Ridha atas Takdir Allah, Ciri Insan Kamil

0

Pada kajian ini, kita disuguhkan dengan sebuah kisah mengenai seorang sufi yang kehilangan anaknya yang masih kecil. Kisah tersebut terekam dalam ibarat berikut ini.

 

ضَاعَ لِبَعْضِ الصُّوفِيَّةِ وَلَدٌ صَغِيرٌ فَلَمْ يُعْرَفْ لَهُ خَبَرٌ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَقِيلَ لَهُ: لَوْ سَأَلْتَ اللهَ تَعَالَى أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْكَ، فَقَالَ: اِعْتِرَاضِي عَلَيْهِ فِيمَا قَضَى أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ ذَهَابِ وَلَدِي. وَقَالَ بَعْضُ السَّادَةِ: أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَأَنَا أَبْكِي عَلَيْهِ مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، وَكَانَ قَدِ اجْتَهَدَ فِي الْعِبَادَةِ لِأَجْلِ التَّوْبَةِ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ، فَقِيلَ لَهُ: وَمَا ذَلِكَ الذَّنْبُ؟ قَالَ: قُلْتُ مَرَّةً لِشَيْءٍ لَيْتَهُ كَانَ.

 Seorang sufi kehilangan anaknya yang kecil. Selama tiga hari, tidak diketahui kabar keberadaanya. Lalu seseorang berkata kepadanya: “Mengapa engkau tidak memohon kepada Allah agar mengembalikannya kepadamu?”. Ia menjawab: “I’tiradî atau keberatanku terhadap ketetapan Allah lebih berat bagiku daripada kehilangan anakku”. Salah seorang sufi lain berkata: “Aku pernah melakukan satu dosa, dan aku menangisinya selama enam puluh tahun”. Ia telah bersungguh-sungguh dalam beribadah sebagai bentuk tobat dari dosa tersebut. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah dosa yang dimaksud?”. Ia menjawab: “Aku pernah berkata sekali terhadap sesuatu: Andai saja itu terjadi”. (Syarah Hikam li Ibni Abbâd al-Nafarî, Juz: 01, hal: 57).

Dari kisah di atas, ada entry point yang bisa ditelisik lebih mendalam, yakni penerimaan dan keikhlasan terhadap ketentuan Allah s.w.t. yang dalam spektrum tasawuf dikenal dengan “maqam ridha”. Pada maqam tersebut, seorang hamba betul-betul menerima segala bentuk ketetapan Allah, berupa ketetapan yang baik, maupun ketetapan yang buruk. Bagi seorang sufi, kehilangan anak bukanlah sebuah musibah yang besar. Justru musibah besar baginya, manakala ia merasa keberatan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan Allah kepadanya. Hal serupa juga terjadi pada salah seorang sufi yang menangisi dosanya selama 60 tahun. Tidak hanya tangisan, ia juga berusaha semaksimal mungkin dalam beribadah untuk bertaubat dalam rangka menebus dosanya tersebut. Lalu, dosa apakah yang telah diperbuat sehingga ia berbuat demikian? Dosa yang dimaksud adalah ia mengucapkan: “Andai saja itu terjadi”.

Bagi kita kalangan orang awam, mungkin pernyataan yang diucapkan tokoh sufi di atas bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Malah mungkin di antara kita akan berujar: “Halah, Cuma mengucapkan begitu kok harus menangis selama 60 tahun?”. Inilah yang membedakan antara orang awam dengan orang khawash. Bagi orang khawash sebagaimana tokoh sufi di atas, pernyataan: “Andai saja itu terjadi” merupakan bentuk “i’tirâdh” atau penyesalan dan keberatan atas takdir Allah yang telah ditetapkan kepadanya. Bagi seseorang yang telah mencapai maqam ma’rifat, sikap “i’tirâdh” termasuk dalam bentuk ghaflah atau kelalaian serta sû’ul adab terhadap ketentuan yang tertuang dalam takdir Allah s.w.t..

Karena itu, dalam ibarat lain di kitab yang sama, ditegaskan bahwa suatu ketika salah seorang tokoh sufi besar, yaitu Imam Junaidi al-Baghdadi jatuh sakit yang cukup parah. Di tengah rasa sakit yang menggerogotinya itu, ia memohon kepada Allah s.w.t. agar mengangkat penyakitnya. Tak lama kemudian terdengar sebuah bisikan yang mengatakan: “Apa urusanmu mencampuri antara Aku dan kerajaan-Ku?”.

وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: لَوْ قُرِضَ جِسْمِي بِالْمَقَارِيضِ، كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقُولَ لِشَيْءٍ قَضَاهُ لِيْتَهُ لَمْ يَقْضِهِ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: مَرِضَ الْجُنَيْدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ عَافِنِي. فَسَمِعَ هَاتِفًا يَقُولُ: مَا لَكَ وَالدُّخُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مُلْكِي؟ وَمِنْ مُقْتَضَيَاتِهِ أَيْضًا أَنْ يَعْلِقَ بِقَلْبِهِ شَيْءٌ مِنَ الْاِعْتِرَاضِ عَلَى الْمَشَايِخِ وَالْأَوْلِيَاءِ، وَأَنْ يَتْرُكَ تَعْظِيمَهُمْ وَاحْتِرَامَهُمْ، وَأَنْ لَا يَقْبَلَ إِشَارَتَهُمْ فِيمَا يُشِيرُونَ بِهِ عَلَيْهِ. فَقَدْ قَالُوا: عُقُوقُ الْأُسْتَاذَيْنِ لَا تَوْبَةَ لَهُ. وَقَالُوا أَيْضًا: مَنْ قَالَ لِأُسْتَاذِهِ لِمَ، لَا يُفْلِحُ.

Sebagian ulama salaf berkata: “Seandainya tubuhku digunting dengan sebuah gunting, itu lebih aku sukai dari pada aku berkata terhadap sesuatu yang telah Allah tetapkan, Andai saja itu tidak terjadi”. Sebagian mereka berkata: Suatu ketika Junaid al-Baghdadi r.a. jatuh sakit, lalu ia berdoa: “Wahai Allah, sembuhkanlah aku”. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan suara: “Apa urusanmu mencampuri antara Aku dan kerajaan-Ku?”. Di antara konsekuensi dari sikap tidak ridha (terhadap ketentuan Allah) adalah bahwa hatinya terikat dengan rasa keberatan terhadap para guru dan pra wali. Kemudian, ia meninggalkan rasa hormat dan pemuliaan terhadap mereka, serta tidak menerima isyarat atau bimbingan mereka dalam hal yang mereka tunjukkan kepadanya. Sebagian para ulama salaf juga berkata: “Durhaka kepada guru tidak ada taubatnya”. Mereka juga berkata: “Barang siapa berkata kepada gurunya: “Mengapa”, maka ia tidak akan beruntung”. (Syarah Hikam li Ibni Abbâd al-Nafarî, Juz: 01, hal: 57).

Bila kita pahami ibarat di atas dengan seksama, ada hal menarik yang bisa dijadikan pelajaran dalam hidup. Pertama mengenai pernyataan: “Seandainya tubuhku digunting dengan sebuah gunting, itu lebih aku sukai dari pada aku berkata terhadap sesuatu yang telah Allah tetapkan: Andai saja itu tidak terjadi”. Bagi seorang sufi, penderitaan fisik seberat apapun itu terasa ringan jika dibandingkan dengan penderitaan batin karena pengatakan “andai saja”. Karena, bagi seorang hamba yang telah mencapai maqam ma’rifat, penyesalan terhadap ketentuan Allah merupakan bentuk “i’tirâd” atau pembangkangan spiritual. Apabila hal itu dilakukan oleh seorang sufi, maka pada hakikatnya ia telah terjebak dalam kubangan suudzan terhadap kebijaksanaan Allah s.w.t.. Bukankah kebijaksanaan Allah telah meliputih seluruh alam semesta dan ketentuan-Nya pun telah menjadi dari bagian dari kebijaksanaan-Nya?

Hal senada juga sesuai dengan pengalaman spiritual yang dialami oleh Imam Junaidi al-Baghdadi tatkala merasa sakit. Di tengah rasa sakit yang mendera itu, ia berdoa kepada Allah: “Wahai Allah, sembuhkanlah aku”. Sebetulnya, apa doa yang dilakukan oleh al-Junaid di atas tidak salah dalam kacamata orang awam. Malah berdoa kepada Allah s.w.t. merupakan senjata bagi orang-orang mukmin. Namun, jika melihat sosok al-Junaid yang seorang tokoh besar dalam tasawuf, doanya dianggap sebagai bentuk “i’tirâd”  atau penyesalan atas ketentuan Allah s.w.t. yang ditetapkan kepadanya. Artinya, doa pribadi al-Junaid kepada Allah s.w.t. seharusnya diganti dengan sikap ridha atas Irâdah Ilâhiyah karena ia telah mencapai maqâm al-taslîm atau ketundukan total terhadap ketentuan-Nya. Karena itu, bisikan suara yang didengar oleh al-Junaid solah hendak menegaskan: “Wahai Junaid, engkau telah Kuangkat ke derajat orang yang sepenuhnya menyerah pada kehendak-Ku. Mengapa kini engkau kembali menginginkan sesuatu selain apa yang Aku kehendaki?”.

Dampak dari “i’tirâd” tidak hanya berimplikasi pada hubungan vertikal sebagaimana diurai di atas. Ia juga berdampak pada hubungan horizontal, seperti interaksi sorang murid dengan seorang guru. Seseorang yang tidak mau menerima ketentuan Allah s.w.t. biasanya mempunyai hati yang keras dan gelisah. Secara psikologis, yang bersangkutan biasanya mempunyai hati yang selalu dipenuhi oleh penolakan-penolakan terhadap kebenaran. Penolakan tersebut kerap terjadi, meskipun datangnya dari seorang guru, ulama, dan para wali Allah. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa menerima takdir yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. hatinya akan merasa sulit menerima nasehat dari hamba-hamba pilihan Allah. Apabila hatinya sulit menrima nasehat, tentu saja ia menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Allah s.w.t. berfirman:

ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗۚ

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS. Al-Baqarah, 02:74).

Al-Tabari memberikan komentar bahwa yang dimaksud dengan hati yang keras seperti batu pada ayat di atas merupakan ungkapan metaforis terhadap penolakan seseorang terhadap kebenaran, meskipun telah nyata dipandang oleh pengelihatan fisik.

يَقُولُ: ثُمَّ صَلُبَتْ قُلُوبُكُمْ (بَعْدَ إِذْ رَأَيْتُمُ الْحَقَّ فَتَبَيَّنْتُمُوهُ وَعَرَفْتُمُوهُ) عَنِ الْخُضُوعِ لَهُ وَالْإِذْعَانِ لِوَاجِبِ حَقِّ اللهِ عَلَيْكُمْ، فَقُلُوبُكُمْ كَالْحِجَارَةِ صَلَابَةً وَيُبْسًا وَغِلَظًا وَشِدَّةً، أَوْ ” أَشَدُّ قَسْوَةً “، يَعْنِي: قُلُوبُهُمْ  عَنِ الْإِذْعَانِ لِوَاجِبِ حَقِّ اللهِ عَلَيْهِمْ، وَالْإِقْرَارِ لَهُ بِاللَّازِمِ مِنْ حُقُوقِهِ لَهُمْ أَشَدُّ صَلَابَةً مِنَ الْحِجَارَةِ.

Maksudnya, kemudian hati kalian menjadi keras setelah melihat kebenaran, memahami, dan mengenalnya, namun tetap tidak tunduk dan tidak menyerahkan diri kepada kewajiban hak Allah atas kalian. Maka hati kalian seperti batu dalam hal keras, kering, kasar, dan tebalnya, bahkan lebih keras lagi. Hati mereka, dalam hal ketidak-patuhan terhadap kewajiban hak Allah atas mereka, serta enggannya mengakui hak-hak Allah yang seharusnya mereka penuhi, karena itu hati mereka lebih keras dari pada batu itu sendiri. (Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz: 02, hal: 130).

Karena itu, maka wajar apabila para ulama salaf menegaskan dalam pernyataan-pernyataan mereka bahwa menyakiti guru, ulama, dan para wali Allah, tidak ada taubat bagi mereka. Bahkan, seorang murid tidak akan pernah menemukan kesuksesan apabila terbesit dalam hatinya “mengapa” tatkala diperintah oleh gurunya. Wallahu A’lam Bisshawab.

 (Pengajian Syarah Hikam Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke – 103 live di Channel Youtub multimedia kiaimiftach).

Leave A Reply

Your email address will not be published.