
Karya: Aulliya’ Rahman
(Mahasiswa Universitas Abdul Chalim Mojokerto)
Suara bedug itu selalu datang pada waktunya, suara yang memecah kesunyian langit pesantren yang sejak subuh disiram dengan bacaan wirid. Bedug tua, dengan kulit kerbau yang mulai mengeras, berdiri gagah di serambi masjid pesantren. Pukulan demi pukulan seolah menjadi tanda bahwa waktu bukan hanya sesuatu yang bergerak, melainkan sesuatu yang disucikan.
Arif, seorang santri asal Lamongan selalu mengagumi dentuman itu. Ia sering duduk ditangga serambi masjid sembari mendengarkan suara bedug yang berbaur dengan lantunan suara adzan dari pengeras suara masjid. Bedug adalah pengingat yang lebih tua dari jam dinding, lebih dalam daripada gawai (ponsel) yang dia simpan didalam tas kainnya.
Pesantren Darul Hikmah tempat dimana Arif menuntut ilmu adalah pesantren yang masih setia dengan tradisi. Banyak kitab-kitab kuning yang menguningi setiap rak, mushola yang dipenuhi anak-anak yang mengeja alif, ba’, ta’. Para kiai menekankan adab sebelum ilmu, dan setiap jum’at malam selalu ada pembacaan manaqib yang tidak pernah terlewatkan. Di pesantren ini, bedug menjadi bagian dari ritme hidup.
Namun, jauh dibalik tembok pesantren, zaman berlari dengan notifikasi. Grup WhatsApp keluarga arif tidak pernah sepi dari kabar, media sosial menggelontarkan banjir informasi, dan aplikasi belajar daring yang sedang menunggu untuk diunduh. Dunia di luar pesantren berdetak dengan ritme lain, ada yang cepat dan tergesa gesa, kadang riuh dan juga kadang hampa. Arif tahu itu semua. Ia pernah merasakannya sebelum masuk ke pesantren. Tapi di pesantren, ia harus belajar menjaga jarak. Gawai yang hanya boleh dipegang malam hari walaupun hanya sebentar dengan izin musyrif asrama. Meski begitu desiran notifikasi tetap bisa menyelinap hingga menghidupkan rasa penasaran.
Bedug dan notifikasi, dua suara yang berbeda dari dua dunia yang berbeda pula. Dan Arif, sebagaimana santri lainnya, berdiri di antara keduanya, mencoba menakar makna hidup di tengah pergeseran zaman.
Malam itu, selepas isya, para santri duduk melingkar di serambi asrama. Lampu neon yang menggantung berayun pelan, digoyang dengan angin malam yang membawa aroma tembakau dari ladang sekitar. Arif duduk dengan kitab Fathul qarib di pangkuannya, namun matanya sesekali melirik kea rah tas kain miliknya yang ia letakkan di pojok ruangan. Di dalamnya, gawai kecil bergetar pelan tetapi cukup untuk membuat dadanya berdegup.
“Rif kowe kok mlongo wae?” bisik Hasan, sahabat dekatnya.
Arif tersenyum kaku. “Ora, mung kepikiran mawon”
Hasan terkekeh pelan. “Kepikiran nopo? Niku HP-mu sing geter-geter niku ta?”
Arif menunduk. Ia tahu Hasan benar. Notifikasi dari dunia luar seperti tangan tak kasatmata yang mengetuk pintu pikirannya. Kadang kabar dari ibunya yang ridu, kadang video dakwah dari ustaz popular di YouTube, kadang sekedar berita bola yang lewat begitu saya. Semua itu hadir dalam genggaman, hanya sejauh sentuhan layer. Di sisi lain, para ustaz di pesantren selalu mengingatkan bahwa gawai bisa menjadi pintu kebaikan, tapi juga celah kelalaian. Arif sering mendengar dawuh kiai Mahrus, pengasuh pesantren: “Teknologi punika pedhang loro. Bisa dados lampu padhang, nanging ugi saged dados geni sing ngobong awake dewe.”
Sore tadi, kiai Mahrus bahkan sempat menegur santri yang kedapatan sibuk dengan gawainya saat waktu jamaah hamper tiba. “Le, elinga. Yen bedug muni, niku tandha gusti Allah nyuwun rawuhe kowe. Aja nganti kalah karo bunyi ‘ting’ saka HP-mu,” dawuh beliau dengan nada teduh namun tegas. Arif mendengar itu, dan hatinya seperti ditusuk rasa bersalah. Ia ingin taat sepenuhnya, menjaga tradisi, focus pada kitab dan amalan. Tapi ia juga sadar, ada hal-hal yang tak bisa lagi dipisahkan dari teknologi. Bahkan beberapa kajian kitab klasik kini direkan dan diunggah di media sosial, menyebar lebih luas daripada suara bedug di serambi pesantren.
Malam itu, notifikasi terus bergetar. Arif membuka tasnya diam-diam, dan melirik sebentar. Sebuah pesan dari ibunya muncul: “Nak, kulo nyuwun dungo. Paklikmu sakit, nembe dipun rawat wontwn rumah sakit.”
Arif tercekat. Ia merasa bersalah karena menunda membaca pesan itu. Jika saja ia menuruti getaran pertama tadi, ia bisa langsung mengirim doa. “Rif, kulo kok krasa yen saiki, bedug lan notifikasi koyo rebutan panggonan neng atiku.” Gumamnya lirih, stengah untuk dirinya sendiri.
Hasan menoleh.” Iyo Rif. Nanging sing utama, elinga dawuh kiai: ‘sing penting atimu tansah nyambung kaliyan gusti Allah, ora peduli nganggo bedug utawa notifikasi.’” Arif terdiam. Kata-kata itu menempel di kepalanya, namun hatinya belum juga tenang.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sama, namun hati Arif makin resah. Bedug masih ditabuh lima kali sehari, suaranya tetap menggema di langit pesantren. Tetapi notifikasi di gawainya juga tak pernah absen. Keduanya seperti berebut ruang dalam dirinya. Suatu malam, selepas pengajian kitab di ndalem kiai, Arif memberanikan diri sowan kepada kiai Mahrus. Ia menunggu di serambi Bersama beberapa santri lainnya. Setelah dipersilahkan masuk, Arif duduk bersila di hadapan sang kiai.
Kiai Mahrus tersenyum ramah. “kados pundi, Arif? Kulo mirsani panjenengan kok kathah meneng akhir-akhir punika.”
Arif menunduk. “nyuwun pangapunten, yai. Kulo pun sejatine bingung. Bedug wonten mriki dados tandha adzan, nanging notifikasi HP kulo ugi ngundang manah. Kulo mboten saged nimbang, punapa kedah kulo tinggal, utawi saged kulo manfaatken.”
Kiai Mahrus mengusap janggut putihnya. “Le, bedug punika lambing tradisi, panggilan kangge ninggal dunya lan nyedhak dhateng gusti Allah. Notifikasi punika tandha jaman, panggilan saking Donya kang tambah rame. Nanging sing kedah panjenengan eling loro-lorone punika mung alat. Sing paling utama, sinten sing panjenengan dahulukan wonten atimu.”
Arif menghela nafas Panjang. “ Nanging yai, kadang kulo krasa, yen kulo ora enggal mbukak HP, kulo ketinggalan kabar penting. Nanging yen kulo tansah nyekel HP, kulo lali kaliyan kitab.”
Kiai tersenyum lembut lagi. “Le, punapa panjenengan eling dawuh para ulama: ‘man lam yudabbir nafsahu, la yudabbiruhu ghairuhu.’ Sing ora iso ngatur awake dhewe, ora bakal iso diatur wong liya. Bedug utawa notifikasi, kabeh mung suwara. Nanging atimu sing milih, arep nyawisaken panggilan gusti utwa nyawisaken kabar dunya.”
Arif terdiam. Kata-kata itu seperti menamparnya pelan. Ia tahu kiai tidak menolak teknologi. Justru, beliau mengajarkan cara menempatkan. Keluar dari ndalem, Arif berjalan pelan di halaman pesantren. Hasan yang menunggu di luar langsung menyapanya. “Piye, Rif? Panjenengan sampun remen sowan yai?”
Arif mengangguk pelan. “yai ngendika, kabeh punika alan, San. Nanging atiku sing kudu milih. Nanging kulo isih bingung, San. Kadang notifikasi kuwi koyo luwih banter tinimbang bedug.”
Hasan tertawa kecil. “Iyo, Rif. Nanging kowe kudu eling. Bedug muni kanggo kabeh wong. Notifikasi mung kanggo kowe. Yen kowe ora nggatekake bedug sing ilang atine dewe.”
Arif terdiam lagi. Kalimat sederhana itu menusuk di hati Arif. Malam makin larut. Dari masjid terdengar suara santri membaca wirid. Bedug yang dipukul sebentar tadi masih menyisakan gaung di telinga Arif. Di saku bajunya, gawai bergetar sekali lagi. Ia menatap kearah masjid, lalu menunduk, memejamkan mata. Pertarungan batin itu belum selesai, tetapi Arif mulai paham bahwa suara paling keras sejatinya bukan dari bedug atau notifikasi, melainkan dari hatinya sendiri.
Hari jum’at itu, pesantren lebih ramai dari biasanya. Jama’ah berkumpul, santri bergegas mengambil wudhu. Bedug besar di serambi masjid sudah siap dipukul, yang menjadi tanda bahwa khutbah akan segera dimulai. Arif, yang pagi itu mendapat giliran menjadi penabuh bedug, duduk menunggu waktu itu tiba. Tangannya sudah memegang pemukul kayu, tapi hatinya bergetar bukan hanya karena tugas mulia itu. Dari saku bajunya, getaran gawai Kembali terasa.
Ia ragu. Hatinya mendesak untuk mengabaikan, tapi rasa penasaran mendorong. Ia membuka sebentar. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul: “Nak, kulo nyuwun tulung. Paklikmu kondisine tambah parah. Yen saged, donga mawon sak meniko.” Pesan dari ibunya.
Arif tercekat. Air matanya hamper jatuh. Saat itulah, seorang ustaz mendekat, melihat Arif masih memegang gawai.
“Le Arif, punapa panjenengan ketinggalan dawuh yai?” suara ustaz pelan tapi menusuk.
Arif gugup. “Nyuwun pangapunten, ustaz… kulo mboten saget meneng. Ibu ngabaraken paklik kulo sakit parah.”
Ustaz menghela nafas Panjang. “Le, elinga. Waktu bedug punika, tandha kangge panjenengan saged dipun aturake bareng-bareng, nalika jama’ah sami ngluhuraken asmane gusti.”
Arif menunduk. Tangannya gemetar memegang pemukul bedug. Notifikasi masih menyala, seolah berteriak dari saku. Hasan yang melihat dari kejauhan mendekat, berbisik, “Rif, ayo. Bedug ditabuh rumiyin. Donga bisa bareng-bareng sakwise. Punapa kowe boten yakin bilih swara bedug iki ugi bisa ngundang malaikat kangge nyuwun sih gusti Allah?”
Arif memejamkan mata. Lalu, dengan sekuat tenaga, ia memukul bedug. “Dung… dung… dung…” suaranya membelah langit pesantren, lebih keras dari notifikasi mana pun. Meskipun matanya basah, tapi tangannya tetap memgang tongkat kayu dengan erat. Dalam hati ia berdoa lirih: “Ya Allah, kula nyuwun sih paduka kangge paklik kula. Punapa swara bedug punika saged dados saksi bilih kula tansah nyuwun pangapunten lan pitulungan paduka.”
Saat itu, Arif merasakan sesuatu yang berbeda. Notifikasi berhenti bergetar, seakan kalah oleh dentuman bedug yang menggema. Ia sadar dunia maya memberi kabar, tapi hanya Allah yang memberi keputusan.
Usai salat jum’at, halaman pesantren dipenuhi santri yang bertegur sapa. Udara terasa lebih lapang setelah debtuman bedug dan lantunan khutbah menenangkan hati. Ia membuka pesan ibunya, lalu segera mengetik balasan: “Ibu, kulo sampun Ndonga kangge paklik. Mugi gusti Allah mating kesembuhan. Kulo ugi nyuwun pangapunten, boten langsung mangsuli pesan panjenengan.”
Beberapa saat kemudian balasan dating. “matur nuwun, nak. Ibu lega, sanajan panjenengan tebih, doa panjenengan sampun ngancik atine kulo.”
Arif tersenyum tipis. Ia merasakan kedamaian yang tidak ia temukan Ketika terburu-buru menuruti notifikasi. Bedug dan notifikasi, ternyata bukan musuh. Keduanya bisa berjalan Bersama, asal ia tahu mana yang harus didahulukan.
Sore itu, ia Kembali sowan kepada kiai Mahrus.
“yai,” ujarnya pelan, “kulo sampun langkung mangertos. Bedug nyawisaken kula dhateng gusti, dene notifikasi nyawisaken kula dhateng manungsa. Yen kulo saged ngatur, In Sha Allah loro-lorone saged migunani.”
Kiai tersenyum, matanya berbinar. “Ngaten, le. Sing paling utama, aja nganti notifikasi nutupi ati panjenengan kangge welas asih marang tiyang sanes.”
Arif menganggukan kepalanya. Ia merasa hatinya kini lebih ringan. Bedug tetap menjadi penuntun ruhani, sementara notifikasi bisa menjadi jembatan silaturahmi.
Malam itu, saat bedug magrib dipukul, arif duduk di serambi sambal menggenggam gawai. Getaran notifikasi Kembali dating. Tapi kali ini, ia tersenyum. Ia tahu, dentuman bedug lebih dulu harus ia jawab. Setelah itu, barulah ia menatap layer, dengan hati yang sudah tertata.
TAMAT