Malam Singkat dengan Kakek

0

Oleh: Arya Maulana Anwar

(Pondok Pesantren Attaufiiqiyyah, Grobogan, Jawa Tengah)

 

Pada satu kisah,di suatu malam,tiga remaja pria tengah menikmati malamnya dengan begitu bahagia. Mereka bercanda ria, tertawa bersama di pos ronda pinggir desa yang telah sepi.

“Setelah lulus kamu mau ke mana, Rud?” tanya salah satu dari mereka.

“Masih netep di pesantren, disuruh sama Bapak netep,” jawab Rudi dengan pandangan menerawang ke langit gelap.

“Kalau kamu, Yog?” tanyanya kembali pada satu orang yang lain di sampingnya.

“Keluar, Zah. Mau bantuin orang tua. Kasihan Bapakku… cari nafkah sendirian. Tak ada yang bantuin,” jawab Yoga.

“Bagaimana kalau kamu, Zah? Nantinya kamu mau ke mana?” tanya balik Rudi pada Hamzah yang mengawali pertanyaan tadi.

“Tanpa menunggu lama! Aku langsung keluar nantinya. Tak tahan sama program pondok sini aku,” jawab Hamzah sedikit ngotot.

“Kalau masalah kuat atau enggaknya, sebenarnya aku juga nggak kuat, Zah,” gumam Rudi menjawab Hamzah.

“Lagian pesantren banyak programnya. Ada sehari wajib satu kali ngaji, sebulan empat kali harus ngaji seperempat juz, tambah-tambah keputusan baru dari yayasan, dua bulan harus bisa ngaji lima juz. Tasmi’! Buat pusing kepala,” gerutu Yoga menyambung ucapan Rudi.

“Hmmm, entah kita yang tertekan atau Pak Yai yang menekan. Rasanya kita terlalu naif untuk melakukan semuanya,” sambung Hamzah menambahi Yoga.

“Kalian juz berapa sekarang?” tanya Rudi menoleh pada kedua temannya yang telah merebahkan diri.

“Juz 8.”

“Juz 10.”

“Apa nggak sayang, sudah banyak yang kalian hafalkan. Lantas, kalian tinggal begitu saja?” “Bukan banyak juznya yang jadi masalah, Rud,” jawab Yoga mulai serius.

“Tapi tuntutan program yang memaksa untuk lebih,” tambah Hamzah.

أَلََ لََ تَنَالُ الْعِلْمَ إِ الَ بِسِتا „ة سَأُنْبِيكَ عَنْ مَجْمُوعِهَا بِبَيَا „ن

Terdengar dari ujung jalan yang gelap, suara berat khas kakek-kakek melafalkan nadhom yang familiar di telinga mereka bertiga.

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَا „ذ وَطُولُ زَمَا „ن

Terlihat kakek tua dengan baju hitam lengan pendek yang lusuh, celana putih kebesaran, jenggot dan kumis putih yang memanjang serta wajah bersih. Begitu tenang ketika dilihat. Dirinya

melangkah santai menuju tiga anak muda tersebut.

“Bukan kegiatan kalian yang salah. Tapi diri kalianlah yang sebenarnya salah,” ucap kakek misterius tersebut, mendudukkan dirinya di samping Hamzah.

“Siapa kakek ya…?” tanya Yoga dengan raut curiga.

“Kakek dari mana? Apa nggak dingin keluar rumah malam-malam?” selidik Hamzah curiga pada sang kakek.

“Dari mana dan siapa kakek… kalian tak perlu tahu,” jawab kakek dengan tersenyum.

“Adanya kegiatan yang diadakan oleh kyai kalian sebenarnya bukan tuntutan,” lanjutnya menambahi.

“Lantas jika bukan, lalu apa, Kek?” tanya balik Hamzah merasa tak terima.

“Keikhlasan kalianlah yang belum sempurna terbentuk,” ucap kakek menghadapkan dirinya pada Hamzah dan teman-temannya.

“Tidak ada senjata yang berguna jika tidak ditempa. Tidak ada kayu yang halus jika tidak diamplas. Tidak menjadi patung jika tidak diukir. Begitu juga kalian.” Hamzah dan teman-temannya takzim menyimak ucapan-ucapan kakek.

“Tidak ada senjata yang rela; ikhlas untuk ditempa dan dipanaskan. Sama halnya kayu, yang ikhlas jika dirinya diamplas halus. Tak akan sempurna jika tidak dipahat dan diukir berkali-kali untuk

menjadi patung.”

“Tapi itu kan hanya benda, Kek. Tak ada sangkut pautnya dengan kita,” bantah Yoga dengan lancang, yang kemudian mendapat hadiah tonjokan ringan dari Hamzah.

“Anggap saja kalian senjata itu, kayu itu, dan patung itu. Semua kegiatan yang kalian kira sangat menuntut adalah tempanya, amplasnya, dan pahatannya. Semua akan sempurna pada prosesnya masing-masing.”

***

Gerimis mengguyur desa beserta sepoi angin yang dingin. Udara malam yang membuat semua masyarakat desa semakin terlelap nyaman dengan tidurnya, celotehan burung hantu beserta

dengungan serangga, membawa mereka bertiga pada renungan batin masing-masing.

“Tak salah jika manusia merasa lelah, tapi akan salah jika mereka memilih untuk menyerah pada tujuan mereka masing-masing,” ucap kakek kembali pada mereka.

“Benar… Kek,” ucap mereka serentak.

“Kau, tahu arti mimpi?” tanya kakek spontan pada Rudi.

“Sebuah angan-angan manusia, benar kan, Kek?” jawab Rudi ragu.

“Ya. Sekarang kau, apa maksud dari harapan?” tunjuk kakek pada Hamzah kemudian. “Keinginan seseorang dengan dasar nurani hati,” jawab Hamzah tanpa ragu.

“Hmm. Juga tujuan, apa itu?” tunjuknya pada Yoga.

“Hampir sama dengan harapan, namun jika tujuan juga bersama tindakan,” jawab Yoga hati-hati. “Kalian benar. Namun, apakah ada keterkaitan antara ketiganya?” tanya kakek kembali.

“Ada,” jawab mereka serentak.

“Mimpi, harapan, tujuan,” ucap kakek dengan menerawang jauh ke langit gelap penuh rintik hujan.

“Semua saling berhubungan. Dengan mimpi, kalian tahu dari mana awal yang kalian inginkan. Dan harapan kalianlah pendorongnya, hingga akhirnya kalian tahu bahwa semua itu adalah tujuan

kalian.”

Ketiganya serentak menganggukkan kepala mendengar nasihat kakek, seakan paham dan mengerti apa yang dimaksud.

Gerimis perlahan turun beserta kesiur angin yang begitu dingin. Masing-masing dari mereka

tenggelam dalam lamunan. Ucapan kakek begitu membius lubuk hati. Batin mereka tergolak lewat kalimat-kalimat indah penuh makna.

“Ngajio kerono ilmu mahesi ing ahline, lan ngunggulake lan dadi tondo tingkah pinuji,” lantun kakek dengan penuh penghayatan.

“Kalian tahu maksudnya?”

Serentak mereka menganggukkan kepala, paham dengan senandung nadhom kakek barusan.

“Mengajilah kalian, karena sesungguhnya ilmu itu akan menjadi hiasan bagi pemiliknya, juga menjadi keutamaan serta tanda setiap hal yang terpuji.”

“Tetaplah mengaji! Apa pun yang kalian hadapi, meskipun berat, hadapilah. Tak akan ada yang tak mungkin jika kalian bersama semangat,” madah kakek kembali.

“Ucapan kakek memang ada benarnya. Semua ini tak lain hanya rasa malas yang hebat menguasai,” ucap Hamzah mulai sadar, juga disertai anggukan Rudi dan Yoga.

“Ingat baik-baik tadi semua pesan kakek. Jiwa bangsa ini nantinya hanyalah kalian,” ucap kakek seraya bangkit untuk berdiri.

“Kakek mau ke mana?” tanya Yoga seakan tak ingin kehilangan kakek dari sana.

“Sama seperti kalian, mengejar mimpi…” Kini kakek sempurna bangkit dan berdiri menghadap Hamzah, Rudi, dan Yoga. Kakek dengan lembut tersenyum.

“Kegagalan yang sebenarnya adalah jika kalian berhenti berusaha atau menyerah. Teruslah gapai apa yang tak mungkin di hidup kalian.” Halus, begitu merasuk di dalam kalbu mereka bertiga

ucapan kakek.

Dengan langkah tenang, kakek pergi meninggalkan mereka bertiga. Hamzah, Rudi, dan Yoga berdiri menyaksikan kepergian kakek yang perlahan hilang ditelan kegelapan malam. Irama

nadhom Alala terdengar sayup-sayup bersama angin malam yang membawanya, kemudian perlahan menghilang beserta menghilangnya kakek dari pandangan.

***

Pada akhir yang bahagia, 28 tahun kemudian, senja menghias langit begitu cerah. Tampak indah dengan matahari yang menyerupai lukisan. Sekelompok burung terbang kembali pulang menuju

sarangnya. Kesiur angin berembus pelan menggoyangkan tangkai padi yang telah berisi. Sebagian petani keluar dari sawahnya dan berjalan bersama, juga dengan petani lainnya kembali ke rumah mereka masing-masing.

Di masjid tengah desa, berkumpul tiga orang dengan setelan pakaian yang terlihat berbeda. Satu mengenakan pakaian muslim sederhana, satu lagi mengenakan pakaian muslim dengan sorban

terkalung di lehernya, dan yang terakhir tampak paling berbeda: setelan jas hitam melekat rapi pada tubuhnya. Ketiganya tampak riuh bercerita. Mereka tertawa, bercanda, dan saling melempar

gurauan. Seperti karib yang baru saja bertemu.

“Bagaimana kabar bisnismu, Yog?” tanya yang mengenakan pakaian muslim sederhana kepada laki-laki berjas hitam.

“Alhamdulillah masih lancar, Zah. Kamu Zah, NU kamu apa kabar?” balik tanya Yoga pada Hamzah.

“Kemarin sempat ada masalah tentang pendapat, tapi alhamdulillah kembali reda. Ngeri, hampir satu gedung terlibat,” cerita Hamzah dengan peragaan.

“Itu bisa selesai bagaimana ceritanya, Zah?” sahut Rudi tak ingin ketinggalan seru.

“Aku dari rumah dengar berita itu langsung berangkat. Masih pakai kaus dan celana kalau tahu. Mengumpulkan orang-orangnya, kita musyawarahkan bersama tentang masalahnya. Akhirnya sampai sekarang bisa reda, walau sulit,” kekeh Hamzah mengakhiri kalimatnya.

“Kalau kamu, sang Imam Masjid Istiqlal, bagaimana?” goda Hamzah di akhir kalimatnya. “Bagaimana apanya?” tanya balik Rudi, tidak tahu apa yang dimaksud Hamzah.

“Masjidnya masih seramai biasanya?”

“Yang adzan aku, pasti ramai lah. Mana main lah kalau yang adzan bukan aku,” sahut Rudi dengan gurauannya.

“Kalian sadar tidak, sejak kapan kita bisa jadi seperti ini semua? Kalian ingat tidak?” tanya Yoga pada teman-temannya, mengalihkan topik. Terjadi jeda agak lama saat mereka mengingat.

“Kalau tidak salah, saat kita malam-malam itu bercerita tentang rencana masa depan,” jawab Hamzah dengan wajah tak yakin.

“Oh ya… terus ada kakek datang menasihati kita tentang semangat belajar, tak pantang menyerah, dan keutamaan ilmu,” tambah Rudi.

“Sekarang kakek itu di mana ya?” tanya Yoga, entah pada siapa.

Belum selesai pertanyaan Yoga terjawab, adzan maghrib berkumandang. Mereka bangkit dari duduk untuk melaksanakan salat maghrib berjamaah sebelum mereka sambang mengunjungi pesantren

mereka, tempat mereka menuntut ilmu dahulu.

Leave A Reply

Your email address will not be published.