Nyai Solichah Saifuddin Zuhri, Tokoh Penting Muslimat NU 

0

Mengawali tahun baru Islam 1447 Hijriyah, Redaksi menyajikan liputan ziarah ke makam Nyai Solichah Saifuddin Zuhri. Letaknya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta. Menuju makam tersebut, dari kantor PBNU dapat ditempuh menggunakan KRL jurusan Rangkas Bitung, turun di stasiun Kebayoran. Dilanjutkan naik ojek online, sampailah kita di makam salah seorang tokoh penting Muslimat NU ini.  

Setelah memanjatkan doa khusus untuk almarhumah Nyai Solichah Saifuddin Zuhri di depan pusaranya, Risalah istirahat di bangku yang sengaja disediakan untuk para peziarah. Bangku terletak di pinggir jalan yang membelah antar blok makam TPU Tanah Kusir. Jalan itu tidak terlalu lebar, namun nyaman dilewati untuk menuju blok satu ke lain blok. Makam Nyai Solichah Saifuddin Zuhri sendiri berada di depan, Blok AA1.

Di bangku tersebut, sebelumnya sudah ada seseorang yang ternyata pegawai makam. Sebut saja namanya Pak Mukarim mengatakan, bahwa makam Nyai Solichah Saifuddin Zuhri selalu ramai diziarahi, khususnya malam Jum’at, baik perorangan maupun jama’ah ibu-ibu pengajian dari berbagai daerah Indonesia. “Jadi mereka datang terkadang sendiri atau rombongan ibu ibu pengajian,” ujarnya kepada Majalah Risalah NU saat di makam, Rabu 25 Juni 2025.

Nyai Solichah Saifuddin Zuhri termasuk tokoh penting dalam Jam’iyah NU. Keputusan untuk berkiprah dalam organisasi tanpa melalaikan kewajiban sebagai Ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah. Namun, hal itulah yang dilakukan Nyai Siti Solichah.

Di balik nama besar KH. Saifuddin Zuhri, tokoh Nahdlatul Ulama dan Menteri Agama RI, berdiri sosok perempuan tangguh dan penuh keteladanan, ialah Nyai Solichah Saifuddin Zuhri. Ia bukan hanya seorang istri dan ibu rumah tangga biasa, melainkan bagian dari generasi perempuan Indonesia yang ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa melalui jalan sunyi yang tak banyak disorot.

Lahir di lingkungan pesantren, Nyai Solichah tumbuh dalam suasana religius dan penuh semangat kebangsaan. Ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan Jepang dan kemudian memasuki masa revolusi kemerdekaan, ia memilih untuk tidak tinggal diam. Meski tidak turun ke medan tempur dengan senjata, Nyai Solichah menjalankan peran strategis sebagai pendukung perjuangan.

Pada masa penjajahan Jepang dan revolusi fisik, Nyai Solichah Saifuddin Zuhri aktif mendampingi suaminya, bahkan terlibat dalam aktivitas perjuangan secara langsung. Ia membantu perjuangan dengan menjadi penghubung antar pejuang dan menyediakan logistik secara sembunyi-sembunyi.

Sebagai istri dari tokoh penting nasional, ia memainkan peran strategis dalam mendukung kiprah suaminya. Ia menjaga rumah tangga, mendidik anak-anak dengan nilai keislaman dan kebangsaan yang kuat, serta memberi keteladanan hidup sederhana dan penuh semangat juang.

Setelah masa revolusi, Nyai Solichah aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan perempuan, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ia dikenal mendorong kaum perempuan untuk berpendidikan tinggi dan terlibat aktif dalam organisasi keagamaan dan sosial.

Keterlibatan Nyai Solichah dalam Muslimat NU dimulai dari bawah ketika menjadi Pimpinan Cabang (PC) Muslimat NU Purworejo tahun 1942-1948, kemudian Ketua Komisaris Daerah Muslimat NU Karesidenan Kedu tahun 1947-1949.

Ketika KH Saifuddin Zuhri pindah ke Semarang, Nyai Solichah juga turut bersama sang suami. Di sana ia kembali dipercaya menjadi Ketua Muslimat NU Cabang Semarang tahun 1950-1953. Karirnya di organisasi wanita NU itu kemudian berlanjut sebagai Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Jawa Tengah tahun 1950-1955.

Kemudian mulai 1956-1989, dia masuk ke jajaran pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU. Bahkan, hingga Nyai Solichah wafat 6 Maret 1990, beliau masih berstatus sebagai pengurus PP Muslimat NU.

Dalam kesehariannya, Nyai Solichah dikenal sangat sederhana, sabar, dan teguh memegang nilai-nilai Islam. Ia membesarkan keluarganya dengan nilai perjuangan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap umat.

Selama hidupnya Nyai Solichah berpandangan bahwa kaum perempuan harus bisa mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Selain itu, seorang perempuan harus menguatkan kehidupan keluarganya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berkarir atau pun berorganisasi. Karena tanggung jawab sebagai Ibu Rumah Tangga menjadi tanggung jawab utama. Karena prinsip-prinsip yang dia pegang itu lah tak ayal dia tetap membawa Sang Anak kala beraktivitas dalam organisasi.

Nyai Solichah Saifuddin Zuhri bukan hanya tokoh pendamping, tapi juga sosok perempuan mandiri yang mampu menjadi inspirasi bagi generasi sekarang: bahwa perempuan bisa berjuang, mendidik, dan membentuk generasi bangsa yang berkualitas.

Kiprahnya dalam Muslimat NU tampak menonjol di bidang kesehatan. Dia pernah menjabat sebagai Direktris Rumah Bersalin Muslimat NU di Hang Tuah, Jakarta Selatan. Rumah bersalin itu dibangun di atas tanah wakaf suaminya KH Saifuddin Zuhri. Meski menjadi bagian dari Direktris, dia tetap menjalankan hobinya dalam hal menjahit dan berkebun.

Dari perkawinannya dengan KH Saifuddin Zuhri, Nyai Solichah dikaruniai 10 anak yakni Fahmi D Saifudin, Farida Salahuddin Wahid, Annisa S Hadi, Aisyah Wisnu, Andang Fatati, Ahmad Baehaqi Saifudin, Yulia Nur Soraya, Annie Lutfia, Adib Daruqutni, dan Lukman Hakim Saifudin yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI.

Berangkat dari seluruh kiprah dan perjuangan Nyai Solichah Saifuddin Zuhri, ada beberapa ajaran penting dan relevan yang bisa diambil oleh generasi sekarang, terutama dalam konteks kehidupan berbangsa, beragama, dan bermasyarakat. Berikut adalah beberapa di antaranya:

Pertama, keteladanan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Nyai Solichah menunjukkan bahwa perempuan bisa memainkan peran strategis dalam membentuk karakter keluarga, mengelola rumah tangga, dan berkiprah di ruang publik. Ia tidak hanya mendampingi suami yang seorang tokoh nasional, tapi juga mendidik anak-anaknya hingga menjadi pemimpin, seperti Lukman Hakim Saifuddin. Di era modern sekarang ini, perempuan dituntut untuk mampu memainkan peran ganda dengan cerdas dan seimbang. Sosok Nyai Solichah menginspirasi perempuan masa kini untuk menjadi ibu, pendidik, sekaligus agen perubahan sosial.

Kedua, dedikasi terhadap pendidikan dan kesehatan perempuan. Sebagai pengurus Muslimat NU, Nyai Solichah aktif dalam pendidikan perempuan dan layanan kesehatan ibu-anak, termasuk mendirikan Rumah Bersalin Muslimat NU. Ia memperjuangkan peningkatan kualitas hidup perempuan lewat lembaga formal. Pendidikan perempuan dan kesehatan ibu-anak masih menjadi isu penting saat ini, terutama di daerah-daerah tertinggal. Spirit Nyai Solichah bisa menjadi inspirasi untuk aktivisme sosial berbasis nilai Islam dan kemanusiaan.

Ketiga, kesederhanaan dan ketabahan dalam menghadapi tantangan hidup. Meskipun menjadi istri seorang menteri, Nyai Solichah hidup dengan sederhana dan penuh keikhlasan. Ia mendampingi suami sejak masa perjuangan, mengurus 10 anak, dan tetap aktif di masyarakat tanpa banyak sorotan. Di tengah budaya glamor dan hedonistik, generasi sekarang perlu meneladani kesederhanaan, ketekunan, dan kerendahan hati, terutama dalam menjaga integritas dan keselarasan antara kehidupan publik dan pribadi.

Keempat, menghargai warisan dan komitmen keberlanjutan. Nyai Solichah tidak hanya melanjutkan perjuangan suaminya, tetapi juga mewariskan nilai-nilai perjuangan dan keislaman kepada anak-cucunya. Hal ini tampak dari keterlibatan generasi penerus dalam bidang keagamaan dan pemerintahan. Di era yang serba instan ini, penting bagi generasi muda untuk menghargai akar perjuangan, nilai keluarga, dan keberlanjutan warisan moral dari generasi sebelumnya.

Kelima, Aktivisme berbasis keikhlasan, bukan popularitas. Nyai Solichah aktif di Muslimat NU dan lembaga sosial tanpa banyak publikasi. Ia bekerja dalam senyap namun hasilnya nyata. Aktivisme hari ini sering terjebak dalam pencitraan. Sosok Nyai Solichah memberi pelajaran bahwa keikhlasan dan konsistensi jauh lebih berharga daripada sorotan media.

Demikian beberapa nilai penting yang dapat dipetik dari kiprah perjuangan Nyai Solichah Saifuddin Zuhri yang relevan dengan kondisi saat ini. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa dari bilik rumah sederhana hingga ruang-ruang pengabdian umat, Nyai Solichah Saifuddin Zuhri membuktikan bahwa perempuan adalah tiang bangsa. Dalam diam, ia mendidik, membangun, dan menginspirasi. Warisannya bukan sekadar nama, tapi nilai yang terus hidup dalam denyut perjuangan generasi penerus. Laha al-fatihah…. (Zahid).

Leave A Reply

Your email address will not be published.