Antara Al-Khoziny dan Al-Hamdaniyah

0

Canda dan kelakar santri terhenti sejak suara dentuman keras disertai teriakan menggema beberapa saat. Tak percaya dan ternganga sejumlah santri menyaksikan bangun besar itu roboh. Bangunan masjid Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, itu roboh waktu Asar, Senin, 29 September 2025.

Pilu dan tangis menyayat serta hiruk pikuk yang kemudian terjadi. Pemerintah turun tangan. Senin senja itu menjadi senin kelabu yang menyayat. Wali murid berdatangan. Hingga lewat sepekan, tim SAR berhasil mengevakuasi 171 korban yang terdiri atas 104 orang selamat dan 67 meninggal dunia, termasuk delapan bagian tubuh.

Bangunan diduga mulai runtuh dari lantai bawah saat ada pengecoran. Sebelum insiden terjadi, lantai tiga bangunan yang sedang dibangun dalam waktu sembilan hingga 10 bulan terakhir, masih dalam proses pengecoran. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib, bangunan ambruk tepat ketika pengecoran selesai. Bangunan ini akan dibangun sampai empat lantai dengan atap dak. “Lantai bawah memang sudah dipakai untuk salat,” kata dia.

 

Salah satu santri bernama Muhammad Zahrawi menyebut bangunan musala ambruk saat ia masih berada di toilet. Dia segera melarikan diri setelah melihat bangunan lantai empat ambruk dari sisi bawah.

“Biasanya yang salat itu sampai 300-an. Kalau full itu bisa 500-an. Tapi tadi belum full yang salat,” kata seorang santri yang selamat dengan nada sendu. Menurut seorang santri, insiden terjadi saat dia sedang menunggu salat jemaah.

Mengagetkan. Sontak orang membayangkan sebuah pesantren tua yang terletak di daerah Sidoarjo, tak jauh dari Surabaya, yang dibangun di akhir abad 18. Yaitu Pondok Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo.

Kini nama pesantren itu bernama Al-Hamdaniyah mengambil nama dari pendirinya KH Hamdani yang masih keturunan ke 27 dari Rasulullah. Dia berasal dari Pasuruan yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kiai-kiai di Pasuruan termasuk Sidogiri. Mbah Hamdani masih cucu Mbah Slagah alias Mbah Hasan Sanusi tokoh abad 17.

 

Kali Siwalan Panji

Benar keduanya masih ada hubungan kekerabatan. Jarak antara Alhamdaniyah dengan Al-Khoziny hanya sekitar 300 meter dan melangkah sungai Siwalan Panji. Jika Al-Hamdaniyah terdapat di Jalan Karomah Hamdani, sementara Al-Khoziny terletak di jalan KHR Abbas. Nama KHR Abbas adalah putera KH Khozin. Abbas adalah pengasuh pertama pesantren itu.

Pesantren Al-Hamdaniyah, yang terletak di Desa Siwalanpanji, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, merupakan salah satu pesantren yang memiliki sejarah panjang di Jawa Timur. Pesantren ini didirikan pada 1787 M oleh KH Hamdani. Ia lahir di Pasuruan pada 1720 M. Ia dikenal sebagai seorang kiai yang tidak mementingkan urusan duniawi, ahli ibadah, dan wara’. Ia adalah putra dari Murroddani bin Sufyan bin Khasan Sanusi bin Sa’dulloh bin Sakaruddin bin Mbah Sholeh Semendi Pasuruan.

Dari berbagai sumber dikisahkan, pesantren ini berdiri setelah Kiai Hamdani hijrah dari Pasuruan ke suatu daerah sebelah timur laut kota Sidoarjo. Awalnya, daerah tersebut masih berupa rawa-rawa. Kiai Hamdani melakukan riyadhah dahulu di daerah tersebut. Bermunajat agar daerah tersebut kelak ditinggikan oleh Allah dan menjadi kawah candradimuka dan mercusuar ilmu. Doa itu dikabulkan Allah. Daerah yang dulunya rawa-rawa akhirnya berubah menjadi daerah yang subur dan bisa didirikan pesantren. Bahkan daerah itu kini menjadi wilayah padat penduduk.

BACA JUGA

Kiai Hamdani lahir 1720 dan menikah tahun 1770 di Pasuruan. Kiai Hamdani adalah seorang ulama yang dikenal karena ketekunannya dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sidoarjo dan sekitarnya. Sebagai seorang yang berkomitmen terhadap pendidikan agama, ia mendirikan pesantren dengan tujuan untuk mencetak santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga berakhlak mulia dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat yang tengah digenggam penjajah Belanda itu.

Seiring berjalannya waktu, pesantren ini terus berkembang dan menarik minat banyak santri dari berbagai daerah. Pengembangan pesantren ini tidak terlepas dari peran keturunan Kiai Hamdani yang terus melanjutkan perjuangan beliau dalam bidang pendidikan. Generasi penerus Kiai Hamdani berhasil mempertahankan dan memperluas pesantren ini, baik dari segi jumlah santri, fasilitas, maupun kurikulum yang diajarkan.

Kini, Pesantren Al-Hamdaniyah dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam yang cukup berpengaruh di Sidoarjo, dengan berbagai program pendidikan yang mencakup pendidikan formal dan non-formal, serta kegiatan-kegiatan sosial yang berperan penting dalam membangun masyarakat sekitar.

Kiai Hamdani wafat 1845 dalam usia 125 tahun. Pengasuhan digantikan KH Abdurahim yang lahir 1790 dan lantas KH Ya’qub yang lahir 1820. Di masa inilah pesantern ini mengalami kegemilangan. KH Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asyari nyantri di sini. Bahkan KH Hasyim Asyari kemudian dinikahkan dengan puteri Kiai Ya’qub.

Selain menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia, Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah ini telah banyak melahirkan ulama-ulama besar pendiri NU di negeri ini. Pondok ini telah banyak melahirkan ulama-ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama seperti KH M Hasyim Asy’ari, KH Asy’Ad Samsul Arifin, KH Ridwan Abdullah pencipta lambang Nahdlatul Ulama, KH Alwi Abdul Aziz, KH Wahid Hasyim, KH. Cholil, KH. Nasir (Bangkalan) KH.Wahab Hasbullah, KH. Umar (Jember), KH. Usman Al Ishaqi, KH. Abdul Majid (Bata-bata Pamekasan), KH. Dimyati (Banten), dan lain-lain.

Selain banyak melahirkan ulama besar, pesantren yang terletak di desa Siwalan Panji Buduran Sidoarjo itu terbilang pesantren tertua di Jawa Timur setelah pesantren Cangaan Bangil dan Sidogiri Pasuruan. Untuk mengenangnya, hingga saat ini kamar pendiri Nahdlatul Ulama di pesantren Al-Hamdaniyah itu masih tetap terawat seperti dahulu. Saat Seabad NU di Sidoarjo pesantren ini banyak mendapat kunjungan Nahdliyin.

Pada zaman perjuangan pondok pesantren ini juga dijadikan tempat pertemuan para tokoh baik nasionalis dan agamis. Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo, Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah pernah rapat di sini yang pada akhirnya melahirkan Laskar Hizbullah.

Menurut riwayat, pada waktu KH. Hamdani membangun Pondok, dia mendatangkan kayu dari daerah Cepu Jawa Tengah dengan dinaikkan perahu besar. Namun ditengah jalan perahunya pecah berantakan. Akan tetapi Allah Maha Besar, kayu-kayu tersebut berjalan sendiri melewati sungai dan berhenti persis di depan area Pondok.

Wafat Kiai Yaqub tahun 1910, pesantren digantikan Kiai Khozin (menantu kiai Yaqub) yang lahir di Mojosari 1875. Ia menikah dengan Fathmah binti Ya’qub dan dikaruniai seorang anak bernama Abbas. Tapi, sang isteri meninggal dunia di Mekah saat haji tak lama berselang. Kiai Khozin lantas menikah lagi dan memiliki banyak anak.

Untuk mengembangkan pesantrennya Kiai Khozin melirik tanah kosong di sebelah barat pondoknya. Pesantren itu disiapkan untuk anaknya KHR Abbas yang baru pulang belajar di Mekah selam 10 tahun. Tahun 1925 Pesantren Al-Khoziny berdiri dan diasuh KHR Abbas yang juga cicit kiai Hamdani. Tahun 1955 Kiai Khozin wafat dan tercatat sebagai mengasuh Al-Hamdaniyah.

Meskipun pernah mengalami masa sulit tanpa santri tahun 1960-an sampai pernah disindir KH Idham Khalid dalam pidato di Lasem tahun 1972, namun kemudian bangkit perlahan. Kiai Faqih Hasyim, Kiai Muhyiddin Khozin, KH. Sholeh Hasyim, KH. Basuni Khozin dilanjutkan KH. Abdulloh Siddiq dan KH. Haiyi Asmu’i bekerja keras menghidupkan.

Derita yang dialami Al-Khoziny membuat Al-Hamdaniyah ikut berurai air mata. (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.