Komite Hijaz, Second Track Diplomacy, Problematika Historiografi Indonesia

0

Riadi Ngasiran

Nahdliyin journalist cum historian, Ketua Lesbumi PWNU Jawa Timur

 

Terbitnya Dokumen Perjalanan Komite Hijaz: Utusan Nahdlatul Ulama Menghadap Raja Ibn Saud (1346/1928) disunting A. Ginanjar Sya’ban dan Diaz Nawaksara, merupakan informasi berharga. Ia patut disambut bahagia. Membahagiakan karena selama ini dokumen bersejarah terkait berdiri NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia (juga di dunia), tak dikenal masyarakat secara luas kecuali di kalangan sendiri.

Dalam penulisan sejarah (historiografi) Indonesia kontemporer, Komite Hijaz sebagai langkah para ulama dan kiai pesantren diprakarsai KH Abdulwahab Hasbullah (almaghfurlah) terhadap kesadaran global ini nyaris tak pernah disebut – kecuali sejumlah sumber dari kalangan ulama pesantren sendiri. Padahal, dalam perjalanan sejarah umat Islam di negeri ini, diplomasi jalur kedua (Second track diplomacy) oleh NU, memberikan rujukan dalam peran sejarah berikutnya. Misalnya, terselenggaranya Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) diprakarsai KH Idham Chalid dan KH Achmad Sjaichu.

KIAA I yang diselenggarakan pada 6 – 14 Maret 1965 di gedung Merdeka Bandung. Dimaksudkan untuk menyatukan umat Islam di Asia dan Afrika, melenyapkan penindasan di Asia dan Afrika, dalam rangka memelihara perdamaian internasional.

KIAA I didahului Konferensi Pendahuluan yang diselenggarakan pada 6 – 14 Juni 1964 di Markas Besar Ganefo Senayan Jakarta. Adapun Konferensi Pendahuluan KIAA ini dihadiri delapan negara: Indonesia sebagai penyelenggara, Iraq, Nigeria, Pakistan, Philipina, Saudi Arabia, Thailand dan Republik Persatuan Arab.

KIAA I dihadiri oleh 33 negara peserta dan empat negara peninjau. Membahas masalah-masalah yang dihadapi umat Islam di kedua benua itu khususnya dan di dunia pada umumnya, serta untuk menyatukan umat Islam secara umum. KIAA I berhasil memberikan dasar pemikiran bagi kerja sama antarumat Islam dalam memperjuangkan kehidupan dunia yang penuh kedamaian — dengan dikeluarkannya Deklarasi Konferensi Islam Asia Afrika. Di samping itu juga KIAA I telah berhasil membentuk Organisasi Islam Asia Afrika (OII) dengan Sekjen KH Achmad Sjaichu.

Pada hari pertama KIAA, 6 Maret 1965, Presiden Sukarno membuka konferensi di ruang sidang Gedung Merdeka Bandung. Terdapat sejumlah rangkaian acara seremonial: pembacaan Al-Quran dan doa. Pada akhirnya ketua panitia KIAA, KH Idham Chalid, menyampaikan pidatonya.

Dalam pidatonya, KH Idham Chalid menekankan pentingnya persatuan di kalangan negara-negara Asia dan Afrika dalam melawan praktik imperialisme:

“… bahwa rakyat Asia Afrika masih tetap menghadapi imperialisme. Tentang alismaalisme harus secepat mungkin kita selesaikan di muka bumi Asia Afrika chususnja dan umumnja di dunia, … Itulah sebabnja kita harus memperkuat persatuan dan solidaritas demi mewujudkan dunia baru jang diinginkan melalui Konperensi Islam Asia Afrika I ini.” (AAIO Secretariat, 1965, Dokumen, h. 5-11).

Pada hari kedua, 7 Maret 1965, sidang pleno pertama berlangsung dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Sidang Pleno pertama ini dipimpin oleh Hamid Ahmad Khan dari Pakistan. Sidang pleno ini dilanjutkan dengan memilih pimpinan konferensi. Delegasi dari Irak, H. M. Gailani mengusulkan Indonesia sebagai pimpinan (Duta Masjarakat, 9 Maret 1965). Usulan ini pun diterima delegasi negara-negara lain.

Dalam perjalanan NU berikutnya, terdapat International Conference of Islamic Scholars (ICIS) alias Konferensi Internasional Cendekiawan Islam, sejak 2004 hingga 2014. ICIS, forum pertemuan para ulama dan cendekiawan Muslim untuk membahas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim di seluruh dunia yang diprakarsai KH A. Hasyim Muzadi (almaghfurlah).

Terselenggaranya International Summit of Moderate Islamic Leader” (ISOMIL) digelar di Jakarta pada 10-13 Mei 2016 masa PBNU dipimpin KH Said Aqil Siroj, membuktikan peran Second track diplomacy itu, diikuti sekitar 400 peserta, berlatar belakang pemuka agama, pimpinan politik, dan akademisi dari 35 negara, termasuk Indonesia selaku tuan rumah.

ISOMIL berhasil dikeluarkan Deklarasi Nahdlatul Ulama, sebagai representasi Islam moderat di bumi Nusantara. Isu yang berkembang ketika itu, NU berperan melindungi segenap rakyat Indonesia dari berbagai upaya adu domba, terutama yang bermotifkan agama. Dalam konteks global, fakta adu domba dialami penguasa-penguasa di Timur Tengah ketika itu. Husni Mobarak (Mesir), Moammer Khadafi (Libya), dan Saddam Hussein, terguling bermotif perubahan. Tapi ternyata rakyat di negara-negara itu belum sejahtera, bahkan mereka masuk jurang konflik berkepanjangan. Sulit diperkirakan akan berakhir.

Sejauh ini, Komite Hijaz dianggap cikal bakal terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama, dimotori KH Abdulwahab Hasbullah, setelah direstui Hadratusysyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Anggapan itu harus dikaji ulang. Fakta dokumen yang ada, Komite Hijaz merupakan kebijakan dan langkah awal bersejarah kehadiran NU.

Sebagai cikal bakal NU, adalah tiga organisasi embrional: Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Nahdlatut Tujjar, serta peran hai’ah Ta’mirul Masajid. Itulah yang juga merupakan pilar-pilar eksistensi NU di tengah Masyarakat.

Komite Hijaz dibentuk pada Januari 1926. Panitia ini bertugas untuk merumuskan sikap para ulama Ahlussunnah Waljamaah serta mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar Islam di Makkah yang digagas Ibnu Saud, penguasa baru Hijaz, dengan menghubungi para ulama terkemuka di Jawa dan Madura.

Pembentukan Komite Hijaz dilatarbelakangi oleh kemenangan Ibnu Saud (penguasa Najed) atas Syarif Husen (peguasa Hijaz) pada tahun 1924 di tanah Hijaz yang mencakup Makkah dan Madinah. Kemenangan Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi membuat kecemasan di kalangan ulama Ahlussunah waljamaah karena mulai tersiar kabar tentang pelarangan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, pembongkaran makam Nabi dan sahabat, pelanggaran kemerdekaan bermazhab di wilayah Hijaz, dan lain-lain. Apalagi saat itu para ulama dan santri mukim di Haramain mulai pindah atau pulang ke negara masing-masing.

Di dalam negeri juga terjadi dinamika sebagai respons atas situasi politik internasional tersebut. Para tokoh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain-lain yang tergabung dalam Kongres Islam juga mempersiapkan tim untuk berangkat ke Muktamar Islam Dunia. Namun, umumnya mereka tidak terlalu memperhatikan kegelisahan para ulama pesantren penganut Ahlussunah waljamaah.

BACA JUGA

Susunan panitia Komite Hijaz. Penasihat: K.H. Abdul Wahab Hasbullah; K.H. Mashyuri; K.H. Cholil Lasem. Ketua: H. Hasan Gipo. Wakil Ketua: H. Sholeh Syamil. Sekretaris: Muhammad Shodiq. Pembantu: K.H. Abdul Halim.

Pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) komite mengadakan rapat di rumah Kiai Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya. Rapat dihadiri para ulama terkemuka, kemudian dikenal sebagai muassis NU. Forum rapat sepakat menunjuk K.H. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Hari itulah dibentuk organisasi, berdiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Nama berakar dari kata nahdlah (renaissance, gerakan intelektual dan filosofis yang mendominasi Eropa pada abad ke-17 dan ke-18.) ini, atas usulan KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Kata nahdlah, dari aforisme Kitab Al-Hikam, pun menjadi rujukan penting bagi organisasi yang didirikan para ulama pesantren ini.

KH R Asnawi Kudus pada akhirnya batal berangkat karena kapal yang akan ditumpangi sudah terlebih dulu berangkat ke Makkah, kemudian K.H. Abdul Wahab Hasbullah berinisiatf mengirim mosi ke muktamar di Makkah melalui telegram. Tak hanya itu, NU kemudian memutuskan untuk mengirim delegasi ke Makkah untuk langsung menemui Raja Ibnu Saud dan menyampaikan hal-hal yang menjadi aspirasi ulama pesantren. tersebut Kali ini yang menjadi delegasi adalah KH Abdulwahab Hasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanaim al Amir al Mishri.

Pada tanggal 10 Mei 1928 (20 Zulqa’dah 1346) keduanya diterima Raja Ibnu Saud dan menyampaikan aspirasi tersebut. Setelah menemui Utusan tersebut, Raja Ibnu Saud menjamin kebebasan bermaliyah dengan mazhab empat di Tanah Haram serta tidak akan menggusur makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Fakta Komite Hijaz, bersumber dokumen-dokumen terbitan berkala Swara Nahdlatoel Oelama (edisi No.07, Th I, Rajab 1346 hlm 20-21; edisi No 09, Th I, Ramadhan 1346, hlm 18-19; edisi No 10, Th I, Syawwal 1346, hlm 18-19; dll. Selain itu, Oetoesan Nahdlatoel Oelama (edisi No 01 Th I, 1 Rajab 1347H, hlm 9-15). Demikian sumber primer dokumen Komite Hijaz.

 

Hal Metodologi

Ilmu Sejarah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun bagian dalam Masyarakat. Manusia mempunyai Sejarah hidupnya sendiri, dalam tingkatan yang lebih luas Masyarakat, juga memiliki sejarahnya sendiri.

Sejarah sebagai lazimya ilmu sosial lainnya juga memiliki metode. Metode sejarah secara akademik digunakan untuk mengumpulkan data dan fakta berdasar dokumen atau kesaksian, sehingga kisah Sejarah yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu peristiwa Sejarah yang valid. Hal ini, tentu saja, berbeda dengan kisah berupa mitos dan legenda dalam masyarakat yang, dari sisi sumber dan data sulit atau bahkan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Penulisan sejarah (historiografi) merupakan tahapan terakhir dari tahapan metode Sejarah: menyajikan hasil-hasil rekonstruksi imajinatif dari masa lampau sehingga sesuai dengan jejak-jejaknya maupun dengan imajinasi ilmiah.

Ketika penulisan kisah sejarah dilakukan secara “ilmiah”, penulisan sejarah mulai menggunakan metode sejarah. Prosedur kerja seorang sejarawan untuk menuliskan kisah masa lampau berdasar jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau.

Setidaknya, ada empat tahapan. Pertama, kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau (heuristic): dokumen, sumber lisan, sumber benda, audio-visual, sumber digital;

Kedua, Kritik (sumber) Sejarah, menyelidiki apakah jejak-jejak itu palsu atau tidak, baik bentuk maupun isinya; Ketiga, Interpretasi: menetapkan makna dan saling terkait atau hubungan dari fakta-fakta yang diperoleh setelah melalui proses kritik sumber; dan

Keempat, Penyajian atau menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah atau narasi. Tahapan terakhir inilah disebut Historiografi. Dalam melakukan penulisan ini diawali dengan penentuan topik penelitian, langkah selanjutnya membuat rencana penelitian dissul dengan membuat sistematika penlisan dalam bentk bab dan sub-bab.

Sumber-sumber yang telah didapat dalam pencarian sumber tidak bisa langsung digunakan dalam penulisan Sejarah. Sumber Sejarah harus melalui kritik sumber untuk menjamin kredibelitas fakta yang dikandungnya. Kritik sumber terdapat dua: ekstern (berkaitan dengan keaslian sumber) dan intern (berkaitan isi dari sumber).

Dalam tahapan kritik, menghasilkan fakta-fakta yang telah teruji kredibelitasnya. Penyajian fakta-fakta apa adanya tanpa diberi penafsiran bukanlah menghasilkan Sejarah namun kronik. Karena itu, pascakritik sumber sejarah adalah intepretasi (penafsiran). Interpretasi diperlukan agar fakta yang telah ditemukan dapat dirangkai dalam suatu benang merah yang bisa menyajikan suatu kisah sejarah.

Inilah agaknya kekurangan dari terbitnya dokumen Komite Hijaz, susunan Diaz Nawaksara. Memang, diterbitkan sebagai katalog Pameran Foto-foto Komite Hijaz memeriahkan Satu Abad NU di Surabaya pada awal 2023 lalu.

Akhirul kalam: Menjadi problem dalam penulisan sejarah yang terkait dengan kaum santri, NU sebagai kekuatan Islam moderat di Indonesia, sering disepelekan para sejarawan. Hal itu, disebabkan dengan kurangnya data yang sumber-sumber yang tersedia. Semoga dengan kehadiran dokumen-dokumen tersebut, menjadi pertimbangan dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang lebih proporsional.

Bukan hanya dalam penulisan Sejarah Indonesia secara umum, pun dalam historiografi Islam Indonesia, peran para ulama pesantren (NU) terabaikan. Pengakuan Prof Ahmad Mansur Suryanegara, kepada kami saat kami undang untuk membahas Monumen Resolusi Jihad NU di Surabaya pada 2011, menegaskan minimnya data dan dokumen yang tersedia sebagai sumber primer.

Penulis buku dua jilid Api Sejarah berujar: “Bagaimana mungkin saya bisa menulis lengkap soal peran NU, sedangkan tidak cukup tersedia bagi saya dokumen dan sumber-sumber yang valid untuk kepenulisan”.

Alhamdulillah, kami berkesempatan menyampaikan permasalahan ini dalam diskusi di Pondok Pesantren Budaya Karanggenting, Kota Malang, pada 18 Januari 2025, dalam rangkat Harlah ke-102 NU. Demikian pula di Pesantren Luhur, Kota Malang, asuhan KH Muhammad Danial Farafish, yang santrinya mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi depan di kota dingin itu. []

Leave A Reply

Your email address will not be published.