi juga pejuang bangsa. Maka, kita pun harus melek politik dan meneruskan perjuangan mereka.”

Kata-kata mereka membuat ruang kecil itu terasa lebih hangat, meski angin malam masuk lewat celah jendela. Setelah perbincangan yang penuh semangat itu mereda, aku menutup buku harianku. Bibirku pelan-pelan melafalkan doa, doa yang lebih seperti janji kepada masa depan.

“Ya Allah, lahirkanlah dari rahim pesantren pemimpin-pemimpin yang jujur, amanah, dan mencintai rakyatnya, bukan kursinya.”

Aku menatap halaman kosong yang masih tersisa, lalu menuliskan satu kalimat terakhir sebelum menutup buku itu rapat-rapat, Indonesia terlalu indah untuk dibiarkan hancur. Maka jadikanlah santri sebagai penawarnya.

Malam semakin pekat, tapi keyakinan dalam hatiku justru kian terang. Doa dan usaha seorang santri adalah senjata paling ampuh untuk menyelamatkan negeri. Di antara hening malam, aku membayangkan langkah kecil yang bisa kulakukan mulai esok hari. Dari pesantren, dari ilmu, dari doa, aku percaya setiap amal kebaikan adalah benih perubahan.

Dan pada malam itu aku benar-benar yakin, doa santri akan tumbuh menjadi pohon kejujuran dan keadilan yang menaungi Indonesia. Dari sini, aku memulai langkah kecilku, demi mimpi besar bangsa ini.

***

Leave A Reply

Your email address will not be published.