KH Saifuddin Zuhri: Meneruskan Pemikiran Tokoh NU dalam Berbangsa, Beragama, dan Bermasyarakat

0

Mengawali tahun baru Hijriyah 1447 ini, redaksi menyajikan liputan ziarah ke makam KH Saifuddin Zuhri. Makamnya terletak di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta. Rute menuju makam, dari kantor PBNU dapat ditempuh menggunakan KRL jurusan Rangkas Bitung, turun di stasiun Kebayoran. Dilanjutkan naik ojek online, sampailah kita di makam Menteri Agama Republik Indonesia ke 10 masa jabatan 6 Maret 1962 hingga 17 Oktober 1967.  

Setelah memanjatkan do’a khusus untuk almarhum KH Saifuddin Zuhri di depan pusaranya, penulis istirahat di bangku yang sengaja disediakan untuk para peziarah. Bangku terletak di  pinggir jalan yang membelah antar blok makam TPU Tanah Kusir. Jalan itu tidak terlalu lebar, namun nyaman dilewati untuk menuju blok satu ke lain blok. Makam KH Saifuddin Zuhri sendiri berada di depan, Blok AA1, 906.

Sebut saja namanya Pak Mukarim pegawai makam yang menceritakan banyak hal tentang makam, bahwa makam KH Saifuddin Zuhri selalu ramai dikunjungi para penziarah, baik datang dari Jawa maupun luar Jawa. “Iya sering ramai pengunjung, kalau yang tercatat memang penziarah dari berbagai wilayah Indonesia,” ujarnya kepada Majalah Risalah NU, Minggu 22 Juni 2025.

KH Saifuddin Zuhri termasuk tokoh penting dalam Jam’iyah NU, baik ketika sebagai ormas pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagai partai politik pada masa pemerintahan Orde Lama, maupun sewaktu bergabung bersama partai Islam lainnya. Pada usia 35 tahun KH. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara.

Bersama ormas Islam terbesar yang didirikan tahun 1926 itu, KH Saifuddin Zuhri memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dalam pembangunan karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, mengembangkan paham nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Secara pemikiran, KH Saifudin Zuhri dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan Islam moderat dan toleran, serta mendukung integrasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia melihat bahwa Islam dan nasionalisme tidak harus bertentangan. Justru, menurutnya, semangat cinta tanah air bisa tumbuh kuat dari lingkungan pesantren.

Riwayat hidup dan sejarah perjuangannya yang panjang dalam berbagai medan khidmah sebagai ulama-pejuang, politisi dan pejabat negara, disadari oleh KH Saifuddin Zuhri, terlalu sayang kalau sampai terlupakan dalam sejarah. Karena itu ia mengabadikannya dalam sebuah buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang ia selesaikan penulisannya pada 10 September 1985, kurang lebih enam bulan sebelum wafatnya, 25 Februari 1986.

Buku ini akan menjadi saksi sejarah yang berharga tentang makna perjuangan, pengabdian dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, maju dan sejahtera. Buku yang terbit pada tahun 1987 yang ternyata menjadi karya terakhirnya itu, pada 3 Oktober 1989, mendapat penghargaan Buku Utama kategori Bacaan Dewasa bidang Humaniora.

 

Ajaran Relevan

Dari seluruh kiprah dan perjuangan KH Saifuddin Zuhri, ada beberapa ajaran penting dan relevan yang bisa diambil oleh generasi sekarang, terutama dalam konteks kehidupan berbangsa, beragama, dan bermasyarakat. Berikut adalah beberapa di antaranya:

 Pertama, cinta tanah air sebagai bagian dari iman. KH Saifuddin Zuhri pernah berujar, bagi saya, nasionalisme bukan bertentangan dengan agama, tetapi justru bagian dari pengamalan agama.” Pernyataan ini menegaskan bahwa KH Saifuddin Zuhri percaya, nasionalisme dan Islam tidak bertentangan. Ia menunjukkan bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari pengamalan ajaran Islam.

Dari sikapnya itu dapat diambil pelajaran untuk generasi sekarang bahwa, Jangan mudah tergoda oleh paham-paham ekstrem yang menganggap cinta tanah air sebagai hal sekuler, dan Jadilah religius sekaligus patriotik.

Kedua, pendidikan sebagai jalan perubahan. KH. Saifuddin Zuhri sangat memprioritaskan pendidikan. Ia memperjuangkan kemajuan madrasah, pendidikan pesantren, dan perluasan akses belajar agama di seluruh Indonesia. Hal ini mengajarkan bahwa ilmu adalah jalan utama perubahan diri dan masyarakat. Selain itu, pendidikan Islam tidak hanya soal ibadah, tetapi juga mencakup nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan peradaban.

Ketiga, menjadi muslim yang moderat dan toleran. Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama, Saifuddin Zuhri sangat menekankan tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Ia menolak kekerasan atas nama agama. Artinya, kita jangan mudah menghakimi keyakinan orang lain, rangkul perbedaan, bukan saling menjauh karena mazhab, suku, atau pandangan politik.

Keempat, santri harus siap memimpin. Ini penting. Dalam buku Berangkat dari Pesantren, ia menunjukkan bahwa santri bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga bisa menjadi pemimpin nasional, birokrat, intelektual, bahkan pejuang kemerdekaan. Santri harus percaya diri untuk bersaing di ruang publik, baik di pemerintahan, akademik, maupun sosial-politik. Jadilah santri yang visioner, tidak hanya hidup di menara gading.

Kelima, menulis untuk mencerahkan umat. Sebagai jurnalis dan penulis produktif, Saifuddin Zuhri menggunakan pena sebagai alat perjuangan. Ia menulis untuk menggugah kesadaran umat dan menyuarakan kebenaran. Apalagi saat ini, di era digital, narasi dan opini sangat menentukan arah pikiran masyarakat. Gunakan media sosial dan tulisan secara bijak untuk kebaikan umat dan bangsa.

Keenam, menghargai sejarah dan merawat warisan. KH Saifuddin Zuhri sangat menghargai sejarah perjuangan bangsa dan kiprah para ulama. Ia tidak melupakan akar, bahkan menjadikannya fondasi dalam langkah-langkah modern. Untuk itu, jangan sampai kita tercerabut dari akar sejarah, kenali tokoh-tokoh untuk memahami jati diri bangsa.

Demikian, setidaknya ada 6 ajaran penting dan relevan yang bisa diambil oleh generasi sekarang. KH. Saifuddin Zuhri memberi teladan bahwa agama, kebangsaan, ilmu, dan kepemimpinan bisa bersatu dalam satu pribadi yang utuh. Bagi generasi sekarang, ajarannya adalah panggilan untuk menjadi Muslim yang intelek, cinta tanah air, berpikiran terbuka, dan siap memimpin masa depan.

 

Pengabdian dan Karir

  • Konsul daerah Ansor Dan NU Jateng
  • Komandan Barisan Hizbullah
  • Anggota KNIP
  • Sekjen Partai NU
  • Mustasyar PBNU
  • Ketua DPP PPP
  • Menteri Agama
  • Anggota DPR
  • Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
  • Rektor IAI Al-Akidah
  • Pelopor Pengembangan IAIN
  • Pemimpin Umum/Redaksi “Duta Masyarakat”.

 

 Karya

  • (1947) Palestina dari Zaman ke Zaman
  • (1965) Agama Unsur Mutlak dalam National Building
  • (1972) K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU
  • (1974) Guruku Orang-orang dari Pesantren
  • (1979) Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
  • (1981) Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid)
  • (1982) Unsur Politik dalam Dakwah
  • (1983) Secercah Dakwah
  • Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung menjelang akhir hayat.

 

Akhirnya, KH Saifuddin Zuhri bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi cermin keindonesiaan yang utuh dalam jiwa seorang santri: religius, nasionalis, dan visioner. Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, warisan pemikirannya adalah pelita bagi generasi muda untuk terus mencintai negeri ini dengan ilmu, akhlak, dan keberanian. Kini saatnya kita melanjutkan perjuangan itu—bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan karya nyata yang menjawab kebutuhan umat dan bangsa. Lahu al-fatihah…. (Zahid).

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.