TANGKAP JEMPOL, BUKAN TANKAP ULAR 

0

Oleh: Fdazilul Azmi H.P (Siswa SMA Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo)

Di hari sabtu, saat waktu subuh seorang santri bernama Fawaz masih tertidur pulas. Tidak  seperti biasanya Fawaz tidur sampai subuh. Biasanya Fawaz bangun jam tiga pagi untuk melakukan  sholat Tahajud dan berdzikir sembari menunggu adzan subuh. Ya, Fawaz kelelahan karena perjalanan  dari pondoknya yang berada di luar kota. 

“HWAHHH” fawaz mulai merenggangkan tubuhnya, dan menatap datar langit-langit  kamarnya. 

LOHH WES JAM PIRO IKI, GORONG SUBUHAN AKUU1!” fawaz terkejut dan  langsung menatap jam di kamarnya. 

“Alhamdulillah, aman” fawaz bernapas lega setelah melihat jam yang masih menunjukkan  pukup setengah empat pagi. 

Fawwaz pun mulai bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.  Setelah wudhu dan berpakaian rapi, Fawaz mengambil Al-Quran untuk mengingat kembali  hafalannya sembari menunggu adzan.  

“Kok gak adzan-adzan yo?2” fawaz bergumam setelah menunggu adzan tak kunjung  terdengar. 

Setelah menunggu cukup lama, dan jam menunjukkan pukul empat pagi lebih, Fawaz pun  memutuskan berangkat ke musholla untuk mengumandangkan adzan. Sesaat kemudian, Fawaz heran  melihat musholla yang masih gelap. Fawaz mulai masuk ke dalam musholla, dan benar saja musholla  masih sepi. Fawaz menekan saklar lampu dan mengambil mic di sebelah mimbar untuk  mengumandangkan adzan. Setelah mengumandangkan adzan, Fawwaz heran karena tidak ada satu  orang pun kecuali dirinya. Fawaz mencoba tidak terlalu memikirkannya dan langsung melaksanakan  sholat subuh. Setelah melaksanakan sholat subuh dan berdzikir, fawaz memutuskan kembali ke  rumahnya. 

  

 Namun, baru beberapa langkah keluar dari musholla langkah Fawaz terhenti ketika melihat  dua teman desanya yang sedang melihat ke arahnya dengan tatapan ngeri. Fawaz heran dan membatin apa yang mereka lihat, apakah ada yang salah dengan dirinya?. 

“Oyy ngapain kalian?” teriak fawaz bertanya kepada temannya. 

Mereka tidak menjawab pertanyaan fawaz dan hanya melambaikan tangan untuk  mengisaratkan fawaz agar mendekat. Fawaz pun mengerti apa yang di isaratkan temannya tersebut, dan mulai berjalan menghampiri kedua temannya itu. 

Nyapo kalian berdua itu3?” tanya fawaz kepada kedua temannya. 

“Hee kamu gak tau ta, di mushola ada berita kalau ada ular jadi-jadian” kata fahmi yang  sedang memberi tahu info ke fawaz. 

Layoo gueedee, sak awakmu paleng4” tambahan dari agil, anak yang suka bercanda tapi  penakut juga. 

“Hallah bohong itu, buktinya aku aman-aman aja.Tapi kalau memang ada, pasti udah aku  kulitin biar jadi tas. Udahlah aku pulang dulu, aku capek barusan pulang dari pondok” balasan fawaz  yang membuat kedua temannya membatin-SOK IYEE NI ANAK. 

Fawaz tersenyum kepada kedua temannya itu, dan mulai pergi menuju rumahnya. Tetapi  belum lima langkah, kedua temannya menyusul dan sudah berada disamping menghimpit fawaz. 

“Apalagi?” Tanya fawaz dengan nada malas. 

“Awakmu gak percaya, gak takut dimakan gitu? ” balasan fahmi dengan spontan yang  membuat fawaz tertawa. 

“Emang ada buktinya, kalau ada ular?” tanya Fawaz kepada Fahmi. 

Fahmi pun merogoh kantong celananya untuk mengambil ponselnya.Dengan cepat Fahmi  menyalakan ponselnya dan menunjukan sebuah video di sebuah grup whatsapp warga desa yang  menampilkan sosok ular besar keluar dari halaman musholla. 

  

“Itu-itu ularnya keluar, gedekan” Fahmi memberi tahu Fawaz sambil menunjuk layar ponsel. 

iyo-iyo eroh aku, gak usah lebay laa” balas Fawaz dengan disusul tangan yang menyaut  ponsel untuk mengamati lebih detail video tersebut. 

Fawaz memandangi video itu dengan dahi berkerut. Di layar ponsel Fahmi terlihat jelas seekor  ular besar yang keluar dari halaman musholla. Tapi, ada yang aneh. Gerakan ularnya kaku, warnanya  pun terlalu terang, dan seolah-olah bayangannya tidak sesuai dengan arah cahaya lampu musholla. 

“Loh, iki rek aku kok curiga ya. Ini kayak ular kartun yang digabungkan ke video asli. Editing  ini, yakin aku!” ujar Fawaz sambil menatap layar ponsel kemudian melihat kedua temannya itu. 

Agil yang dari tadi ikut nimbrung langsung mengangkat alis heran, “Hah? Di edit? Emang  ada orang yang bisa iseng kayak gitu?” 

Fawaz mengangguk mantap. “Yo jelas ada. Wong zaman saiki gampang banget bikin video  palsu. Tinggal download aplikasi, edit titik, wes mari! Bisa bikin orang satu kampung geger.” 

Fahmi yang tadinya merinding, jadi mulai ikut mikir. “Tapi, kok bisa rame gini ya? Grup WA  sampe rame banget. Ibuku aja pesen kalo mau kluar pake baju yang tebel, jaga jarak sama semak semak, kalau bisa pake helm biar gak kepatok ular.” 

Mendengar itu, Fawaz tertawa keras. “Ealaa isok ae tutup’e botol . Dikira mau jinakin bom!  Ular paling yo takut sama orang kalau rame-rame. Tapi serius, iki hoaks. Dan hoaks iku lebih bahaya  ketimbang ularnya sendiri.” 

Agil bingung. “Lho, maksudmu piye?” 

Fawaz menarik napas panjang, lalu berdiri merapikan pecinya dan berkata dengan gaya seperti  ustadz kondang yang lagi ceramah di pengajian. “Jadi begini teman-temanku yang selalu dirahmati  Allah” 

“Wees mulai, jiwa ustad’e kluar” cibir agil melihat tingkah fawaz. 

“Ssttt jarno, kan anak pondok abizz” 

Fawaz tak memedulikan temannya itu dan langsung melanjutkan ceramahnya.”Nabi  Muhammad SAW pernah berkata, cukuplah seseorang itu disebut pendusta jika ia menceritakan 

setiap apa yang ia dengar. Nah, berita palsu kaya gini bisa bikin orang panik, fitnah sana-sini, akhirnya  malah menimbulkan mudarat.” 

Fahmi manggut-manggut, walau masih kelihatan bingung. “Jadi, ini ularnya hoaks? Ularnya virtual?” 

“Betul! Ular virtual! Wkwkwk,” Fawaz ngakak, disusul Agil yang ketawa setengah mati  sambil menepuk-nepuk paha. 

Ternyata, kabar tentang “ular jadi-jadian di musholla” sudah terlanjur menyebar ke seluruh  kampung. Ada yang percaya, ada yang menambahi cerita, bahkan ada yang sampai mengaitkan  dengan mitos-mitos kuno. 

“Katanya ular itu jelmaan dukun kalah saingan.”  

“Ada yang bilang ular itu jin penunggu musholla yang marah karena terganggu .” 

“Eh, katanya ular itu bisa ngomong kalau tengah malam! Soalnya, kemarin ikut nimbrung  sama bapak-bapak mbahas bola” 

Cerita-cerita itu makin liar saja. Sampai-sampai ada yang menyarankan agar musholla  dikosongkan dulu. 

Fawaz yang mendengar gosip tersebut langsung geleng-geleng kepala. “Astaghfirullah, ini  gara-gara satu video editan, wong kampung bisa gempar begini.Masalah iki kudu dilurusno!” 

Keesokan harinya, Fawaz mengajak Fahmi dan Agil rapat darurat di serambi musholla. 

“Bro-bro, kita nggak bisa diam aja. Kalo hoaks dibiarkan, masyarakat makin bingung. Aku  punya ide,” kata Fawaz. 

“Idemu biasanya rada gila sih, tapi lanjut,” sahut Agil. 

“sek-sek, ini kan rapat ya, Mana kopi ama gorenagn e? biar pikiran lancer gitu” potong fahmi  deangan raut wajah ngeselin. 

“Oposeh mi! Makanan ae, lihat perut mu itu ” Bentak agil 

“Yoyoo map, monggo lanjutin Waz”

Fawwaz geleng-geleng lihat kelakuan temannya itu, dan melanjutkan perkataannya. “Kita  bikin tim Anti-Hoaks Santri!, gimana?” 

Fahmi melongo, “Nama kok kayak super hero…” 

“Lho ya memang. Santri itu kudu jadi super hero zaman now. Bukan pake jubah terbang, tapi  pake jempol sehat dan akal sehat. Kita harus bikin warga sadar kalau ular itu bohongan.” 

Mereka bertiga pun sepakat membentuk tim. Modalnya? Satu HP jadul, satu tripod bambu  bikinan Agil, dan semangat santri yang membara. 

Sore harinya, mereka mulai melakukan investigasi. 

Fawaz membawa kamera HP dan langsung merekam halaman musholla. “Nah, monggo para  warga, lihat. Tidak ada jejak ular sebesar orang. Kalau memang ada, pasti tanahnya membekas, ada  bekas sisik, minimal ada kulit ular yang lepas. Tapi nihil!” 

Fahmi ikut mengomentari seperti reporter dadakan. “Betul sekali pemirsa, musholla kita aman  terkendali. Tidak ada ular jadi-jadian. Yang ada cuma sandal jepit jadi-jadian—dari baru jadi jebol!” 

Agil langsung ngakak. “Wkwk, sandal jebolanku disebut-sebut.” 

Mereka lalu mengunggah video itu ke grup WhatsApp desa dengan caption: “Santri News TV: Klarifikasi Musholla. Tidak ada ular, yang ada cuma hoaks. Mari lebih bijak  sebelum share berita. Ingat pesan Rasulullah: tabayyun dulu sebelum percaya.” 

Awalnya, banyak yang tidak percaya. 

“Ah, bocah cilik ngerti apa.” 

“Lha wong aku lihat videonya jelas kok ada ular di musholla” 

“Santri-santri iki jangan-jangan malah nutupi.” 

Namun, tak lama kemudian ada salah satu warga yang lebih paham teknologi ikut nimbrung.  Pak Zainal, seorang guru komputer, langsung membongkar detail teknis. 

“Ini bener kata Fawaz. Videonya editan. Lihat bayangan ularnya nggak sesuai. Frame-nya  juga pecah di bagian tertentu. Hoaks iki!”

Setelah ada penjelasan ilmiah, barulah warga mulai sadar. 

Meski sudah jelas itu hoaks, tetap saja warga kampung punya cara unik merespons. 

Bu Rini, pedagang warung, nyeletuk, “Ya Allah, syukur to. Untung ularnya palsu. Aku udah  siap-siap naikin harga cabe gara-gara takut ular masuk dapur.” 

Pak Min, yang tukang becak, ikut-ikutan, “Lha aku malah mikir, kalau ularnya beneran gede,  bisa tak sewain buat narik becak. Hemat tenaga, rek.” 

Semua yang dengar langsung ketawa. 

Puncaknya, Jumat itu Fawaz diminta ustadz kampung untuk memberi tausiyah singkat  sebelum khutbah. Meski grogi, Fawaz memberanikan diri. 

“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara semua. Beberapa hari ini kita geger gara-gara video ular di  musholla. Padahal ternyata itu hoaks. Dari kejadian ini kita belajar, hoaks itu seperti ular beracun.  Kalau ular asli, paling nyengat satu orang. Tapi hoaks, bisa nyengat satu kampung, satu negeri!  Rasulullah mengajarkan kita untuk tabayyun, cek dulu sebelum percaya. Jadi, ayo jempol kita dijaga.  Jangan gampang share berita yang belum jelas. Ingat, tangkap jempol, bukan tangkap ular.” 

Masyarakat pun tertawa mendengar penutup Fawaz yang kocak. 

Sejak kejadian itu, warga desa jadi lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Grup  WhatsApp desa kini punya aturan baru: sebelum share berita, wajib tulis sumber dan klarifikasi. 

Fawaz, Fahmi, dan Agil semakin kompak sebagai tim Anti-Hoaks Santri. Mereka tidak hanya  melawan gosip ular, tapi juga hoaks-hoaks lain yang sering mampir di ponsel warga. 

Dan yang paling penting, mereka belajar bahwa melawan hoaks bukan hanya soal teknologi,  tapi juga soal akhlak. Karena menjaga lidah, dan jempol-itu bagian dari iman.

Leave A Reply

Your email address will not be published.