Oleh: Heri Kuswara*
Kekerasan di lingkungan pendidikan selalu mengotori lembaran sejarah pendidikan di negeri ibu pertiwi ini.
Yang terbaru (September-Nopember 2025) diantaranya kasus bunuh diri siswi MTs Cipayung, Jakarta Timur yang diduga terkait bullying, kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru olahraga di Sekolah Dasar (SD) Inpres One, Desa Poli, Kecamatan Santian, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), Lalu seorang santri di Aceh Barat dihukum oleh istri pimpinan dayah setingkat pesantren dengan dilumuri cabai sekujur tubuh karena ketahuan merokok, kemudian tiga kasus bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun di Sukabumi, Jawa Barat, mengakhiri hidupnya diduga mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya, dua kasus bunuh diri lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat. Dan baru-baru ini, peristiwa yang sangat mengagetkan adalah aksi pengeboman di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, saat sedang berlangsungnya salat Jumat sekitar pukul 12.15 WIB. Ledakan ini menyebabkan setidaknya 96 orang luka-luka yang sebagian besar adalah siswa sekolah tersebut. Fenomena ini menunjukkan, bahwa kita belum sungguh-sungguh mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, inklusif, dan ramah anak.
Ichtiar Negara dalam mencegah berbagai tindak kekerasan tertuang dalam berbagai kebijakan terkhusus kebijakan tentang perlindungan anak di lingkungan pendidikan diantaranya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan, Keputusan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek No. 49/M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP), Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, SK Dirjend Pendidikan Islam No. 4836 Tahun 2022 tentang Panduan Pendidikan Pesantren Ramah Anak, Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 83 Tahun 2023 tentang pedoman penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan Keagamaan, dan KMA No. 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pesantren Ramah Anak.
Berbagai kebijakan diatas tentunya dirancang untuk mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan dengan memastikan peran serta dan tanggungjawab seluruh pihak yang terkait dengan pendidikan baik itu pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua/wali, dan masyarakat. Dengan hadirnya regulasi tersebut diharapkan setiap pihak yang terlibat dapat sedini mungkin mampu mengidentifikasi situasi yang mengarah kepada kekerasan, risiko akan terjadinya kekerasan serta memastikan adanya tindakan dini terhadap pencegahan kekerasan. Lebih lanjut regulasi ini wajib menjadi pedoman bagi pemangku pendidikan untuk memiliki pedoman yang jelas dan tegas dalam upaya menciptakan ruang belajar aman, nyaman, ramah dan terbebas dari segala jenis dan bentuk kekerasan.
Bicara maraknya kekerasan dalam ruang pendidikan, penulis tertarik dengan hadirnya buku berjudul “Urgensi Satuan Pendidikan Ramah Anak (Implementasi Kebijakan, Tantangan, Dan Praktik Baik)” yang ditulis oleh Aris Adi Leksono dan Moh. Faiz Maulana. Selesai meng’khatam’kan bacaan buku tersebut, penulis berkesimpulan, inilah salah satu karya terbaik yang dapat dijadikan panduan, dan inspirasi dalam memberikan solusi komprehensif guna mencegah kekerasan di lngkungan pendidikan. Buku ini menawarkan gagasan baru dalam mewujudkan Satuan Pendidikan Ramah Anak. Aris dan Faiz secara sistematis dan terstruktur menawarkan Formula dalam Mewujudkan Satuan Pendidikan Ramah Anak melalui Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas Pendidik dan tenaga kependidikan, Implementasi Kebijakan Pendukung disatuan pendidikan, Partisipasi Orang Tua dan Komunitas pendidikan, Pengawasan dan Evaluasi Berkelanjutan, serta Pengembangan Kemitraan satuan pendidikan dengan organisasi atau instansi lainnya.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang bagaimana mengoptimalkan peran dan fungsi Tri Pusat Pendidikan yaitu Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam mengatasi perundungan pada satuan pendidikan. Aris dan Faiz menawarkan gagasan tentang bagaimana meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap masalah kekerasan di kalangan siswa, guru, orang tua, dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, dan workshop yang diselenggarakan secara reguler dan melibatkan berbagai pihak. Selanjutnya Pengembangan materi pendidikan yang relevan dan kontekstual mencakup pengembangan modul yang membahas hak-hak anak, pencegahan kekerasan, serta cara melaporkan insiden kekerasan dengan aman menjadi Concern Aris dan Faiz dalam mewujudkan Satuan Pendidikan Ramah Anak.
Selain itu, Aris dan Faiz menggarisbwahi pentingnya penguatan peran dan fungsi konselor sekolah serta pengembangan program konseling yang komprehensif mencakup berbagai aspek, seperti pencegahan kekerasan, manajemen emosi, dan pengembangan keterampilan sosial. Program konseling ini wajib mengikutsertakan orang tua karena dukungan dari keluarga dapat memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi siswa. Program Konseling yang terencana dan terprogram ini tentunya diharapkan dapat menangani isu-isu kekerasan dan kesehatan mental siswa sehingga tercipta budaya pendidikan yang ramah anak. Di samping itu, Aris dan Faiz menyampaikan pentingnya dibangun mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya bagi para korban atau saksi kekerasan di sekolah. Salah satu kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak menurut Aris adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan yang transparan dan responsif, di mana anak-anak merasa diberdayakan untuk berbicara tanpa rasa takut.
Buku Karya Aris dan Faiz ini sangat menarik karena dilengkapi dengan berbagai contoh Praktik Baik Satuan Pendidikan Ramah Anak yang telah dilakukan baik di Sekolah maupun di Madrasah, diantaranya Praktik Baik di SDIT Istiqamah Balikpapan dengan Program Character Buildingnya yaitu perilaku 5S (senyum, salam, sapa, sopan santun), berkata PERMATTA (permisi, maaf, tolong, terima kasih), adab dan 4K (kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kebersihan). Lalu Praktik Baik yang dilakukan di MTs Karakter Mutiara Bunda Bali dengan program-program unggulannya yaitu Gerakan CIBER/Cinta Kebersihan, Jumpa Berlian (Jumat Pagi Bersih-bersih Lingkungan, Young Smart Farmer Program, Excellent Service dan Pendidikan Inklusif. Sementara di SMPN 15 Yogyakarta membuat program-program, seperti Pembiasaan 3S (Senyum, Sapa, Salam) Pembelajaran dengan “Ice Breaking”, guru wajib menyampaikan pesan moral, dll.
Harapan penulis, buku ini dapat menjadi rujukan setiap satuan pendidikan dalam mengimplementasikan Kebijakan dan Praktik baik guna mencegah dan mengatasi terjadinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan agar tercipta Satuan Pendidikan Yang Ramah Anak. *Ketua PP Pergunu Bidang OKK