Kedekatan Bung Tomo dan KH Hasyim Asy’ari 

0

Jelang puncak pertempuran 10 Nopember 1945 Bung Tomo, jurnalis RRI telah beberapa kali bertemu dengan KH Hasyim Asyari,Rois Akbar HBNO.Bung Tomo dalam setiap pidatonya menyematkan pekik kata takbir “Allahu Akbar!!!” dengan penuh ledakan semangat. Kata “Allahu Akbar” yang berarti Allah maha besar itu, disematkan Bung Tomo dalam setiap pidatonya, karena terinspirasi dari Kiai Hasyim Asyari.

DI TENGAH pertempuran yang tak seimbang itu, para pejuang kemerdekaan dan rakyat tak surut langkah sedikitpun. Semangat mereka terus berkobar untuk melenyapkan para penjajah, meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan keris.

 

Sehari sebelumnya, suara menggelegar dari Bung Tomo, disiarkan langsung melalui radio-radio. Pidato berapi-api itu, membakar semangat semua elemen anak bangsa untuk turun ke gelanggang perang, menghadang tank-tank musuh, dan mortir-mortir yang dimuntahkan dari meriam-meriah besar.

 

 

Suara Bung Tomo memekikkan kata “Merdeka!!!” menggerakan ribuan anak muda untuk angkat senjata. Namun siapa sangka, keberanian Bung Tomo membakar semangat para pejuang itu, juga tak luput dari peran Kiai Hasyim Asyari.

 

Dalam setiap menutup pidatonya yang berapi-api, Bung Tomo selalu menyematkan pekik kata takbir “Allahu Akbar!!!” dengan penuh ledakan semangat. Kata “Allahu Akbar” yang berarti Allah maha besar itu, disematkan Bung Tomo dalam setiap pidatonya, karena terinspirasi dari Kiai Hasyim Asyari.

 

Pekikan takbir di setiap penutup pidato Bung Tomo, tak hanya memantik semangat para kaum muslim saja. Rakyat dan pejuang yang tak beragama Islam pun, tergetar dan tumbuh semangat untuk bertempur bertaruh nyawa menghadapi pasukan musuh.

 

Bung Tomo selalu memekikkan takbir di akhir pidatonya, atas saran Kiai Hasyim Asyari. Kedekatan Bung Tomo dengan kiai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, sudah terjadi cukup lama, yakni sejak Bung Tomo menjadi wartawan kantor berita Jepang, Domei.

 

Aktivitasnya sebagai wartawan, membuat Bung Tomo memiliki hubungan dengan dengan keluarga pendiri NU tersebut. Saat-saat situasi genting terjadi di Surabaya, Bung Tomo acap kali datang ke kediaman Kiai Hasim Asyari untuk meminta nasihat.

 

Hubungan dengan keluarga Pondok Pesantren Tebuireng tersebut, semakin menguat saat Bung Tomo direkomendasikan oleh Kiai A Wahid Hasyim, dan Bung Hatta, untuk masuk ke dalam Gerakan Rakyat Baru sebagai pengganti Jawa Hokoo Kai (Kebaktian Jawa).

 

Dalam buku “Kiai Hasjim Asjari Bapak Umat Islam Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1950, disebutkan bahwa Bung Tomo, dan Jenderal Besar Sudirman beberapa kali bertandang ke Tebuireng, untuk bertemu Kiai Hasyim Asyari.

 

Saat bulan puasa Ramadhan, tepatnya tanggal 21 Juli 1947, sekitar pukul 21.00, Bung Tomo mendatangi kediaman Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Tak sendirian, Bung Tomo datang bersama utusan Jenderal Sudirman, yang menyampaikan sepucuk surat penting terkait aksi-aksi milter Belanda di wilayah Jawa Timur.

 

Beberapa hari kemudian, Bung Tomo kembali menemui Kiai Hasyim Asy’ari, untuk melaporkan kondisi di wilayah Karesidenan Malang, di mana serangan militer Belanda, mengakibatkan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang gugur. Dalam pertemuan ini, Bung Tomo juga menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman, yang isinya memohon kepada Kiai Hasyim Asy’ari agar mengeluarkan komando Jihad Fi Sabilillah.

 

 

Kedekatan-kedekatan inilah, yang membuat Bung Tomo selalu membakar semangat dengan Takbir. Hal itu dapat dilihat dari pidatonya yang berapi-api menjelang pertempuran besar 10 November 1945. Pidato itu hingga kini masih terngiang di seluruh sanubari rakyat Indonesia:

 

Dialog aktual antara Bung Tomo dan KH Hasyim Asy’ari tidak tersedia dalam rekaman sejarah secara verbatim. Namun, sejarah mencatat adanya hubungan yang sangat erat dan peran krusial KH Hasyim Asy’ari melalui fatwa “Resolusi Jihad” yang menginspirasi semangat perjuangan Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo pada Pertempuran 10 November 1945.

Pertemuan kedua tokoh tersebut mengenai makna pahlawan dan perjuanganl di sebuah ruangan sederhana di markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya, tak lama setelah fatwa Resolusi Jihad dikumandangkan dan menjelang pertempuran besar.

 

Bung Tomo sosik pemuda, penuh semangat, dan fokus pada aksi nyata di lapangan menemui

KH Hasyim Asy’ari , pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan juga adalah Rois Akbar Nahdlatul Ulama yang sosoknya lebih tenang, berwibawa, dan memandang perjuangan dari sudut pandang spiritual dan kebangsaan yang mendalam.

 

Dialog Dimulai oleh Bung Tomo: (Dengan langkah tegap dan suara penuh tekad),” Kiai, fatwa jenengan (Anda) benar-benar membakar semangat kami! Rakyat, santri, semua siap “Merdeka atau Mati!”

KH Hasyim Asy’ari tersenyum teduh,” Alhamdulillah, Tomo. Itu adalah kewajiban kita sebagai umat Islam dan warga bangsa yang mencintai tanah airnya. Penjajahan itu haram, dan melawannya adalah jihad”. “Tapi, Kiai, ribuan nyawa bisa melayang. Surabaya akan menjadi lautan api. Apakah pengorbanan sebesar ini sepadan?,”

KH Hasyim Asy’ari menghela napas perlahan,”Setiap perjuangan pasti meminta korban, Tomo. Pahlawan sejati bukanlah dia yang menghindari kematian, melainkan dia yang ikhlas mengorbankan jiwa raganya untuk tegaknya kemerdekaan dan martabat bangsa, demi generasi mendatang dapat hidup damai dalam naungan bendera Merah Putih.”

Bung Tomo mendengarkan dengan saksama,” Jadi, pahlawan itu bukan sekadar soal keberanian di medan perang, Kiai?”. ” Bukan. Keberanian adalah bagiannya. Pahlawan juga adalah mereka yang berjuang dengan ilmu dan akhlak, mereka yang membangun jiwa raga bangsa melalui pendidikan dan nilai-nilai agama, seperti di pesantren-pesantren kita. Perjuangan fisikmu di medan laga harus dilandasi oleh perjuangan moral dan spiritual untuk menjaga persatuan umat dan keutuhan NKRI,” tukas KH Hasyim Asyari.

Bung Tomo lalu menatap Kiai dengan hormat,” Benar, Kiai. Semangat “Allahu Akbar” yang saya kumandangkan di radio adalah simbol bahwa perjuangan kita bukan hanya ambisi duniawi, tapi juga panggilan suci.”

“Tepat sekali, anak muda. Teruslah kobarkan semangat itu, tapi jangan lupakan akarnya. Pahlawan adalah orang yang tindakannya menginspirasi orang lain untuk mewujudkan cita-cita yang lebih besar dari dirinya sendiri,” jawab KH Hasyim Asyari.

Bung Tomo mengangguk mantap.”Saya mengerti, Kiai. Kami akan berjuang habis-habisan. Terima kasih atas nasihat dan restu jenengan.”

KH Hasyim Asy’ari menjawab,”Pergilah, Tomo. Allah bersamamu dan bersama para pejuang yang ikhlas. Merdeka!”

Bung Tomo menukas.” Merdeka!”

Lalu berpamitan dan bergegas pergi untuk memimpin pasukannya.

 

Gema suara pidato Bung Tomo berkumandang di Radio membangkitkan dan semangat perjuangan Rakyat melawan Belanda jelang pertempuran 10 Nopember 1945..

 

“Merdeka!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.

 

Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka saudara-saudara.

 

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

 

Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung. Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.

 

Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya. Saudara-saudara kita semuanya.

 

 

Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

 

Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian. Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu.

 

Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun juga.

 

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak, Baru kalau kita ditembak, Maka kita akan ganti menyerang mereka itu kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

 

Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

***

 

Hubungan Bung Tomo dengan Hasyim Asy’ari sebenarnya juga diungkapkan oleh Alkarhanaf dalam buku Kiai Hasjim Asj’ari Bapak Umat Islam Indonesia. Dalam buku ini, Alkarhanaf menyebut bahwa Bung Tomo dan Jenderal Soedirman kerap berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng.

Buku tersebut juga mengungkap bahwa sebelum Hasyim Asy’ari meninggal dunia, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman sempat mengirim utusan untuk menyampaikan informasi terkait Agresi Militer Belanda I.

Majalah Tempo menyebut bahwa utusan tersebut memberikan laporan kepada Hasyim Asy’ari bertepatan dengan hari ketujuh bulan Ramadan. Biasanya, Hasyim Asy’ari akan memberikan pengajian usai salat tarawih, tetapi ketika mengetahui utusan Bung Tomo hadir, Hasyim Asy’ari menghentikan pengajian dan meninggalkan masjid.

Ketika diberi penjelasan oleh utusan Bung Tomo di dalam rumahnya, Hasyim Asy’ari langsung ambruk dalam kondisi lunglai. KH Hasyim Asy’ari terus-menerus mengucap kalimat “Masya Allah.”

Tak lama setelah itu, Kiai Hasyim Asy’ari dikabarkan wafat pada 25 Juli 1947. Karena dalam kondisi Agresi Militer Belanda 1, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman tidak dapat menghadiri pemakaman Hasyim Asy’ari. Namun, keduanya diketahui mengirimkan telegram berisikan duka cita. (Aji Setiawan, aktivis NU Pekalongan).

Leave A Reply

Your email address will not be published.