
Oleh: Muhamad Nuril huda (Santri Ponpes Amumarta, Yogyakarta)
Langkah Fahri terasa berat, bukan hanya karena ransel di punggungnya, tapi juga karena perpisahan yang akan terjadi. Matahari pagi mulai terbenam, seakan ikut merasakan kegugupan yang menggerogoti hatinya. Tangannya menggenggam erat tangan ibu, sementara ayahnya berjalan di samping Fahri. Mereka bertiga melangkah masuk ke halaman pesantren, di mana para santri sedang menyapu bersama-sama.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah limasan Jawa yang besar. Ayah Fahri mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, pak kyai dengan sorban putih keluar. Wajahnya teduh dan penuh wibawa. Ayah dan ibu Fahri menyalaminya dengan takzim, lalu kyai menepuk lembut bahu Fahri.
“Ini Fahri, Kyai. Anak saya yang akan mondok di sini,” ucap ayah Fahri.
Pak kyai tersenyum.
“Alhamdulillah, selamat datang, Nak. Di sini kamu akan menemukan keluarga baru. Belajarlah dengan sungguh–sungguh, ya.”
Fahri mengangguk sambil menahan tangis. Setelah berbincang sebentar, pak kyai memanggil pengurus pondok. Dialah Ustaz Rahmat, seorang pria bertubuh kurus dengan tatapan yang ramah.
“Ustaz, tolong antarkan Fahri ke asrama dan bantu dia beradaptasi,” perintah kiai.
Ustaz Rahmat mengangguk. Begitu Fahri berbalik, ia melihat mata ibunya berkaca-kaca.
“Yang kuat, ya. Ayah yakin kamu bisa.”
Fahri menahan air matanya, lalu mengangguk mantap. Ia tahu, inilah saatnya ia harus mandiri. Setelah menyalami kedua orang tuanya, ia melihat mereka berbalik pergi, meninggalkan perih di hatinya.
Ustaz Rahmat mengantar Fahri menuju sebuah gedung asrama bertingkat. Aroma khas pondok terasa semakin pekat. Belasan lemari kayu berbaris rapi, menunggu untuk diisi.
Beberapa santri sibuk menata barang, ada yang melipat pakaian, ada pula yang menata kitab-kitab. Suasana asing itu membuat Fahri menelan ludah. Ia menurunkan tasnya perlahan, takut membuat suara.
Dari sudut kamar, seorang santri berbadan tinggi dan berkulit putih menyodorkan tangannya. Ia tersenyum tipis.
“Santri baru ya? Aku Hasan.”
“Iya… aku Fahri.”
“Aku satu kamar denganmu. Namaku Rafi,” timpal seorang santri lain yang sedang sibuk menata buku–bukunya di rak. Wajahnya ceria dan penuh senyum.
Setelah perkenalan tak butuh waktu lama, mereka berdua mengajak Fahri berkeliling.
“Ayo, ikut kami. Mau kutunjukkan tempat–tempat favorit para santri di sini.”
Fahri hanya bisa mengangguk, ia butuh seseorang yang bisa jadi pegangan di tengah kebingungan ini.
Pagi berikutnya, suara kentongan berulang–ulang membangunkan para santri yang masih terlelap. Fahri terperanjat kaget. Hasan menepuk bahunya dengan keras.
“Cepat, bangun! Waktunya salat subuh berjamaah.”
Dengan mata setengah terpejam, Fahri segera menuju mushola. Selesai salat subuh, para santri tidak kembali tidur. Mereka sibuk dengan rutinitas harian.
“Ri, ayo ikut. Aku menyapu halaman,” ajak Hasan, menyodorkan sapu.
“Sekarang banget emang? Bukannya ini masih pagi?” tanya Fahri dengan polos.
Hasan tertawa kecil.
“Di pondok, pagi itu waktunya kerja bakti. Kalau kamu tidur lagi, bisa–bisa kena marah sama pengurus.”
Akhirnya Fahri menerima sapu itu. Meski hatinya agak malas, ia merasa hangat melihat
kebersamaan itu. Di sini, semua pekerjaan dilakukan bersama, tanpa memandang siapa anak kota dan siapa anak desa.
Hari–hari Fahri perlahan dipenuhi rutinitas pondok. Bangun sebelum fajar, mengaji kitab kuning hingga larut malam, serta sekolah formal di siang hari. Awalnya tubuhnya terasa lelah, namun lama–lama ia terbiasa. Persahabatannya dengan Hasan dan Rafi menjadi penopang utama.
Suatu malam, Rafi bercerita dengan nada dramatis.
“Kalian tahu, dulu aku pernah ketiduran pas salat tarawih. Aku sujud, eh malah kebablasan. Bangun–bangun jamaah udah bubar!”
Seketika kamar bergemuruh oleh tawa. Fahri sampai menepuk lututnya, menahan sakit perut karena terlalu banyak tertawa.
Namun, kehidupan di pondok tidak hanya berisi tawa. Ada pula momen penuh tantangan. Suatu malam, Fahri merasa rindu rumah dan masakan ibu. Ia menuju atap asrama.
Langit penuh bintang, tapi hatinya justru terasa kosong. Hasan mendekat sambil membawa kopi dan gorengan.
“Rindu rumah, ya?” Tanya Hasan lembut.
Fahri mengangguk, menahan air mata yang ia tahan sejak tadi. Hasan menepuk bahunya.
“Aku dulu juga begitu. Tapi percayalah, di sini kita sedang belajar bukan cuma cari ilmu, tapi juga hidup mandiri. Orang tua pasti bangga kalau kita kuat.”
Kata–kata itu menenangkan hatinya. Ia mulai memahami bahwa menjadi santri bukan hanya soal menuntut ilmu, melainkan juga belajar bertahan, mengendalikan diri, dan menghargai kebersamaan.
Hari–hari berjalan, Fahri kini menemukan pola hidupnya. Waktu yang dulu terasa panjang kini berjalan cepat. Setiap pagi ia menyapu halaman bersama Hasan dan Rafi. Di siang hari, mereka belajar formal, lalu malamnya mengaji kitab. Namun, di tengah semua rutinitas itu, tantangan baru selalu muncul.
Salah satunya adalah ujian hafalan Al–Qur’an. Setiap pekan, santri wajib menyetorkan hafalan. Bagi Fahri, ini adalah tantangan besar.
Hari itu, giliran Fahri maju.
“Coba mulai dari surat Al–Mulk ayat satu,” ujar gurunya dengan tatapan tajam.
Fahri menarik napas panjang, lalu melafalkan ayat. Baru beberapa ayat, ia lupa ayat selanjutnya.
“Ulang dengan benar!” Suara keras gurunya membuat wajah Fahri memerah.
Ia mencoba lagi, namun tetap salah.
“Fahri, jangan terburu–buru. Besok dihafalkan lagi, jangan sampai salah.”
Malamnya, Fahri duduk termenung. Hasan menghampiri.
“Gagal, ya?” Tanya Hasan dengan suara pelan.
Fahri hanya mengangguk.
“Santai aja. Kamu masih belajar, wajar kalau salah. Nanti aku temenin kamu murojaah di mushola sama Rafi.”
Malam itu, mereka bertiga mengulang hafalan ayat demi ayat. Rafi yang biasanya usil
ikut bergabung.
“Kalau kamu hafal sampai lancar, kalian aku traktir kopi depan pondok,” ucap Rafi.
Ucapan itu membuat Fahri tersenyum. Hari–hari berikutnya, Fahri mulai tekun. Setiap selesai salat, ia menyempatkan diri mengulang hafalan. Hasan dan Rafi setia mendampingi.
Konflik pertama Fahri datang dari hal yang tak terduga di lapangan sepak bola. Suatu sore, pondok mengadakan pertandingan antar kamar. Fahri ikut serta. Ia menatap Zidan, santri senior yang terkenal disegani dan paling jago main bola. Zidan juga kapten tim lawan. Pertandingan berlangsung sengit, dan Zidan terlihat jelas mengincar Fahri.
Saat bola berada di kakinya, Zidan datang merebut dengan kasar. Fahri jatuh tersungkur. Emosi pun memuncak.
“Hei, itu pelanggaran!” teriak Rafi dari pinggir lapangan.
Zidan mendengus.
“Main bola jangan manja! Kalau nggak tahan, jangan turun!”
“Aku jatuh karena kamu dorong, bukan karena aku manja!” seru Fahri.
Ia berdiri dengan wajah memerah. Tangannya mengepal. Matanya bertatapan tajam dengan Zidan.
“Aku tidak takut dengan santri senior sepertimu.”
Zidan terkejut. Belum pernah ada santri baru yang berani melawannya secara langsung.
Wajahnya yang semula angkuh kini menampakkan sedikit amarah yang tertahan. Wasit pondok meniup peluit panjang, menghentikan permainan. Pertengkaran itu menjadi buah bibir hingga malam.
Fahri merasa tertekan, karena Zidan disegani. Malamnya, ia termenung di serambi asrama. Hasan duduk di sampingnya.
“Ri, jangan terlalu dipikirin. Zidan memang keras, tapi dia nggak jahat. Kadang cara bicaranya aja yang bikin panas,” ucap Hasan.
Fahri menghela napas.
“Tapi rasanya aku nggak terima.”
“Justru itu tantangannya. Kalau kamu bisa sabar, kamu yang menang. Kalau kamu ikut emosinya Zidan, berarti kamu kalah,” timpal Rafi.
Perkataan itu membuat Fahri diam. Ia sadar, kesabaran adalah bagian dari latihan hidup di pondok. Namun, ia masih menyimpan kesal.
Cobaan lain datang. Suatu malam, Fahri menemukan ponsel tergeletak di dekat mushola. Ia mengambilnya, berniat menyerahkan ke pengurus. Tiba–tiba Zidan muncul.
“Itu ponsel siapa?” tanya Zidan curiga.
Fahri terdiam.
“Aku nemu di dekat mushola. Mau aku kasih ke ustaz.”
Zidan mengerutkan dahi.
“Jangan–jangan ponselmu sendiri? Kau tahu kan, nggak boleh bawa ponsel!”
“Astaghfirullah, bukan! Aku benar–benar nemu,” jawab Fahri terbata.
Untung saja Hasan dan Rafi datang, membela Fahri. Mereka bertiga akhirnya menyerahkan ponsel itu ke pengurus. Pengurus memuji kejujuran Fahri, meski ia masih merasa terpojok oleh tuduhan Zidan. Sejak saat itu, Zidan sering kali mengawasinya dari jauh, seolah mencari–cari kesalahan.
Beberapa hari kemudian, pengurus pondok menggelar bahtsul masail tentang fenomena media sosial. Salah satu pengurus menyampaikan.
“Kini hampir semua santri punya akun media sosial. Pertanyaannya, bagaimana hukum menggunakan media sosial dalam perspektif dakwah dan kehidupan sehari–hari?”
“Menurut saya, media sosial itu perlu. Asal kita gunakan dengan bijak, bisa jadi sarana dakwah. Tapi kalau disalahgunakan, jelas berbahaya,” jawab Fahri dengan percaya diri.
Beberapa santri mengangguk, bahkan ustaz tersenyum. Zidan hanya melirik, namun tatapannya kini berbeda. Ada sedikit rasa hormat yang tersembunyi.
Setelah acara, Hasan menepuk bahu Fahri.
“Tadi kamu keren banget. Berani bicara di depan banyak orang. Itu namanya santri zaman now, tetap pegang kitab tapi juga paham dunia luar.”
“Asik banget kalau kita bisa jadi santri yang hafal Qur’an, tapi juga bisa main TikTok buat dakwah. Bayangin, Zidan joget sambil ceramah!” Rafi menambahkan.
Seketika mereka bertiga tertawa terbahak–bahak. Di balik tawa, Fahri menyadari jika dunia luar menunggu mereka, dan sebagai santri, mereka harus siap menghadapi, bukan lari.
Suatu sore, pondok mengadakan Muhadharah, latihan pidato mingguan. Nama Fahri dipanggil. Dengan tangan gemetar, ia berdiri di depan teman–temannya. Ia membawakan tema tentang santri di era modern.
“Kita hidup di tengah arus zaman yang deras, penuh tantangan sekaligus peluang. Santri tidak boleh hanya jadi penonton, apalagi terbawa hanyut. Justru santri harus mampu berdiri tegak, memberi arah, dan menjadi cahaya bagi masyarakat.”
Semua terdiam. Beberapa santri bertepuk tangan, gurunya mengangguk pelan. Bagi Fahri, itu adalah kemenangan kecil yang tak pernah ia bayangkan.
Malamnya, Hasan dan Rafi duduk bersama Fahri di serambi mushola.
“Ri, pidatomu tadi keren banget. Aku jadi mikir, kalau kita serius, kita bisa kok mengisi zaman ini tanpa harus kehilangan jati diri,” kata Rafi.
“Kita tetap santri, tapi juga bisa berkontribusi untuk masyarakat modern,” Hasan menambahkan.
Fahri tersenyum.
“Aku juga masih belajar. Tapi aku yakin, kalau kita kompak dan tetap pegang prinsip, kita bisa jadi santri yang bermanfaat.”
Beberapa bulan kemudian, pondok ikut serta dalam lomba pidato online tingkat nasional. Awalnya, banyak yang ragu. Namun, dengan semangat baru, pengurus memberi izin.
Fahri memberanikan diri mendaftar. Ia menulis naskahnya, memadukan kutipan kitab klasik dengan isu kekinian.
Saat tiba giliran tampil, ia berbicara di depan kamera dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan.
“Santri tetap menjaga tradisi, tapi juga berperan sebagai pembawa perubahan positif.
Kita tidak boleh larut oleh arus zaman, tapi juga tidak boleh menutup diri. Kuncinya ada pada keseimbangan.”
Video itu diunggah. Beberapa minggu kemudian, pengumuman pemenang tiba. Seluruh santri berkumpul di mushola, menanti pengumuman. Semua mata tertuju ke layar, terlebih Fahri dan dua sahabatnya.
“Juara pertama dimenangkan oleh Fahri… dari Pondok Pesantren Amumarta Pleret, Bantul,” ujar juri.
Seketika mushola meledak oleh sorak dan tepuk tangan. Fahri dan dua sahabatnya melompat kegirangan sambil berpelukan. Kemenangan Fahri bukan hanya miliknya, tapi milik seluruh pondok. Ia telah membuktikan bahwa santri juga bisa bersinar di era digital.
Namun, kemenangan itu tidak serta–merta membuat hidup Fahri lebih mudah. Bisikan-bisikan iri datang.
“Fahri terlalu ngejar duniawi,” bisik beberapa santri.
Bisikan itu sempat membuat hatinya goyah. Suatu malam, Fahri duduk di serambi pondok. Hasan menepuk bahunya.
“Kenapa, Ri?”
“Aku dengar ada yang bilang aku terlalu sibuk sama lomba,” jawab Fahri.
“Biarlah orang ngomong apa. Yang penting, niatmu lurus. Kamu ikut lomba itu bukan buat sombong, tapi buat nunjukin kalau santri juga bisa membangun zaman,” Rafi ikut menyahut.
Fahri mengangguk. Kata–kata itu menenangkan hatinya.
Malam harinya, syukuran diadakan. Para santri dan pengurus berkumpul di halaman, menikmati hidangan. Tawa, doa, dan kebersamaan malam itu menjadi kenangan indah. Fahri merasa telah menemukan jalannya. Pondok bukan sekadar tempat menimba ilmu, melainkan rumah yang mengajarkannya bagaimana menjadi santri di tengah arus zaman: teguh menjaga tradisi, sekaligus berani melangkah menghadapi dunia baru.