Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera Dikecam Dunia, Diduga Serangan Militer Israel

0

RISALAH NU ONLINE, GAZA – Dunia internasional kembali dikejutkan oleh kabar tewasnya jurnalis Al Jazeera, Anas al-Sharif (28), dalam serangan udara Israel yang menghantam tenda wartawan di gerbang utama Kompleks Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza. Rekannya, Mohamed Qreiqeh (33), serta empat jurnalis lain dan dua warga sipil juga dilaporkan meninggal.

“Al Jazeera menyebut serangan itu sebagai ‘pembunuhan terarah’ dan menuduh pejabat Israel melakukan hasutan, mengaitkan kematian al-Sharif dengan tuduhan yang telah dibantah baik oleh jaringan maupun sang koresponden,” dikutip dari APNews.com, Rabu, (13/08/25).

Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, kala itu menuduh al-Sharif sebagai anggota sayap militer Hamas. Sejumlah organisasi pers internasional, termasuk Committee to Protect Journalists (CPJ), menilai tuduhan tersebut menjadi sinyal ancaman yang berujung pada pembunuhan.

Militer Israel mengklaim serangan Minggu malam menargetkan sel Hamas, namun rumah sakit dan saksi mata menegaskan korban adalah wartawan yang berlindung di tenda pers. CPJ mencatat, pembunuhan ini menambah daftar kematian jurnalis sejak awal perang menjadi sedikitnya 192 orang, termasuk 10 staf Al Jazeera.

Berdasarkan laporan resmi Al Jazeera, sejak awal perang di Gaza 22 bulan lalu, al-Sharif dikenal luas karena liputannya dari Gaza utara dan Gaza City, termasuk laporan menyayat hati tentang kelaparan dan malnutrisi yang melanda warga sipil.

Rekan wartawan di Gaza, Hani Mahmud melukiskan suasana genting saat tenda wartawan diserang. Ia yakin bahwa serangan ini sengaja diarahkan untuk menghentikan laporan tentang kelaparan, malnutrisi, dan kekejaman di Gaza.

PJMI Kecam Pembunuhan Jurnalis

Sementara di Indonesia, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) menyampaikan duka cita mendalam sekaligus kecaman keras atas gugurnya jurnalis Al Jazeera, Anas Al-Sharif, dalam serangan udara militer penjajah Zionis Israel di dekat Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza, pada Ahad malam, 10 Agustus 2025. Serangan tersebut juga menewaskan sejumlah jurnalis lain yang tengah bertugas di lokasi.

Sejak genosida Gaza dimulai pada Oktober 2023, sedikitnya 237 jurnalis telah dibunuh oleh pasukan penjajah Zionis Israel. Menurut PJMI, tragedi ini menjadi momentum moral untuk menyerukan kepedulian global terhadap kebebasan pers dan hak hidup jurnalis di zona konflik, terutama di Jalur Gaza.

“Kami menyampaikan penghormatan mendalam atas keberanian para jurnalis di Gaza yang mempertaruhkan nyawa demi mengabarkan kebenaran. Serangan Israel bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga pengabaian terhadap hukum humaniter internasional yang menjamin keselamatan jurnalis sipil,” ujar Ketua Umum PJMI, Ismail Lutan.

PJMI mendesak pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Komunikasi dan Digital RI, untuk mengambil langkah nyata mendukung keselamatan jurnalis di medan konflik. “Jangan sampai situasi seperti ini menimpa jurnalis kita di Indonesia,” tegas Ismail.

Ia juga menyerukan seluruh organisasi pers nasional untuk tidak tinggal diam. PJMI mendorong penggalangan petisi kemanusiaan dan solidaritas global demi menghentikan serangan terhadap jurnalis serta memperkuat perlindungan bagi mereka di wilayah konflik.

Selain itu, PJMI mengutuk keras praktik kelaparan massal (forced starvation) yang diterapkan penjajah Zionis Israel terhadap warga Gaza, termasuk jurnalis yang bekerja tanpa perlindungan, di tengah blokade total atas akses pangan, listrik, dan informasi. Menurut data Kementerian Informasi Palestina per 18 Juli 2025, 228 jurnalis telah gugur akibat serangan Israel sejak agresi terbaru dimulai, mayoritas ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik.

“Bayangkan, mereka melaporkan kejahatan kemanusiaan di tengah kehancuran total, namun kini juga harus berjuang untuk bertahan hidup. Ini adalah kejahatan terhadap jurnalisme itu sendiri,” kata Ismail.

Sebagai langkah strategis, PJMI mengusulkan pembentukan Aliansi Global Jurnalis untuk Palestina yang memperjuangkan perlindungan hukum internasional bagi pekerja media di zona konflik, serta mendorong pemberitaan yang adil, berimbang, dan bebas dari bias propaganda.

“Kami tidak akan tinggal diam. Dunia pers harus bersuara. Jika jurnalis dibungkam dengan kekerasan dan peluru, maka kebenaran perlahan akan ikut terkubur. Ini bukan hanya soal Palestina, tapi soal masa depan kebebasan pers dunia,” pungkas Ismail. (Anisa/rls).

Leave A Reply

Your email address will not be published.