Selain motif agama, Nahdlatul Ulama (NU) lahir karena dorongan untuk merdeka. Ia berusaha membangun semangat nasionalisme melalui kegiatan keagamaan dan pendidikan. Berdirinya madrasah Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar, merupakan pilar-pilar penting dalam sejarah perjalanan NU sebelum berdiri.
Dalam buku Dunia Baru Islam, Lonthorp Stoddard menulis: Jikalau semangat nasionalisme bangsa Indonesia masih tidur nyenyak maka berdirinya Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1883 – 1934) jiwa nasionalisme mulai berkobar-kobar. Di mana-mana di Nusantara Indonesia tumbuh berbagai organisasi kebangsaan maupun keagamaan, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajahan yang telah berhasil mencengkeram tanah Indonesia berawal dengan datangnya VOC itu.
Kemudian pada sekitar 1914, pemuda Abdul Wahab Hasbullah kembali dari menuntut ilmu di Makkah dan kemudian menikah dengan seorang gadis, putri Kiai Musa di Surabaya. Ia kemudian menetap di rumah mertunya, di kawasan Kertopaten Surabaya. Melihat keberhasilan SI, Kiai Wahab Hasbullah tertarik — sebelumnya memang pengurus SI cabang Makkah– dan kemudian mengambil inisiatif. Selain itu, ia giat mengajar agama di pondok Kertopaten, pondok milik Kiai Musa.
Meski di SI termasuk orang penting, Kiai Wahab nampaknya merasa kurang puas bila tidak mendirikan perkumpulan tersendiri. Apalagi, disadari bahwa KH M. Hasyim Asy’ari menulis Risalah Kaff al-‘Awâm ‘an al-Khaudhi fî Syirkah al-Islâm yang ditulis pada tahun 1913 M terhadap fenomena kemunculan Sarekat Islam pada masa awal berdirinya. Naskah ini adalah sebuah korespondensi KH. M. Hasyim Asy’ari kepada salah satu gurunya, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. , yang di dalamnya memberikan informasi tentang adanya hal-hal yang terjadi mengiringi perjalanan awal perkembangan SI yang bertentangan dengan syariat Islam. Argumen-argumen pun disertakan untuk menguatkan pendapatnya itu. Karena SI dianggap terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan Kiai Wahab lebih menginginkan tumbuhnya semangat nasionalisme lewat pendidikan.
Karena itu, ketika bertemu KH Mas Mansur — yang kemudian dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah — yang baru kembali dari menuntut ilmu di Mesir, Kiai Wahab segera mengajaknya berdiskusi. Dari rembukan itu kemudian keluar ide: mendirikan suatu perguruan guna mendidik dan membangun semangat nasionalisme kaum muda. Ide tersebut mendapat sambutan hangat dari sejumlah tokoh masyarakat, terutama H.O.S. Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, seorang arsitek terkenal saat itu, dan K.H. Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian menjadi pananggung jawab gedung perguruan tersebut.
Atas partisipasi masyarakat Surabaya khususunya para dermawan yang dipelopori K.H. Abdul Kahar, sebagaimana diungkap Choirul Anam dalam karyanya, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Solo: Jatayu, 1985) maka berdirilah suatu gedung bertingkat di Surabaya (kampung Kawatan Gg IV/22) yang kemudian dikenal sebagai perguruan “Nahdlatul Wathan”. Pada 1916 perguruan ini mendapat Rechtspersoon (resmi berbadan hukum) dengan susunan pengurus: KH. Abdul Kahar sebagai Direktur, KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridlwan Abdullah.
Sejak itu, Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggembelengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, digubah K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam bentuk syair berikut (sebagai ditatan KH Abdul Halim dalam bentuk nadham [puisi lirik) khas pesantren):
Syair Syubbanul Wathan:
Ya ahlal wathan ya ahlal wathan
Hubbul wathan minal iman
Hubbul wathan ya ahlal wathan
Wala takun ahlal hirman
Innal kamala bil a’mal
Walaisa zalika bil aqwal
Fa’mal tanal maa fil amal
Wala takun mahdlal qawal
Dun-ya kumuu maa lil-maqar
Wa innama hiya lil mawar
Fa’mal bil mal maula amar
Walaa takun baqaraz zimar
Lam ta’lamuu man dau-waruu
Lam ta’qiluu maa ghaiyaruu
Aina in-tihaa-i maa sai-yaruu
Kaifa in-tihaa-i maa shai-yaruu
Am humuu fii-hi saa-qakum
Ilaa al-madzaabikhi dzab-khakum
Am i’taquu-kum uq-baa-kum
Am yudii-muu a’baa-kum
Ya ahlal ‘uquulis saa-limah
Wa ahlal quluu-bil ‘aa-zimah
Kuu-nuu bil-himmati ‘aa-liyah
Walaa takun kassaa-imah
Terjemahannya:
Wahai bangsaku
Cinta Tanah Air bagian dari iman
Cintailah tanah airmu
Jangan kalian jadi jajahan
Semua itu menuntut perbuatan
Tak cukup hanya dengan ucapan
Berbuatlah demi cita-cita
Jangan cuma bicara
Dunia ini bukan tempat menetap
Hanya tempat berlabuh
Berindaklah karena perintah Tuhan
Jangan seperti sapi tunggangan
Kalian tak tahu siapa yang bikin ulah
Juga kalian tak berfikir sesuatu bakal berubah
Kapan perjalanan macam ini terhenti
Juga bagaimana suatu peristiwa akan usai
Adakah mereka memberimu minum?
Juga kepada ternakmu?
Adakah mereka membebaskanmu dari beban?
Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Berperasaan halus
Kobarkanlah semangatmu
Jangan jadi pembosan!
Langkah awal ditempuh KH. Abdul Wahab Hasbullah — kelak sebagai Bapak Pendiri NU — itu, merupakan usaha membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih “Nahdlatul Wathan” yang berarti “Kebangkitan Tanah Air”, ditambah dengan syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dan negerinya dari belenggu kolonial Belanda.
Meski begitu, tak kalah pentingnya memperhatikan langkah berikutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab Hasbullah, setelah berhasil mendirikan Nahdlatul Wathan. Ini penting karena dalam diri KH Wahab tersimpan beberapa sifat yang tak dimiliki orang lain. Beliau tipe orang yang pandai bergaul dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Beliau dikenal sebagai ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Terakhir diketahui Kiai Wahab Hasbullah diketahui sebagai pembela ulama pesantren — ulama bermazhab — dari serangan-serangan kaum modernis anti-mazhab.
Bertolak dari sifat dan sikap itulah maka mudaha dipahami bila kemudian Kiai Wahab mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti KH. A. Dachlan Ahyad, pengasuh Pondok Pesantren Kebondalem, Surabaya, untuk mendirikan madrasah “Taswirul Afkar”. Semula Taswirul Afkar yang berarti “Potret Pemikiran” itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas pelbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam kelompok diskusi Taswirul Afkar anggotanya juga terdiri dari para ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem bermazhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah Taswirul Afkar yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat elementer. (bersambung)..
Riadi Ngasiran (Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PWNU Jawa Timur, Ketua Tim Kerja Monumen Resolusi Jihad NU Surabaya).