Metamorfosa Zahra: dari Gadis Kota Menjelajah Makna

0

Karya: Nadia Shafwah Rayyani

(Santri Pesantren Terpadu Darul Ihsan, Malang)

 

Debu beterbangan disepanjuang jalanan berlubang yang membelah perkebunan tebu. Zahra menatap nanar pemandangan dari balik kaca mobil.

Malang yang modern dengan gemerlap lampu dan pusat perbelanjaan mewah semakin menjauh, digantikan hamparan hijau yang monoton. Zahra, seorang gadis remaja yang akrab dengan gawai dan kafe kekinian, harus menghadapi kenyataan pahit ia akan dikirim ke sebuah pesantren putri. Pesantren Al- Hikmah, sebuah kompleks bangunan sederhana dengan kubah masjid yang menjulang, tampak seperti benteng terakhir yang merenggut kebebasannya. Keputusan orang tuanya terasa seperti hukuman mati bagi kebebasan masa remajanya. Rambutnya yang diwarnai kini harus tertutup kerudung, celana jins favoritnya diganti gamis sederhana, dan dentuman musik pop berganti lantunan ayat suci.

Saat mobil berhenti di depan gerbang pesantren, Zahra merasakan perutnya mulas. Ia melihat sekelompok santriwati dengan gamis dan jilbab seragam, wajah mereka tampak teduh dan

bersahaja. “Selamat datang dirumah barumu, Zahra.” ibunya berujar lembut, namun Zahra hanya bisa membalas dengan tatapan kosong.

Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Zahra kesulitan beradaptasi dengan jadwal yang ketat, aturan yang mengikat, dan suasana yang serba religius. Ia merindukan teman-temannya, musik kesukaannya, dan kebebasan untuk mengekspresikan diri. Di kelas, Zahra seringkali melamun, pikirannya melayang jauh ke dunia luar. Ia merasa seperti orang asing di tengah kerumunan. Zahra merasa seperti burung dalam sangkar, sesekali mencoba menyelundupkan ponselnya untuk sekadar melihat notifikasi dunia luar.

Sikapnya yang cenderung memberontak dan penampilannya yang masih kental nuansa kota, membuat beberapa santriwati, terutama Fatima, seorang santriwati senior yang sangat taat dan konservatif, memandang Zahra dengan curiga.

Suatu sore, ketika Zahra sedang asyik membaca buku di taman, bandana berwarna cerah yang ia kenakan sedikit menyembul dari kerudungnya. Fatima menghampirinya. “Maaf, Zahra,” ucap Fatima dengan nada yang terdengar kaku, “bukankah lebih baik kita menjaga kesederhanaan dalam berpakaian di lingkungan pesantren? Bandana itu… cukup mencolok.” Zahra hanya mendengus pelan, memilih untuk mengabaikannya.

Ketika malam hari, Zahra mencoba menyelinap keluar dari asrama untuk menelepon temannya. Namun, aksinya ketahuan oleh seorang musyrifah (pengawas asrama). Zahra dihukum membersihkan halaman pesantren selama seminggu.

Ustadzah Halimah, seorang pengajar sastra Arab yang lembut namun penuh wibawa, melihat percikan kreativitas dan potensi tersembunyi di balik sikap defensif Zahra. Ia kemudian menugaskan Zahra untuk mengelola majalah dinding pesantren. “Ini kesempatanmu untuk menyalurkan ide-idemu, Zahra. Tapi ingat, ini majalah dinding pesantren,” pesan Ustadzah Halimah dengan senyum tipis yang penuh makna.

Zahra dengan berat hati memulai tugasnya. Ia mencoba memasukkan unsur-unsur desain modern, ilustrasi yang cerah, dan bahkan beberapa kutipan dari lagu-lagu populer yang ia modifikasi agar terdengar lebih religius. Saat Zahra mempresentasikan rancangan awal majalah dinding di hadapan tim redaksi, Fatima langsung angkat bicara.

“Zahra, ini… ini terlalu modern,” kata Fatima, suaranya tegas namun tersirat kekhawatiran. “Majalah dinding kita harus lebih berbobot, lebih mencerminkan nilai-nilai pesantren. Apa kata santri lain jika melihat ini?” Beberapa santriwati lain mengangguk setuju, menguatkan argumen Fatima.

Tak lama berselang, Ustadzah Aminah, seorang ustadzah yang dikenal sangat disiplin, memanggil Zahra ke kantornya. “Zahra,” suaranya tenang namun penuh otoritas, “saya melihat semangatmu dalam mengelola majalah dinding. Itu bagus. Namun, kita memiliki batasan dan adab di sini. Kreativitas adalah anugerah, tapi harus disalurkan dengan bijak agar tidak melampaui batas kepantasan. Paham?” Zahra menunduk, merasa sangat kecil dan tidak berdaya.

Zahra merasa hancur. Kata-kata Ustadzah Aminah dan tatapan Fatima berputar-putar di kepalanya. Ide-idenya, yang ia anggap segar dan relevan, dihantam telak. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Dengan langkah gontai, ia menyelinap ke mushola yang sepi, meringkuk di pojokan, memeluk lututnya erat-erat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah, membasahi mukenanya. “Apa gunanya aku di sini? Semua yang kulakukan salah. Aku… aku tidak cocok di sini,” bisiknya lirih, suaranya tercekat.

Tak lama, sebuah sentuhan lembut mendarat di bahunya. Ustadzah Halimah duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa, hanya mengusap punggung Zahra perlahan. Kehadiran yang menenangkan itu membuat tangis Zahra semakin pecah.

“Zahra…” suara Ustadzah Halimah terdengar lembut, memecah kesunyian. “Ustadzah tahu kamu sedang kecewa sekali. Wajar jika merasa begitu, Nak.”

Zahra hanya menggeleng, enggan mengangkat wajahnya. “Aku… aku merasa tidak dimengerti, Ustadzah. Ide-ideku… selalu salah.”

Ustadzah Halimah menghela napas pelan. “Bukan salah, Zahra. Mungkin hanya belum pas. Kamu punya bakat, itu jelas sekali. Kreativitasmu itu anugerah. Tapi di sini, di pesantren, kita punya cara sendiri dalam menyalurkan anugerah itu.”

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Tantangannya sekarang, bagaimana kamu bisa menyatukan ‘dunia kota’-mu itu dengan ‘dunia pesantren’ kita? Bukan berarti harus meninggalkan salah satunya, tapi mencari titik temunya. Mencari harmoni. Ustadzah yakin, kamu pasti bisa menemukan jalan tengahnya.”

 

Ustadzah Halimah

Kata-kata Ustadzah Halimah membuka cakrawala pikiran Zahra. Ia mulai membaca lebih banyak buku-buku Islam, mencari inspirasi dari seni kaligrafi, dan mendalami kisah-kisah teladan. Ia mulai menulis cerpen-cerpen pendek yang mengangkat tema persahabatan, ketekunan, dan pencarian makna hidup di pesantren, namun dengan gaya bahasa yang segar dan menarik. Ia juga mengumpulkan kisah-kisah inspiratif dari santriwati lain, mengubahnya menjadi artikel yang menyentuh, dengan desain yang elegan namun tetap sederhana.

Zahra mulai menemukan titik tengah antara dunia modern dan dunia pesantren. Ia mulai menciptakan desain majalah dinding yang lebih Islami namun tetap menarik dan kreatif. Ia juga mulai menulis artikel-artikel yang mengangkat tema-tema yang relevan dengan kehidupan santriwati, seperti persahabatan, keluarga, dan cita-cita.

Perlahan, majalah dinding yang dikelola Zahra mulai menunjukkan perubahan. Desainnya menjadi lebih artistik, artikel-artikelnya yang inspiratif, pesan-pesannya yang positif, mampu menyentruh hati banyak orang dan tulisannya lebih mendalam, namun tetap relevan dengan kehidupan santri. Santriwati lain berbondong-bondong membaca setiap edisinya. Bahkan, majalah dinding tersebut mendapat pujian dari Ustadzah Aminah dan pengurus pesantren lainnya. Mereka mengakui bahwa Zahra telah berhasil menciptakan media yang efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada para santriwati.

Suatu sore, Zahra terkejut saat Fatima menghampirinya di depan mading. “Zahra,” kata Fatima, ada senyum tipis di bibirnya, sebuah senyum yang dulu tak pernah Zahra lihat. “Untuk edisi depan, bagaimana kalau kita buat kolom tentang ‘Kisah Inspiratif Sahabiyah’? Aku punya beberapa referensi buku yang bagus.” Zahra membalas senyumnya, merasakan kehangatan yang tulus. Ustadzah Aminah pun mengangguk puas melihat perubahan positif pada majalah dinding itu, dan pada diri Zahra.

Selama proses penulisan, Zahra dan Fatima saling bertukar pikiran dan belajar satu sama lain. Zahra belajar tentang keteguhan iman dan kesederhanaan hidup dari Fatima, sementara Fatima belajar tentang kreativitas dan keterbukaan pikiran dari Zahra. Tanpa mereka sadari, benih-benih persahabatan mulai tumbuh di antara mereka. Mereka mulai saling mendukung dan menghargai perbedaan masing-masing.

Zahra, yang dulunya merasa terasing, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pesantren. Ia menemukan kedamaian dalam lantunan dzikir pagi, kehangatan dalam kebersamaan saat makan, dan kekuatan dalam setiap pelajaran agama yang ia ikuti. Ia menyadari bahwa disiplin bukan berarti kekangan, melainkan sebuah jalan untuk menemukan fokus dan potensi diri. Ia belajar bahwa keindahan sejati tidak terletak pada penampilan luar, melainkan pada ketenangan hati dan kebaikan yang terpancar. Konflik yang ia hadapi justru menempa dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat, bijaksana, dan mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Ketika tiba saatnya Zahra lulus dari pesantren, ia bukanlah Zahra yang sama yang datang dengan hati memberontak. Ia telah tumbuh menjadi seorang perempuan muda yang berwawasan luas, berhati lembut, dan penuh percaya diri. Ia merasa berat untuk meninggalkan tempat yang telah menjadi rumah keduanya. Ia berjanji akan terus menjaga silaturahmi dengan teman-teman dan guru-gurunya.

Kemudian, Zahra melanjutkan pendidikannya di Universitas Brawijaya, Malang, mengambil jurusan Ilmu Komunikasi dan Sastra Indonesia. Dunia kampus yang dinamis dan penuh kebebasan menjadi tantangan baru baginya. Ia harus beradaptasi dengan gaya belajar yang berbeda, pergaulan yang lebih luas, dan tuntutan akademik yang lebih tinggi.

Namun, nilai-nilai yang ia dapatkan di pesantren menjadi fondasi yang kuat dalam menghadapi setiap tantangan. Ia tetap menjaga kesederhanaan dalam berpakaian, menghormati perbedaan pendapat, dan menjunjung tinggi etika dalam bergaul. Ia juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, terutama yang bergerak di bidang jurnalistik dan literasi.

Zahra bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik Kampus, di mana ia belajar tentang teknik penulisan berita, reportase, dan penyuntingan yang profesional. Ia juga mengikuti berbagai pelatihan dan seminar tentang jurnalistik, media sosial, dan komunikasi efektif. Bakatnya dalam menulis dan mendesain semakin terasah, dan ia mulai dikenal sebagai jurnalis muda yang berbakat dan berdedikasi.

Zahra mulai menulis artikel-artikel tentang isu-isu sosial, budaya, dan keagamaan yang relevan dengan kehidupan mahasiswa. Ia juga membuat liputan tentang kegiatan-kegiatan inspiratif yang dilakukan oleh komunitas-komunitas di Malang. Gaya penulisannya yang lugas, kreatif, dan penuh empati, membuat artikel-artikelnya banyak dibaca dan diapresiasi oleh mahasiswa dan dosen.

Suatu hari, Zahra mendapat tawaran untuk menjadi kontributor di sebuah media online lokal yang fokus pada isu-isu perempuan dan pemberdayaan masyarakat. Ia menerima tawaran itu dengan senang hati, karena ia merasa memiliki panggilan untuk menyuarakan aspirasi perempuan dan menginspirasi perubahan positif.

Zahra mulai menulis artikel-artikel tentang kisah-kisah inspiratif perempuan-perempuan hebat di Malang, mulai dari pengusaha sukses, aktivis sosial, hingga ibu rumah tangga yang berdedikasi. Ia juga membuat liputan tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi gender, dan ketidakadilan sosial. Artikel-artikelnya mendapat sambutan yang luar biasa dari pembaca, dan ia mulai dikenal sebagai jurnalis perempuan yang berani dan vokal.

Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa dan jurnalis, Zahra tidak pernah melupakan pesantren tempat ia belajar dulu. Ia seringkali menyempatkan diri untuk mengunjungi pesantren, bertemu dengan para ustadzah dan santriwati, dan berbagi pengalaman. Ia juga memberikan pelatihan jurnalistik dan literasi kepada santriwati, dengan harapan dapat menginspirasi mereka untuk mengembangkan potensi diri dan menyuarakan aspirasi mereka melalui tulisan.

Suatu hari, Ustadzah Halimah meminta Zahra untuk memberikan ceramah motivasi kepada santriwati tentang pentingnya pendidikan dan peran perempuan dalam masyarakat. Zahra menerima tawaran itu dengan senang hati, karena ia merasa memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi positif kepada pesantren yang telah mendidiknya.

Dalam ceramahnya, Zahra menceritakan tentang perjalanan hidupnya, mulai dari masa-masa sulit saat pertama kali masuk pesantren, hingga kesuksesannya sebagai mahasiswa dan jurnalis. Ia menekankan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kesuksesan, dan perempuan memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Ceramah Zahra sangat menginspirasi para santriwati. Mereka merasa termotivasi untuk belajar lebih giat, mengembangkan potensi diri, dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Setelah ceramah, banyak santriwati yang mendekati Zahra dan meminta saran tentang bagaimana cara menjadi penulis yang baik. Zahra dengan senang hati memberikan bimbingan dan dukungan kepada mereka.

Zahra menyadari bahwa masih banyak kesalahpahaman dan stereotip negatif tentang pesantren di masyarakat. Ia merasa memiliki tanggung jawab untuk membangun jembatan antara pesantren dan dunia luar, dengan cara menyebarkan informasi yang benar dan positif tentang pesantren.

Ia mulai menulis artikel-artikel tentang kehidupan di pesantren, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh santriwati, dan prestasi-prestasi yang diraih oleh pesantren. Ia juga membuat video-video dokumenter tentang pesantren, yang menampilkan keindahan arsitektur pesantren, keramahan para ustadzah dan santriwati, dan semangat belajar yang tinggi.

Artikel-artikel dan video-video Zahra mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Banyak orang yang terinspirasi dan tertarik untuk mengenal pesantren lebih dekat. Zahra juga sering diundang sebagai pembicara dalam seminar dan diskusi tentang pesantren, di mana ia berbagi pengalamannya dan memberikan klarifikasi tentang isu-isu yang kontroversial.

Zahra terus mengembangkan diri dan berkarya. Ia bercita-cita untuk menjadi seorang penulis dan jurnalis yang profesional dan berintegritas, yang mampu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan menginspirasi perubahan yang lebih baik.

Leave A Reply

Your email address will not be published.