Sanggar Jiwa Muslimah 

0

Oleh: Mimmatu Zulfa (Mahasiswi Universitas Sunan Bonang, Tuban)

  “Sring…sring…Tak…tak… Krrsh…” Suara besi yang saling beradu dan bergesekan, ujungnya yang tajam hingga menimbulkan suara ditengah hutan yang terletak disebuah desa yang asri, kanan kiri dipenuhi pepohonan yang menjulang tinggi seakan menjadi simbol rahasia alam. Tepatnya disamping sebuah bangunan kecil yang nampak seperti gubuk, disanalah dua orang berbeda usia saling beradu mengayunkan pedang yang ujungnya tajam dan berkilau, mereka adalah seorang ayah dan anak yang sedang berlatih pedang.

Seorang laki-laki yang usianya telah menginjak 30 tahun dan seorang anak perempuan yang menginjak remaja yang berusia 15 tahun, sebut saja Anan dan Naira. Anan lelaki single parent yang sekaligus menjadi ibu bagi putri satu-satunya. Lelaki yang mengajarkan semua hal dan pelajaran untuk sang putri walaupun masih remaja. Naira sendiri adalah gadis yang ceria dan sangat menyayangi ayahnya yang juga menjadi tempat untuk ia berkeluh kesah. Di usianya yang 15 tahun ini dia punya cita cita yang besar sebagai seorang wanita desa, ia ingin semua anak perempuan yang ada didesanya bisa mengenyam pendidikan,belajar,mengaji dan menyadari hak hak nya sebagai wanita yang setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan.

Naira sendiri bersekolah di desa sang kakek, desa yang terkenal dengan kemajuan pendidikannya, sebut saja Kampung Aksara adalah sebuah desa yang sudah mulai maju dan berkembang apalagi soal pendidikan, mulai dari tingkatan paud hingga SMK dan saat ini ia masih belajar dan mengaji langsung kepada kakeknya. Sang kakek sendiri memiliki peran penting dikampung nya, ia adalah salah satu pencetus madrasah dan pendidikan yang ada disana. Ibrahim itu adalah nama kakek Naira yang biasa dipanggil “Abah Ibra” ya semua menyebutnya seperti itu, sebagai sesepuh desa dan pemilik Pondok Pesantren yang disegani kakek Ibra mulai membuka pesantren nya untuk semua generasi didesanya yang ingin mengenal lebih dalam tentang ajaran Islam,mengaji dan hal lain lagi. Darul karamah itu adalah nama pesantren snag kakek, baru beberapa orang dari anak desa sendiri yang mengikuti kegiatan pendidikan baik formal ataupun non formal di pesantren itu, di asrama sudah ada sekitar 10 sampai 15 orang, sedangkan Naira sendiri belum masuk pesantren, dia hanya mengikuti kajian setiap minggunya dan mengaji bersama kakeknya ataupun ustadz/ustadzah lainnya disana.

Setelah nya ia pulang kembali lagi bersama ayahnya dirumah kecilnya, rumah yang terbuat dari kayu sederhana, atapnya terbuat dari ijuk(serat aren) yang tahan air dan berbagai cuaca, rumah yang memlik simbol keharmonisan dan kehangatan, ya didesanya masih banyak penduduk yang memiliki rumah terbuat dari kayu dan ijuk atau biasa disebut rumah sesek. Rumah tradisional yang khas dengan nuansa orang pada zaman dulu. Desa Cendana adalah desa yang ditinggali oleh Naira dan sang ayah, bernama Cendana karena kanan kiri terdapat banyak pohon dan kayu dan letaknya ditengah hutan. Ayah Naira sendiri adalah seorang tukang kayu, mengolah kayu yang di khususkan untuk para pengrajin kayu yang biasanya membuat furniture sehari-hari, seperti halnya meja,kursi,almari atau yang lainnya. Ayah Naira adalah pemuda yang beruntung karena bisa menikah dengan anak perempuan satu-satunya Abah Ibra, ya Anan adalah menantu dari Abah Ibra, Zahra putri pertama Abah ibra adalah istri dari Anan, seorang perempuan yang ayu dan lembut, memiliki kecantikan yang alami, tapi sayangnya istri Anan tidak hidup lama sesudah melahirkan anak perempuan nya, ia menghembuskan nafas terakhirnya, Naira lah Putri satu satunya Zahra dan Anan.

Naira hanya bisa melihat wajah mendiang ibunya dari foto yang diberikan oleh ayahnya. Langit sore mulai menggelap, perlahan sinar oranye pun turut menghilang dari pandangan, Anan dan Naira pun menyudahi kegiatan mereka dan mulai kembali menuju ke tempat tinggal mereka. Suara adzan pun terdengar dari seberang desa menandakan waktunya para muslim tuk mulai beribadah pada sang pencipta, perlahan rintik air pun membasahi bumi,ringan dan lama kelamaan air hujan pun mulai turun dengan lebat ditengah hutan dan bukit ini menambah suasana malam pun makin mengharukan, ya didesa Cendana hujan itu turun, udara dingin pun langsung menyergap kulit, suara jangkrik dan katak yang saling bersautan pun terdengar hingga di ruang tamu didalam gubuk kecil itu, Naira dan ayahnya yang selesai menunaikan ibadahnya  kemudian ia mengaji bersama sang ayah, setelahnya mereka berdua berbincang dengan hangat, Naira memegang foto ibunya dan berkata “Yah…” Panggil Naira pada ayahnya, “Ada apa putri kecilku?” Sahut anan dengan suara yang lembut seraya meminum teh hangat dihadapan nya.

“Kalau Naira mau masuk ke pesantren kakek Ibra, boleh atau tidak Yah?” Tanya Naira ragu-ragu dan menunduk didepan ayahnya. Anan pun diam sejenak kemudian tersenyum dan memegang pundak sang putri. “Memangnya ayah pernah tidak memperbolehkan Nai untuk melanjutkan pendidikan hm.., wahai anakku Naira, gadis kecilku kejarlah mimpimu setinggi mungkin. Buatlah ibumu bangga dengan mimpi-mimpi mu itu nak.” Ujar sang ayah dengan mengelus rambut anak perempuannya. Naira hanya diam dan kemudian berfikir setelah mendengar jawaban dari sang ayah, timbul keraguan dalam hatinya kemudian ia mendongak “Nanti kalau Nai masuk ke pesantren, ayah sendirian disini.” Katanya dengan suara lirih. Ayah Naira pun tertawa hangat “ha.ha.ha.. Anakku sebelum kamu lahir pun ayah sudah sendiri nak, tenang saja jangan khawatirkan ayahmu ini, ayah akan baik-baik saja kalau putri ayah bisa mengejar mimpinya. Besok kita bilang ke kakek dan mempersiapkan untuk kamu berangkat kesana oke..” Naira pun bangkit dan memeluk ayahnya dengan erat “Terimakasih ayah… Nai sayang ayah..” Naira pun tersenyum bahagia dan sang ayah pun membalas memeluknya “ Terimakasih kembali putri kecilku.” Kemudian mereka pun bersiap untuk melakukan ibadah, makan malam dan istirahat ditempat mereka masing-masing. 

  Satu minggu kemudian setelah Naira dan ayahnya pergi kerumah kakek Ibra, Naira pun sudah memasuki dunia pesantren dia sudah mulai bersekolah dan melakukan kegiatan sebagai seorang santri tentunya, dia sudah mempunyai banyak teman dan ia mempunyai salah seorang teman yang dekat dengan nya namanya adalah Aluna, yah dia adalah sahabat baru Naira yang mengenalkan segala macam tentang kepesantrenan pada Naira. Aluna sendiri sudah masuk ke pesantren sejak tingkatan SMP, jadi dia sudah memasuki 4 tahun menyantri dipondok darul karamah ini.

  Dua bulan pun telah berlalu, tak terasa waktu berjalan dengan cepat, ya Naira sudah melakukan banyak kegiatan di pesantren, mulai dari menghafalkan kitab jurumiyyah,wirid sehari hari dan masih banyak lagi. Dia pun mulai memahami tentang sudut pandang pesantren, mulai dari kodrat seorang perempuan dalam Islam, Islam yang memuliakan para wanita, dan kisah kisah para wanita yang tercantum dalam Al-Quran. Perempuan dan santri dan pondok Pesantren sangat berkaitan menurut Naira sendiri, karena apa, karena di pesantren Naira mengenal hak-hak perempuan yang sesuai dengan syariat yang banyak orang yang belum mengetahuinya.

Mulai dari cara berpakaian, bagaimanakah wanita muslimah seharusnya berpakaian? Ya yang menutup aurat,tidak menampakkan lekuk tubuh, tidak tabarruj dan masih banyak lagi. Selain itu perempuan juga sebagai Al-Madrasatul Al-Ula, maka pendidikan perempuan sangatlah penting, tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, dan mengurus anak dan suami, tapi pendidikan lah yang lebih utama. Di pesantren ini ia mulai mengembangkan cara berfikirnya dan mulai melihat bagaimana perkembangan didesanya yang masih menolak kemajuan dalam pendidikan, padahal ia sendiri memiliki cita cita tuk membuat desanya menjadi berkembang dalam hal pendidikan. Masyarakat didesanya sendiri termasuk para ibu dan perempuan disana yang memiliki perspektif sendiri tentang wanita yang “untuk apa sekolah tinggi, kalau ujungnya cuman jadi ibu rumah tangga” ya begitulah pemikiran mereka.

Naira pun pergi ke mushola dan mengikuti kajian dari ustadzahnya, ia bersama Aluna,mereka duduk di shaf tengah yang masih bisa dengan jelas mendengarkan kajian itu, kajian kali ini juga membahas tentang wanita, Naira dan Aluna mendengarkan kajian itu dengan seksama dan sesekali mencatat apa yang menurut nya penting. “Halo para muslimah sejati, apakah kalian tahu apakah perhiasan yang paling berharga didunia ini?” Tanya ustadzah Nisa dan berjalan mengelilingi para santriwati, para santriwati diam mendengarkan dan kemudian ustadzah Nisa melanjutkan ucapannya “seperti yang telah disebutkan dalam hadis nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

الدُنْيَا مَتَاعٌ، ومتاعٌ الدُنيا المَرأَةُ الصّالِحة.  

Yang artinya adalah “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah Wanita Sholihah”.

Nah, bagaimana kita para muslimah ini agar bisa menjadi wanita Sholihah, wanita Sholihah ini juga telah terabadikan dalam kalamullah dalam surat an-nisa ayat 34 yang artinya “Maka perempuan-perempuan yang Sholih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka.” QS. An Nisa ayat 34.

  Dapat diambil hikmah dari hadis dan ayat diatas, bahwa wanita sholihah itu ialah wanita yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi hal yang dilarang syariat. Begitu juga seorang Muslimah yang telah mempunyai suami, maka ia juga harus patuh dan taat kepada suaminya dalam hal kebaikan, menjaga dirinya dan marwahnya sebagai seorang istri, dan masih banyak hal lagi yang dapat kita semua pelajari. Anak anak, para santriwati siapa yang mau menjadi wanita sholihah?” Para santriwati langsung mengangkat tangannya tanpa terkecuali, mereka terlihat begitu antusias dan semangat, “Baiklah anak anak kelak semoga kalian menjadi para muslimah sejati dan wanita wanita sholihah Amiin..” “Amiin..” sahut mereka serentak. “Cukup sekian pertemuan dan kajian pada hari ini semoga bermanfaat, wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.” “Waalaikumsalam wa Rahmatullah wa barakatuh.” kemudian mereka berpamitan dengan ustadzah dan kembali ke asrama masing-masing.

Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, kini Naira telah menyelesaikan pendidikannya dari pesantren dan dia akan berpamitan kepada kakeknya. Aluna sahabat nya sekarang telah menjadi tenaga pengajar disana, selesai berpamitan kepada Aluna ia masuk ke rumah sang kakek yang kemudian ia disambut sang ayah. “Ayah…” Panggil Naira, seraya memeluk ayahnya dengan sangat erat, ayah yang selau sabar dan menyayanginya. “Halo putri kecil ayah, sudah siaperaih mimpi-mimpi mu nak, hm..?” Anan, sang ayah pun membalas pelukannya dan menatap nya dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan, bangga dan haru menjadi satu, mereka pun dudk diruang tamu bersama sang kakek, kakek Ibra pun tersenyum menatap cucunya yang telah dewasa “Alhamdulillah nduk.., cucu kakek, pendidikan mu telah selesai dipesantren ini tapi bukan kamu telah berhenti belajar, kamu akan belajar langsung bagaimana caranya menjalani kehidupan yang sebenarnya, nduk.. mandiri itu “harus” karena tidak semua orang bisa memberikan bantuan atau mereka mau membantu walaupun bisa, jadi, nduk… Jangan taruh hidupmu didalam genggaman orang lain, selagi kamu bisa, kamu mampu, maka berdirilah dikakimu sendiri, biarpun dunia saat itu hanya diam, kamu akan tetap berjalan dan melangkah menuju semua yang kamu inginkan. Hanya itu pesan dari kakek, dan terimalah ini..” kakek Ibra pun berdiri dan memberikan sebuah kotak berwarna coklat keemasan”bukalah ketika kamu sudah mendapat apa yang kamu inginkan” “terimakasih kakek.” Naira pun menerima itu kemudian langsung berpamitan dan pulang bersama ayahnya.

   Beberapa bulan telah berlalu setelah kepulangan nya dari pesantren, tepat selama itu juga ia telah memenuhi salah satu mimpinya, disinilah dia sekarang, disebuah gubuk minimalis yang nyaman, yang biasa ia gunakan untuk mengajar ngaji dan berkreasi bersama anak-anak yang ada didesanya, ia bertekad menjadikan anak-anak itu terutama anak perempuan, menjadi perempuan yang tangguh walaupun para orang tua masih ada yang keberatan dengan kegiatan positif ini, ia tak menyerah dan tetap melakukan kegiatan sehari-harinya, mimpi-mimpi anak desa adalah sebuah harapan yang indah, kini bersamanya semoga mimpi itu dapat terwujudkan atas kehendak sang kuasa.

Tempat itu ia beri nama “Sanggar Jiwa Muslimah” karena menurutnya nama itu sangat cocok untuk mereka, rumah kedua, tempat untuk pulang dan tempat untuk kedamaian jiwa dan hati, hanya ada lantunan anak-anak yang mengaji di setiap sudutnya, tawanya yang penuh harap akan mimpi indah, dan terutama untuk para muslimah yang mengembangkan bakat dan hobinya, apapun itu Naira bangga dengan apa yang telah ia lakukan. Hingga waktu terus berjalan, kemudia para orang tua dari anak-anak tadi pun terketuk hatinya, mereka sadar bahwa rumah ini, Sanggar ini membawa dampak positip bagi anak mereka, kini mereka pun tak segan membantu Naira, Naira pun tersenyum lega dan bersyukur atas semua yang ada.

Hari pun beranjak sore, ia pun kembali ke rumahnya, sang ayah telah menunggu didepan teras rumahnya “Assalamu’alaikum ayah…” Naira mencium tangan ayahnya dan sang ayah balas mencium keningnya “waalaikumsalam putri kecil ayah..” panggilan ayahnya tak pernah berubah dari dulu, meskipun ia sudah dewasa ayahnya tetap menanggap ia sebagai putri kecilnya, Naira pun masuk kedalam rumah seraya tersenyum, beres beres, setelahnya ia kembali ke teras dan membawa kotak coklat keemasan yang diberikan oleh sang kakek, ia duduk disamping ayahnya “ Ayah.. mari kita buka sama-sama hadiah ini..” “ baiklah nak..” mereka pun membuka kotak itu dan mereka terkejut melihat isi dari kotak itu, sang ayah menatap isi kotak itu dengan mata berkaca-kaca, bibir begetar “ini…” Kata Anan pada putrinya “ ya..ayah ini semua adalah barang-barang milik mendiang ibu yang disimpan oleh kakek” Naira memegang sebuah album foto dan buku catatan yang terukir dengan jelas sebuah nama “Fatimah Az-Zahra” dengan tinta warna hitam kecoklatan, Naira pun membuka album itu dan ternyata itu adalah foto mendiang ibunya ketika masih bersekolah dan dipesantren, sangat mirip dengannya, bedanya ia lebih tinggi dari sang ibu, Naira selesai melihat dan menyerahkan album itu kepada ayahnya, hingga tatapan Naira tertuju pada gaun putih yang masih didalam kotak dan ada catatan kecil diatasnya “ untuk putri ku yang cantik kelak” tulisnya disana.

Anan sudah tidak kuasa menahan tangis, ia pun memeluk putrinya “terimakasih nak..telah membantu mewujudkan mimpi ibumu yang hampir sama denganmu, terimakasih juga telah menemai ayah selama ini.” Naira pun membalas pelukan ayahnya, matanya pun tak kalah merah karena ia pun telah menangis sejak tadi. “Terimakasih kembali ayah..telah mendukung apa yang telah Nai lakukan, terimakasih juga ayah telah menemani,menjaga dan merawat Nak seorang diri ini selama ini.”

  ~Kunci dari keberhasilan juga bisa dilihat dari 3 hal yaitu: Anak-anak yang bersungguh-sungguh meraih cita-cita, orang tua yang senantiasa mendukung mimpi anaknya dan menemani langkahnya, dan yang terakhir adalah seorang pendidik (kyai/guru) yang berjasa mendidik santri/muridnya untuk meraih kesuksesan dengan tak kenal lelah, senantiasa mendoakan para santri/murid nya di setiap malamnya.~

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.