
Oleh: Ananda Rizka Seftia Putri (Santri PP Putri Al-Ma’rifah Darunnajah, Trenggalek)
Fajar terjaga lebih awal bersiap membangunkan mentari sama seperti hari biasanya. Pada masa yang sama ia menengadah di bawah cakrawala yang lekas berembun. Sebagai serangkaian kecil dari rencana Tuhan, nalurinya terus berharap tanpa celah untuk menyerah, raganya selalu tenang dalam peraduannya merapal nada indah yang menyenangkan. Tak ada nafas yang tengah-tengah, tak ada jiwa yang merasa lelah. Hatinya selalu yakin bahwa dirinya akan menjumpai takdir yang indah di akhir lembaran hidupnya.
Hingga tanpa terasa kali ini Mentari terbangunkan sendiri oleh panggilan yang berkumandang dari surau, mengetuk bumi kecil tempat mereka mengabdi. Belum sampai dirinya beranjak, ia mengernyitkan dahinya hingga matanya dapat menatap poros jarum jam dinding berada di mana.
“Pukul 04.00, ya. Cepet banget subuh sekarang ini,” gumamnya.
Segera ia beranjak dari dipan berusaha mencari yang tidak ada. Keluar menelusuri bilik bilik kosong sembari mengusap-usap mata berusaha menghilangkan kekaburan pandangannya. Bilik terakhir menjadi yang Mentari yakini akan menemukannya di sana. Ia menyingkap kelambu yang menutupi bilik itu dan benar saja,
“Kak Fajar kok nggak bangunin Tari, sih?” Mentari kesal pada kakaknya yang masih tertunduk di atas sajadah.
“Ya udahlah, tunggu Tari dulu sholat subuh nya!” suara Mentari semakin memudar meninggalkan kakaknya menuju kamar mandi. Kakaknya hanya menyinggungkan senyum tanpa sedikitpun memalingkan wajah. Fajar dan Mentari mewakili satru dadi balad, selalu bertengkar lalu akur kembali.
Sammy Tuhu Raka Fajar, seorang pemuda tampan penuh karisma yang kerap dipanggil kang Fajar, fokus mendedikaskan pengabdiannya untuk Pondok Pesantren Nurul Falah. Setiap hari ia menginjakkan kaki di penjara suci itu untuk mengabdikan diri. Selain sebagai ustadz, ia juga sering dipanggil keluarga pesantren untuk beberapa hal penting mengenai keputusan dan pengelolaan sistem pesantren. Kejujuran dan keuletannya membuat keluarga pesantren
menaruh kepercayaan besar dengan memberikan amanah kepadanya sebagai tangan kanan Abuya Abdullah Fajar Hadiningrat, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah. Jadi, segala
urusan yang berhubungan dengan Abuya maupun usulan dari dalam atau luar harus lewat kang Fajar terlebih dahulu.
Selain berkecimpung di dunia pesantren Fajar adalah sosok kepala keluarga dan pelindung bagi Mentari, adik semata wayangnya setelah kepergian Pak Husain dan istrinya. Pak Husain dan istrinya adalah sosok yang paling berjasa dalam membesarkan, merawat dan melindungi Fajar dan Mentari. Sejak dari masih kanak-kanak, Pak Husein dan istrinya merawat serta mendidik Fajar dan Mentari dengan sangat baik, selalu memberikan bekal ilmu agama yang layak dengan mengirimkan mereka berdua ke pondok pesantren, seakan-akan Pak Husein dan istrinya tidak bisa menemani Fajar dan Mentari lebih lama. Sejak kecil hidup mereka sangatlah sederhana dan penuh perjuangan. Bahkan saat pertama kali berangkat menimba ilmu di pondok pesantren mereka hanya dibekali uang saku yang hanya cukup untuk membayar biaya kost pondok dan makan. Namun kesabaran dan keteguhan yang mereka teguk mengantarkan mereka pada buah yang manis. Keduanya sama cerdasnya hingga acap kali meraih prestasi sehingga orang-orang disekitar mereka merasa bangga memiliki generasi yang cemerlang. Tidak hanya membanggakan, semua orang juga dibuat kagum dengan akhlak indah yang terpancar dari keduanya, bahkan Abuya sendiri menaruh kasih sayang yang besar pada mereka berdua.
Hari-hari dengan cepat berpacu, dan manusia pun menikmatinya tanpa jemu. Tidak banyak yang menyadari bahwa dalam hidup mereka banyak sekali yang silih datang dan pergi. Banyak yang terjadi tapi mungkin mereka tak terlalu peduli dan banyak yang berubah tapi tak terlalu membuat mereka gundah seakan semuanya baik-baik saja. Begitu juga dengan Fajar dan Mentari yang menjalani hidup sebagai mestinya seorang hamba dalam mengabdikan diri.
Namun, tanpa aba-aba dan skenario yang tak terbaca, dengan sangat tiba-tiba dan tak seorang pun tau apa yang akan Mentari lakukan hari itu. Di hari itulah ketika ia mengambil keputusan yang akan merubah hidupnya dan mungkin juga bagi kakaknya. Seperti sudah matang dan terancang, dengan bulat ia lewati lingkaran yang melintas di dalam jalur hidupnya. Di malam hari yang tenang Mentari mengajak Fajar untuk sowan kepada keluarga ndalem tanpa memberitahu kepada kakaknya apa tujuan sebenarnya.
“Ada apa sebenernya sih, Tar?” tanya Fajar dengan berbisik pada Mentari karena menjaga kesopanan saat keduanya berada di ruang tamu ndalem.
Saat itu Abuya dan istrinya sendiri yang menerima kedatangan mereka berdua. Di situlah ia mengutarakan niatnya,
“Nuwunsewu, Abuya. Lajeng kulo badhe nyuwun izin wangsul saking mriki keranten…” “(Maaf, Abuya. Saya minta izin untuk pulang dari sini karena…,)” yang diutarakan Mentari membuat semua terkejut.
”….. kula berharap ingkang sanget ridho saking panjenengan, Buya,” “(…saya berharap sekali ridho dari Buya,)” pinta Mentari seraya menunduk dengan air mata terjun bebas tak tertahan membuat suaranya semakin sesenggukan.
“Ono opo Tari, kok ndadak temen?” “(Ada apa Tari, kenapa mendadak sekali?)” pertanyaan Abuya membuat semua yang ada di ruang tamu terdiam termasuk Mentari sendiri. Meskipun mentari diam, dirinya seakan menjawab bahwa keputusannya untuk pulang sudah tidak bisa dicegah lagi. Angin malam itu seakan tahu ada yang sedang terjadi dan ikut menjadi saksi, berhembus dingin menemani suasana yang canggung tak seperti biasanya saat mereka berbincang dengan akrab layaknya keluarga sendiri.
“Iyo wes, Tar. Mugo-mugo legowo yo karo keputusane dewe. Mungkin ning panggonan liyo awakmu besok bakal oleh dalan pituduh lan pelajaran sing luwih akeh,” “(Ya sudah, Tar. Semoga bahagia dengan keputusanmu sendiri. Mungkin ditempat lain kamu akan menemukan jalan petunjuk dan mendapat pelajaran yang lebih banyak,)” suara Abuya yang lembut nan parau tiba-tiba memecah keheningan yang sedari tadi dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran.
Fajar yang menemani Mentari pun hanya diam dengan pandangan yang terus tertunduk merasakan isi kepalanya penuh tanda tanya yang siap menyerang mentari setelah ini. Izin yang diberikan oleh Abuya memberi arti bahwa keputusan Mentari tidak sepenuhnya salah.
“Pesen e ibuk, dijogo awake dewe yo, nduk. Welingku pondok panggah bakal bukak nggo santri-santrine Buya lan Ibuk,” “(Pesan Ibu, dijaga dirinya baik-baik, nak. Pesanku pondok tetap akan terbuka untuk semua santri-santrinya Buya dan Ibu)”. Setelah mendapatkan izin dan wejangan dari Abuya dan Ibu, keduanya kemudian berpamitan karena malam yang semakin larut.
Sepulangnya dari pondok, keduanya menyusuri gang asrama yang lekas sunyi karena para santri sudah bersiap untuk beristirahat. Berjalan bersebelahan dan hanya saling diam, Fajar mengerti Mentari harus lebih tenang saat itu. Jalan yang sembab terguyur gerimis seakan menemani suasana hati yang sama-sama teriris malam itu. Malam itu menjadi mendung yang
termenung, Mentari membuat badai pada dirinya sendiri. Setelah cukup lama berjalan akhirnya terdengar suara lirih Mentari,
“Maaf ya, kak. Tari lancang membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan sampean”.
“Kenapa sampai ceroboh seperti itu, Tar. Semua kan bisa dimusyawarahkan, ada apa sama kamu?” kemarahan Fajar meluap setelah apa yang semuanya telah ia saksikan.
“Semua pasti ada alasannya, kak. Ada hal yang kita ndak tau dan mungkin harus kita cari sendiri di tengah-tengah dunia yang luas ini. Mentari berharap sampean bisa memahami kalau ini keputusan mutlak dari Mentari karena Mentari sendiri udah dewasa, kak.” jelas Mentari pada Fajar dengan tenang meyakinkan.
“Kak Fajar itu kakak Mentari yang paling Tari sayang dan jadi satu-satunya yang bisa Tari percaya, jadi semua ini nggak ada sesuatu yang Tari sembunyikan apalagi Tari tutup tutupi. Mentari minta tolong sama kak Fajar sekali ini mau ngertiin Tari,ya?” tambah mentari seakan-akan tahu atas segala pertanyaan yang akan Fajar sodorkan.
Fajar tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Hatinya membeku menerima kenyataan bahwa harapan satu-satunya yang ia miliki justru membuatnya kecewa. Perasaannya sudah tak terbaca lagi, pikirannya melayang membayangkan semua sudah tak bisa diperbaiki. Sejak saat itu hubungan keduannya merenggang. Tinggal dalam satu atap tanpa saling sapa. Berbicara seperlunya tanpa ada riangnya canda tawa. Semuanya tidak lagi seperti dahulu disaat dua kakak adik itu bersatu dan semua berjalan baik-baik saja.
Dua tahun berlalu……
Dunia masih sama, tapi tidak dengan keadaannya. Hubungan kekeluargaan di antara Fajar dan Mentari sudah semakin membaik. Akan tetapi, mereka tak lagi bersama dalam satu atap. Fajar tetaplah abdi keluarga pesantren dan menetap di kampung halamannya, tapi tidak dengan Mentari. Satu tahun silam dirinya memutuskan pergi ke Banyuwangi untuk berguru dan menimba ilmu. Satu tahun sungguh terasa sangat lama bagi Fajar untuk menunggu kepulangan adiknya. Mereka berdua hanya akan tersambung lewat telepon ketika Mentari bisa untuk dihubungi. Segala usaha telah dilakukan, namun sulit bagi Fajar untuk memastikan bahwa adik satu-satunya baik-baik saja dalam rantaunya. Setiap kali Fajar selalu mengirim
pesan, akan tetapi selalu tak terbalas. Sempat dirinya berkeinginan untuk mengunjungi Mentari karena perasaan khawatir yang memuncak pada satu-satunya orang yang ia sayang. Tapi apalah daya, tak pernah ada rekam jejak Mentari berlabuh di mana. Saat pergi pun ia tidak sempat berpamitan pada kakaknya walaupun sebelumnya sudah mendapatkan izin. Ketika diberi pertanyaan oleh Fajar di manakah sebenarnya ia berada, justru Mentari akan langsung memutus teleponnya.
“Tari, kenapa teleponnya minggu lalu tiba-tiba mati?”
“Di sini itu sinyalnya susah buat telepon, kak. Harus keluar rumah dulu buat dapat sinyal”
“Nduk, bulik nderek bapak riyen…,” terdengar samar-samar suara selain Mentari dari seberang telepon.
“Inggih, ngantos-ngantos.” “(Iya, hati-hati)” suara Mentari menjawab pada suara itu. “Tadi siapa, Tar?” tanya Fajar penasaran
“Ya udah, kak. Tari tutup dulu teleponnya. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam…,” jawab Fajar sambil menghela napas. Kerap kali Mentari memutus sambungan telepon setiap kali Fajar ingin menanyakan sesuatu. Mentari seperti memiliki rahasia besar di balik semua yang ia lakukan, namun tidak ada satu pun yang mengetahuinya.
Hari-hari akhirnya berjalan seperti biasa seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun sebelumnya. Perlahan alam mulai melupakan peristiwa yang sudah berlalu, memaksa segalanya tetap berjalan untuk tetap menggoreskan tinta takdir pada lembaran-lembaran baru. Namun, catatan tentang Mentari tak pernah tertinggal untuk selalu diingat.
Fajar dan Mentari kini sudah mulai membangun hidupnya masing-masing. Fajar menerima jika harus disalahkan atas kegagalannya melindungi Mentari, karena setelah satu tahun terakhir Mentari sudah tidak pernah lagi berkabar bahkan walaupun hanya dengan mengirimkan pesan singkat, seperti ada sesuatu yang merenggut paksa Mentari dari dirinya. Namun dalam hati kecilnya ia selalu menaruh harapan besar untuk bisa membawa Mentari kembali padanya.
Aula pondok pesantren pukul 16.30….
Seperti biasa setelah pengajian kitab kuning, kang Fajar akan datang ke aula untuk menjemput Abuya karena lokasi aula yang cukup jauh dengan ndalem jika harus dengan berjalan kaki, serta kondisi Abuya yang sudah sepuh membuat beliau harus diantar jemput dengan naik motor.
“Le, sesok nderekne aku, yo!” “(Nak, besok ikut aku, ya!)” dalam perjalanan pulang tiba-tiba Abuya memberikan perintah.
“Inggih, bah” “(Baik, bah)” jawab Fajar singkat.
Fajar sama sekali tidak pernah mengelak apalagi membantah. Ia selalu ta’dhim pada semua perintah beliau.
Pagi harinya Fajar datang ke pesantren menunaikan tugas yang kemarin Abuya berikan. Mobil pun segera melaju mengantarkan Abuya menuju tujuan yang beliau kehendaki. Hanya ada Abuya, dan Fajar sebagai sopir yang menemani dalam perjalanan kala itu. Dalam perjalanan panjang yang mereka tempuh tidak ada obrolan serius yang menemani, Abuya pun hanya mengarahkan rute tujuan mereka. Setelah hampir setengah hari melakukan perjalanan, pada sore hari akhirnya Fajar berhasil mengantarkan Abuya pada tujuannya. Mobil menepi di seberang lahan luas terbuka yang hanya ditumbuhi beberapa pohon besar.
“Mengapa Buya pergi jauh-jauh hanya untuk ke tempat ini?” dalam hati Fajar bertanya pada dirinya sendiri sambil memandangi dengan saksama tempat gersang itu.
Tok … tok… tok… (suara ketukan pada jendela mobil)
“Ayo medun!” “(Ayo turun!)” suara Abuya membangunkan Fajar dari lamunannya.
“Astaghfirullahal’adhzim, inggih, bah.” “(Astaghfirullahal’adhzim, baik, bah.)” ia sontak terkejut karena Abuya ternyata sudah turun lebih dahulu sebelum ia membukakan pintu. Segera ia keluar dari mobil menyusul Abuya yang sudah berjalan lebih dahulu menuju gubuk kayu yang ada di pinggir lahan.
“Lungguh kene karo aku!” “(Duduk sini sama aku!)” perintah Abuya kepada Fajar sambil menunjuk tempat kosong di samping beliau. Fajar pun ikut duduk bersebelahan dengan Abuya.
Sore hari yang mulai menyorotkan warna jingganya kala itu membuat suasana jauh berbeda. Angin bernafas pelan memberi pelukan hangat, mengiring burung-burung pulang menuju peraduannya. Langit memberi senyuman hangat pada siapa saja yang memandangnya. Matahari mulai tak tahan lagi menahan rasa kantuk, sedang menunggu bulan menggantikan posisinya menemani bumi. Suasana yang sungguh sayang apabila terlewatkan. Di saat itu juga Fajar memandangi diri Abuya terlihat jauh lebih segar, jiwa mudanya terasa kembali membawa semangat baru menghilangkan lelah perjuangannya selama ini. Melihat dan bisa duduk dekat dengan Abuya membuat Fajar merasakan hatinya yang selama ini terasa gersang tiba-tiba dihujani dengan rasa tenang yang begitu dalam. Tak pernah ia merasakan pikirannya bisa sebebas ini tanpa beban. Semua yang membuat pikirannya kalut lebur begitu saja, sama sekali tidak meninggalkan jejak.
“Panggonan iki ndue cerito akeh, le.” “(Tempat ini punya banyak cerita, nak.)”
dengan suara tenang Abuya membuka pembicaraan. Fajar hanya membalas dengan anggukan menunggu kalimat lain yang akan Abuya ucapkan.
“Ono sejarah dowo sing ngancani panggonan iki sing teko saiki abadi lan bakal dadi tujuanku, le” “(Ada sejarah panjang yang menemani tempat ini yang sampai saat ini abadi dan akan menjadi tujuanku, le.)” kata-kata yang tertutur tidak tersampaikan dengan baik, sehingga Fajar semakin dibuat bingung dengan apa yang sebenarnya beliau maksud.
“Ndisek aku ndue inten loro sing ra iso diijoli karo opo-opo, ning aku dewe sembrono mangkane aku kelangan loro-lorone ning kene. Ana wong sing ra kepingin inten loro iku ana ing dunyo iki. Ketimbang aku kudu kelangan inten-intenku, aku pilih ikhlas yen loro-lorone tak wehno wong liyo supoyo iso dijogo lan diramut, le.” “(Dulu aku punya dua berlian yang tidak bisa ditukar dengan apapun, tapi aku sendiri ceroboh makanya aku kehilangan dua
duanya di sini. Ada orang yang tidak ingin kedua berlian itu berada di dunia. Daripada aku harus kehilangan berlian-berlianku, aku memilih ikhlas jika keduanya kuberikan kepada orang lain untuk dijaga dan dirawat, nak)” pelan beliau bercerita tentang tempat itu. Nadanya terisak tak sanggup menguak rahasia dalam di balik luasnya tanah tak berjejak itu. Fajar hanya mengangguk pelan dengan saksama terus mendengarkan Abuya bercerita. Fajar merasa seperti sedang menangkap kenangan lama dalam memori otaknya. Hatinya seakan memanas ikut merasakan gejolak yang penuh dengan tanda tanya. Hingga kemudian Abuya terdiam lama tak mampu melanjutkan kisah yang sebenarnya.
Adzan maghrib pun berkumandang dari surau memanggil jiwa-jiwa yang lelah untuk pergi mengadu dan berserah.
“Golek masjid, sholat disek” “(Cari masjid, sholat dulu)”
“Inggih, bah” “(Baik, bah)”
Seusai berjama’ah di masjid daerah setempat, Fajar memilih menunggu Abuya di luar sambil beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Kembali ia terfikirkan teka teki dari Abuya, kemanakah jawabannya nanti akan bermuara. Belum sempat kakinya keluar dari pintu masjid, tiba-tiba dirinya mematung seperti tersambar petir di malam yang cerah itu. Kedua matanya berembun menyaksikan apa yang ada dihadapannya, jantungnya berdegup kencang seperti berlari ribuan kilometer, detik itu juga pikirannya berhenti bekerja seakan tak percaya ini benar-benar terjadi. Tanpa berpikir lama ia berlari sebelum kehilangan kembali.
Dengan sigap ia menghadang seseorang yang sedari tadi memenuhi sorot pandangnya.
“MENTARI….” seperti menjemput mimpi yang selama ini ia nanti. Fajar sontak memeluk erat Mentari, mengutarakan rasa rindu yang lama terbelenggu. Tak henti-hentinya hatinya mengucap rasa syukur pada Yang Kuasa telah menjawab semua harapannya. Matanya pun basah tak mampu membendung rasa haru.
“Mentari kangen kak Fajar, Mentari ketakutan di sana” Mentari ikut terisak tak menyangka di hari itu dirinya mendapatkan keajaiban.
“Kemana selama ini kamu, Tar? Semua orang khawatir sama kamu.”
“Aku ndak apa-apa, kak.”
“Tapi kamu ketakutan, Tar?”
“Iya, Mentari ndak apa-apa. Mentari hanya takut kalau sampai gagal menemukan kebenaran untuk kita, kak.”
“Maksutmu apa?”
“Udah lama Tari pergi tapi hanya dapat satu petunjuk, kak. Tari pergi ke Banyuwangi untuk mencari tahu siapa sebenarnya kita dan kemana orang tua kita. Di sana ada adik Bapak yang tau rahasia tentang kita. Sebenarnya, Bapak Husain dan ibu bukanlah orang tua kandung kita. Tari buktikan sama surat kecocokan DNA ini.” Ia menyodorkan sebuah amplop kepada
Fajar. Fajar pun membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ia membuka surat itu dan membacanya dengan saksama.
“Dan kak Fajar harus tau kalau kita ini adalah dua intan yang hilang, kakak lihat di balik suratnya,” Mentari mencoba meyakinkan Fajar dengan menunjukkan sesuatu yang lain dalam surat itu.
“Dua intan…?” Fajar mencoba berpikir lama dan menelaah. Perkataan Mentari tak terasa asing di telinganya. Dahinya berkerut memikirkan ada sesuatu yang salah di sini.
“Abuya…. Kita harus tanya sama Buya” Fajar seakan menemukan jalan terangnya.
“Mentari bener, le.” belum sampai pergi, Abuya datang tiba-tiba di antara mereka berdua, memecahkan kebingungan keduanya. Ternyata Abuya sudah berdiri sejak lama bersama mereka namun tak mereka sadari.
“Kak, apa hubungannya sama Buya?” tanya Mentari tak mengerti keadaan sebenarnya.
Fajar tertunduk diam di hadapan Abuya. Hatinya terheran, selama itukah rahasia besar terpendam tanpa ada yang tau dan tak percaya itu dilakukan oleh orang yang selama ini sangat ia hormati.
“Artinya, Abuya lah pemilik sebenarnya kedua intan itu,” terang Fajar tanpa penjelasan lagi kepada Mentari.
“Iku kabeh bener, awakmu kabeh kui anak-anakku. Aku lan Ibu ora kepingin anak anake direbut, ora ikhlas anak-anake diwehno ing wong sing salah. Mbiyen ana wong sing pengin nggarai awakmu kabeh ciloko. Yen diterus-terusne Buya lan Ibu iso kelangan awakmu kabeh” “(Itu semua benar, kalian berdua adalah anak-anakku. Aku dan Ibu tidak ingin anak anaknya direbut, tidak ikhlas anak-anaknya diserahkan orang yang salah. Dulu ada orang ingin membuat kalian berdua celaka. Kalau diteruskan Abuya dan Ibu bisa kehilangan kalian berdua,)” suara parau Abuya membuat hati mereka berdua tersayat hebat menerima kenyataan yang pahit. Semua terdiam mendengar kesaksian dari Abuya. Dua dilema yang memenuhi ruang hati keduanya. Siapa yang harus disalahkan kalau ini semua adalah bagian dari serangkaian rencana Tuhan dan bagaimana menerima dengan lapang sesuatu yang sudah lama hancur.
“Tari… Fajar…wangsul ning ndalem yo, nak?” “(Tari…Fajar…ikut Buya pulang ke rumah ya, nak?)” pinta Abuya penuh harap keluarganya bisa utuh kembali.
Fajar dan Mentari tak sanggup menahan kesedihannya. Ternyata ada rindu lain yang selama ini menanti untuk terbalas. Keduanya tidak pernah menyadari ada doa tulus dari kejauhan yang setia berlabuh untuk mereka. Kasih sayang Abuya dan Ibu selama ini menanti lama untuk dilimpahkan, menunggu dua intan yang lama terpendam bersinar kembali menerangi karakter manusia yang mulai meredup, menyambung dakwah Islam yang mereka perjuangkan. Fajar dan Mentari seakan menerima hadiah lama yang sekalipun belum pernah mereka impikan. Sangkaan yang tak pernah ada dalam hati Fajar dan Mentari bahwa dalam diri mereka mengalir darah seorang alim.
Memandang sorot mata teduh dari seorang ayah kandung di hadapan mereka yang ternyata selama ini selalu ada membuat hati Fajar dan Mentari tidak bisa menahan diri untuk cepat-cepat menceritakan hari-hari mereka layaknya seorang anak. Mereka segera menuju kepada Abuya, memeluknya dengan hangat. Malam itu menjadi saksi utuhnya sebuah keluarga, malam di mana Fajar dan Mentari merasakan kasih sayang pertama orang tua kandung mereka. Malam yang menjadi saat-saat penting di saat sebuah takdir tidak pernah salah berlabuh. Yang dirasa jauh ternyata sangat dekat dengan hati dan yang terasa mustahil ternyata mudah untuk terkabulkan.