Oleh: Muhamad Fahmi Kamal, Ma’had Aly Andalusia
Malam mulai menggulung tirainya, diiringi semburat fajar yang berselimut mendung, gerimis berbisik lembut di setiap rintiknya, membasahi setiap sudut pesantren tua ini. Remang-remang kudengar seruan azan bersahutan dari berbagai penjuru, bersama sejuknya udara pagi. Membawa kesyahduan yang menyapu kegelisahan.
Aku yang sehabis bergelut dengan dinginnya air wudu, membetulkan lipatan sarung, membuka lemari kayu yang dipenuhi stiker partai dan coretan spidol karya seniman pondok kami, mengambil songkok hitam yang kini mulai menguning. Saksi bisu perjuanganku, yang selalu menemaniku tanpa kenal waktu.
“Ayo San! Benerin sarung apa benerin rumah tangga si? Lama banget” ucap Udin dengan gaya cengengesan yang sudah menjadi ciri khasnya, dia sudah menungguku di depan kamar, menenteng sandal jepit dan payung lusuhnya.
“Mana ada lama, kamu tuh yang kecepetan” jawabku sambil menghampirinya, “Eh tapi aku ga ada payung”.
“Tenang aja, sepayung berdua,” Udin menunjukkan payung lusuh di tangannya. “Hahaha, udah kaya judul lagu aja oke deh”. Jawabku terkekeh.
Sebenarnya jarak kompleks kami dengan masjid tidak terlalu jauh, cuma terpaut empat kompleks yang masing-masing terdiri dari lima kamar, cukup untuk membuat basah ketika berlari saat hujan. Biasanya banyak santri yang menuju masjid untuk berjamaah, namun sekarang adalah waktunya para santri menikmati liburan tengah semester, pulang, dan beristirahat. Aku biasanya pulang saat lebaran saja, bukan tanpa alasan. Pertama liburan adalah waktu yang paling nyaman untuk murojaah, mengulas pelajaran yang telah lampau, kalau di rumah mungkin aku bakal hibernasi panjang. Alasan kedua adalah aku menemani Udin yang anak rantau dari pulau seberang.
Kami berjalan pelan melewati tanah dan kerikil yang direndam genangan air, menikmati segarnya udara pagi yang berbaur hujan, meskipun sebelah pundak kami basah karena payung yang cuma muat untuk satu orang. kami melewati kompleks lain satu persatu sambil mengobrol, membahas hal remeh yang mungkin berguna suatu saat, seperti apakah tahi ikan najis atau di ma’fu?
“Bentar,” tiba-tiba Udin menghentikan langkahku, aku menoleh, wajahnya terlihat serius, “kaya ada suara. Kamu denger ga?” lanjutnya. “Hah suara apa? ga ada tuh, masih pagi jangan nakut-nakutin lah.” sahutku yang mulai panik. Udin mengabaikan keluhanku, langsung menarik tanganku menuju kompleks sebelah, ternyata bukan penampakan makhluk astral dari dunia lain, tapi dua santri junior yang sedang memperdebatkan sesuatu. si Gundul dan si Keriting, aku lupa nama mereka, tapi sudah paham betul wajahnya. Padahal biasanya aku melihat mereka akur-akur saja, kok bisa ribut gini, masih pagi pula.
Tanpa pikir panjang, Udin langsung menghampiri mereka. “Kenapa ini? Pagi-pagi udah rame aja” tanya Udin yang membuat mereka menoleh dan berhenti dari perdebatan itu.
Si Gundul menjawab “Eh ada kang Udin sama kang Hasan. Ngga papa kok kang, cuma-” belum selesai bicara, tangan Udin yang sigap langsung merangkul pundak mereka, “Eits.. sekarang udah mau jam lima tuh,” spontan mereka berdua mendongak, aku juga ikut mendongak, melihat jam dinding, iya juga. “Tau kan artinya apa?” lanjut Udin dengan senyum “sok” kerennya. “Emang artinya apa kang?” jawab mereka serentak. “Yaelah malah tanya balik, jamaah dong, jangan mentang-mentang liburan jamaahnya juga libur ya” ucap Udin, yang dibalas dengan haha-hehe polos mereka. “Nanti selesai jamaah kalian dateng ke kompleks kita ya, cerita sama kang Hasan tuh”. Mereka mengangguk mengiyakan. Aku langsung memelototi Udin ‘Loh kok malah aku si?!’. Dia cuma tersenyum meniru gaya si Gundul dan si Keriting.
“Kalian ada payung ga?” kali ini aku yang bertanya. “Ada ini kang,” jawab mereka. “Nah sip, ayo ke mesjid bareng aja”. Akhirnya kita berempat berangkat bersama.
Selesai shalat, Udin langsung melaksanakan ritualnya, apel pagi di kamar mandi berpintu besi, udah ngga tahan katanya. Sedangkan aku sudah duduk di teras depan kompleks, berhadapan dengan dua santri junior itu sambil menikmati secangkir kopi hangat yang mereka buatkan. ‘Sungguh pengertian mereka ini’.
“Siapa yang mau ngomong duluan?” tanyaku memecah keheningan. Mereka saling pandang, seolah berdiskusi dulu, “Saya kang,” si keriting angkat suara. Dia menceritakan bahwa si Gundul meminjam uangnya beberapa minggu lalu, katanya mau mengembalikan sebelum liburan. Tapi dia belum mengembalikannya sampai sekarang, si Keriting memberanikan diri untuk menagih, karena uangnya juga sudah habis dan dia sedang membutuhkannya untuk naik bis, pulang. Ternyata si Gundul cuma punya uang pas, dan dia juga butuh itu untuk pulang, mulailah mereka berdebat mencari solusi yang paling tepat. “Baiknya gimana kalo menurut kang Hasan?” Tanya si Keriting. Aku terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang dia sampaikan sambil menyeruput kopi. “Owalah masalah utang, emang dari sini ke rumahmu abis berapa kalo naik bis?” tanyaku pada mereka. “tiga puluh ribu biasanya kang.” Jawab si Gundul. “Kalo kamu?” aku beralih ke si keriting. “Sama sih kang.”
“Loh kok bisa sama, jangan-jangan kalian ini serumah ya?” tanyaku heran.
“Hehe enggak kok kang, cuma satu kecamatan aja”
“Oww, kang Hasan kasih tahu ya, nagih utang itu wajib hukumnya, begitu juga bayar utang. Apalagi kalo udah janji mau bayar di tanggal ini bulan ini misalnya.” mereka tertunduk, merasa bersalah. “Tapi yang udah kejadian mah ya udah, biar jadi pembelajaran, yang penting jangan di ulangi lagi”.
Aku berdiri meninggalkan mereka dalam renungan, berjalan menuju lemari, membuka stoples kecil tempatku menyimpan uang. Melihat isinya yang tinggal tujuh puluh ribu, aku malah prihatin pada diriku sendiri. Kalau kuberi semuanya, dua minggu ke depan aku mau makan apa? Sedangkan di waktu liburan, dapur pondok cuma menyediakan kompor, masa iya makan api. Tapi sebagai senior yang baik hati dan tidak sombong, aku harus membantu mereka. Kuambil satu lembar lima puluhan, berat sekali rasanya. Aku jadi teringat nasehat ustadz Usman, katanya semakin berat kita merelakan, semakin besar pula pahala yang akan kita dapatkan, lagi pula masih ada Udin yang mungkin punya uang.
Aku kembali menghampiri mereka, menatap si Gundul, mengulurkan tangan memberi salam tempel. Dahinya berkerut “Eh apa ini kang?” si gundul bertanya dengan nada bingung, terlihat ingin menolak, tapi ku pegang erat telapak tangannya. “Udah pegang aja,”
“Gausah repot-repot kang, jadi ga enak”
“Yaelah kaya sama siapa, kita itu keluarga disini. Seneng bareng susah juga bareng, kalo ada rezeki kita bagi rata, kalo ada masalah kita cari solusinya sama-sama. Gitu kan?” aku tersenyum menatap mereka, menaik-turunkan alis. Mereka mengangguk, akhirnya si Gundul menerima selembar uang itu.
“Emm.. kang” si Gundul memanggilku
“Ya?”
“Ada ngga sih alesan lain kang Hasan dan teman-teman suka bantu orang?, soalnya kita sering liat santri sini bantu warga desa. Padahal dulu ada tuh warga yang ngga suka banget sama santri, eh sekarang malah jadi yang paling baik ke kita.”
“Hei heiii! Apakah berbuat baik butuh alasan?” tiba-tiba Udin menyahut, dia sudah ada di samping kami, dengan tubuh yang dibasahi air wudhu dan beberapa bercak hujan di pundaknya, entah sejak kapan dia berdiri di sana. “Sebenernya kita ngga butuh alesan buat berbuat baik, saling tolong-menolong. Tapi karena kalian tanya.. maka biarkanlah kang Udin ini yang menjawab.”
“Wih apa itu kang?” mereka terlihat antusias dengan jawaban yang akan di berikan Udin, aku sih cuma pura-pura kepo biar lebih dramatis, aslinya sudah tahu betul dia mau bilang apa.
Dia melepas songkok hitamnya yang masih bau pabrik, legam dan indah, memandangnya sebentar lalu menunjukkan pada mereka “Kalian tahu ini apa?”
“Songkookk!!” mereka menjawab dengan semangat. Udin mengangguk, melipat tangannya di dada, berlagak seperti filsuf keren dalam film sejarah yang pernah kami tonton, kemudian menatap langit. Hujan semakin mereda, cahaya matahari mulai menyebar lewat sela-sela awan mendung yang perlahan menipis, menyisakan aroma khas dari tanah yang bercampur air.
“Betul.. songkok, peci, atau kopiah adalah benda yang kita pakai di kepala, untuk menutupi kepala yang keriting atau botak,” mereka berdua tampak tersindir, menahan tawa sambil saling sikut, sedangkan Udin terus melanjutkan ucapannya. “Tapi bukan cuma itu, songkok adalah identitas kita orang muslim, khususnya santri. Kita menggunakannya di mana pun, kapan pun. Mengapa demikian?, karena itulah kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW dan salafusshalih untuk memuliakan kepala, tempat kita berpikir dan mengolah ilmu. Selain itu songkok juga menjadi simbol nasionalis dan pemersatu bangsa, para pahlawan mengenakan songkok untuk membakar semangat dan mengungkapkan perlawanan mereka terhadap penjajah, demi mempertahankan Tanah Air tercinta. Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwasanya memakai songkok memiliki dua makna, yaitu makna lahir dan batin. Makna lahirnya adalah kita mengenakan songkok sebagai bentuk taat pada sunnah Rasul dan cinta tanah air, sedangkan makna batinnya adalah sebagai hamba yang taat kita perlu mengenakan songkok yang disebut iman dan takwa, dan sebagai warga negara yang patuh kita perlu mengenakan songkok yang disebut Pancasila.”
“Oohh.. berarti mengenakan songkok Pancasila, iman, dan takwa berarti kita berpedoman dan berpegang teguh padanya, begitu kang?” si Keriting bertanya memastikan.
“Yap betul sekali”
“Tapi kenapa kita harus berpedoman pada Pancasila?” si Gundul menimpali.
“Hmm pertanyaan bagus, jawabannya karena Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sumber dari segala sumber. Setiap undang-undang yang ada di Indonesia harus sesuai dengan kaidah Pancasila. Jika setiap orang mengenakan Pancasila sebagai songkoknya, maka hatinya akan tergerak untuk melakukan kebaikan, demi menjaga nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga persatuan Indonesia, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti santri yang mengenakan songkoknya, semangatnya untuk menuntut ilmu akan terbakar demi menjunjung tinggi Islam. Begitulah seharusnya kita sebagai santri dan warga negara.”
“Wih keren banget kang Udin, udah kaya guru PPKn aja.”
“Hahaha!” kami tertawa dengan ungkapan terpesona si Gundul, Udin yang paling ngakak, mungkin dia berharap dibilang seperti filsuf keren. Ternyata jadi guru PPKn, walaupun ngga kalah keren sih.
Tak terasa sudah dua jam kita mengobrol, hujan pun sudah reda, aku melongok ke kamar, melihat jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. “Eh kalian mau pulang hari ini?” tanyaku pada mereka berdua. “Iya kang insya Allah” jawab mereka. “Yaudah langsung siap-siap saja, mumpung masih pagi, masih banyak bis.” Mereka mengangguk, “Oh iya kalian udah pada sowan kan?” tanyaku lagi, sowan adalah kebiasaan kami para santri. Menghadap Abah atau Kyai, biasanya kami lakukan jika ingin pamit pulang, kembali ke pondok, atau urusan lain yang sekiranya membutuhkan persetujuan Abah. “Sudah kang” jawab mereka serentak. “Makasi banget ini kang, kita pamit dulu ya.” si Gundul menyalamiku dan Udin, di susul si Keriting di belakangnya, kemudian mereka kembali ke kompleks masing-masing, mengambil barang dan bersiap pulang. Melihat punggung mereka yang semakin menjauh membuat kami jadi bernostalgia, teringat liburan saat tahun pertama kami di pondok. Ketika aku mengajak Udin pulang ke rumahku, sehabis hujan di pagi hari, saat itu kami sangat senang dan tidak sabar, wah mirip sekali suasananya.
“San..” Udin memanggilku, aku menoleh.
“Emang tadi ada masalah apa mereka berdua?” lanjutnya.
“Oh cuma masalah utang kok, udah selesai tenang aja.”
“Oww utang, terus gimana caranya tuh kok bisa udah selesai?”
“Ku kasih lah duitku, sekarang tinggal dua puluh tuh di lemari, kamu masih ada duit kan?”
“Uluh-uluuh.. kang Hasan baik sekali ya, haha. Duitku juga tinggal tiga puluh sih, kita puasa aja ya hahaha” sempat-sempatnya meledek, padahal dompetnya juga sudah sekarat, dasar Udin. Tak apalah kita puasa, itung-itung buat tirakat.
“Iya deh puasa aja, siapa tau ntar pas pulang jadi bisa terbang.” Aku juga ikut bercanda, kami tertawa bersama. Setelah itu kami bingung mau apa, akhirnya kami mengambil kitab kuning, mencari pembahasan tentang tahi ikan yang masih belum terpecahkan. Ternyata ada perbedaan pendapat ulama dalam menghukumi tahi ikan, dalam kitab Syarh Al-muhadzab dijelaskan bahwasanya tahi ikan itu najis, dan itu adalah pendapat yang shahih, ada juga yang berpendapat tidak najis, namun pendapatnya dhaif.
Selesai sudah masalah pagi ini, tinggal masalah perut yang masih belum menemukan solusi. Tiba-tiba datanglah Oji, teman sekelas kami yang menjadi abdi ndalem karena ketelatenan dan kerajinannya, dia mengajak kami membantu memasak karena beberapa abdi ndalem lain juga pulang liburan, kami siap membantu, dia juga bilang kalau lapar ke kamarnya saja, wah kami jadi makin semangat membantu. Alhamdulillah semoga semua masalah benar-benar usai untuk hari ini.
Tamat.