Mengawal Abad Kedua Nahdlatul Ulama dengan Komunikasi Partisipatif 

0

Nahdlatul Ulama (NU) berusia 102 tahun pada 31 Januari 2025 kemarin. Dengan usia yang tidak muda lagi, NU tetap eksis dan menjelma menjadi salah satu organisasi berbasis keagamaan terbesar di Indonesia dan bahkan dunia. Atas capaian itu, publik memberikan apresiasi terhadap kiprah NU sekaligus terus menanti kontribusinya untuk negeri ini, khusus dalam bidang sosial. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosial berarti segala hal yang berkaitan dengan masyarakat. Sosial juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat kemasyarakatan yang memperhatikan kepentingan umum. Merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang terselenggara pada 6-9 Januari 2025. NU memiliki modal besar dalam sosial, sebanyak 87,5 persen responden sepakat NU berperan besar dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Dari data Litbang Kompas, sebanyak 87,1 persen responden menilai citra NU baik. Selain citranya yang baik, lembaga ini juga dinilai berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah, sebanyak 89,4 persen.

Masih merujuk data Litbang Kompas, dalam memajukan pendidikan, 75,1 persen, responden menilai kontribusi NU di bidang pendidikan cukup besar. Beberapa bidang yang masih mendapatkan respon kecil yaitu bidang ekonomi, hanya 58,7 persen responden yang menilai kontribusi NU sudah besar. Di sisi lain, 35,2 persen responden menilai peran NU di bidang ekonomi masih sedikit. Bidang kesehatan, peran NU masih dipandang paling minim, terdapat 43,2 persen responden yang menilai kontribusi NU masih kecil.

Di era kepemimpinan KH Miftachul Akhyar (Yai Miftach) dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), banyak program bagus dicanangkan seperti tertib administrasi, keluarga maslahat, sistem perkaderan, pengelolaan kampus, rumah sakit, dan kegiatan sosial lainnya. Dalam perayaan 1 Abad NU di Sidoarjo tahun 2023, saya ikut hadir dalam acara yang mengusung spirit untuk membangun peradaban baru tersebut. Saat itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa NU didirikan dengan visi peradaban untuk membangun peradaban baru yang lebih baik dan mulia bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam.

Melihat visi peradaban yang diusung NU, menarik untuk dilihat teori Arnold Toynbee dalam A Study of History (1957), tentang radiasi budayanya yang lahir dari hasil riset beberapa

peradaban. Arnold memberikan kesimpulan, ada empat lapisan budaya yang memengaruhi peradaban: lapisan pertama (lapisan terdalam) adalah visi dan/atau nilai spiritualitas; lapisan kedua adalah etika; lapisan ketiga adalah estetika; dan lapisan keempat atau lapisan terluar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Mudahnya, Arnold menulis bahwa suatu peradaban akan tetap bertahan meskipun etika, estetika, ilmu pengetahuan dan teknologi sainsnya hancur, selama lapisan terdalamnya yaitu visi dan nilai spiritual, masih tetap ada atau bertahan dalam jantung peradabannya. Bila ditarik ke organisasi NU, maka NU akan tetap terus bertahan dalam berbagai situasi ketika masih memiliki visi dan nilai spiritual.

Searah dari itu, jika sebuah peradaban ini ingin berpengaruh bagi peradaban lainnya, bahasa lain yaitu menjadi kiblat bagi peradaban lainnya, maka harus unggul pada lapisan terluarnya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Berpijak pada pandangan Arnold Toynbee tersebut, mungkin tidak keliru jika saya mengatakan bahwa untuk lapisan terdalamnya, organisasi NU masih sangat kuat, dan itulah yang membuat NU masih bertahan sampai hari ini. Namun, NU masih tertinggal jauh atau minimal belum mampu dipandang sebagai kiblat peradaban, karena masih lemah dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Untuk ilmu pengetahuan dan sains sudah dimulai dibangun oleh KH Salahuddin Wahid di Pesantren Tebuireng dengan mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)-Sekolah Menengah Atas (SMA) Trensains. Bahkan kini juga ada Madrasah Tsanawiyah-Aliyah Trensains di Pesantren Tebuireng. Tentu di masa depan, NU tidak bisa bergantung ke Tebuireng saja, perlu ada sekolah atau kampus yang fokus di bidang ini. Karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan perjuangan berat.

Hemat saya, langkah terdekat dan terdepan dalam membangun teknologi sains yang bisa dilakukan NU saat ini, yaitu mengelola cara komunikasi media pengurus NU ke masyarakat. Karena sebaik apapun program yang dicanangkan pengurus NU di abad kedua ini, jika cara komunikasi ke masyarakat kurang tepat, maka akan terjadi kesalahpahaman. Bila kita melihat akun media sosial resmi PBNU, maka gaya komunikasinya masih menggunakan gaya top down. Komunikasi ini merupakan gaya zaman dulu, khususnya di tahun 1990-2000, komunikasinya sangat simpel, top down atau semua dari atas, dari publik figur, pejabat, pemerintah, influencer, ke audiens (masyarakat).

Merujuk pendapat pakar komunikasi Irfan Asy’ari Sudirman Wahid, cara kerja top down, menggunakan beberapa sarana, tapi hanya ada empat yang utama, pertama lewat iklan televisi, kedua lewat media cetak, ketiga radio, lalu muncullah internet. Melihat cara komunikasi pengurus NU dari pusat hingga daerah, saya menyebutnya cenderung top down. Saya mendapatkan kesimpulan ini setelah mengamati cukup lama akun media sosial pengurus NU dari pusat hingga daerah. Saya juga melihat dan memantau pemberitaan NU di media cetak dan online. Pemberitaan yang ditampilkan cenderung kaku dan terkadang terkesan tidak natural.

Bila kita melihat instagram PBNU, media sosial ini cukup banyak menaikkan konten yang bersifat instruksi dan perintah, terkadang ucapan belasungkawa, ucapan selamat, laporan kerjasama. Hal yang sama juga terlihat di akun pengurus NU tingkat provinsi. Parahnya, beberapa provinsi dan kabupaten tidak terlihat aktif merawat akun media sosialnya. Khususnya yang berada di luar Jawa. Padahal di era teknologi, media sosial bisa digunakan untuk menjembatani komunikasi antara pengurus NU dan pengikutnya.

Beberapa pengurus NU tingkat kabupaten di luar pulau Jawa tidak ditemukan akun media sosialnya. Sehingga sulit sekali mengetahui kinerjanya. Karena kinerja mereka juga tidak terekam oleh jurnalis di kanal berita online maupun cetak. Pun tidak ditemukan website organisasinya. Hanya beberapa daerah seperti Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah Banten, Lampung, dan Kepulauan Riau yang aktif mengelola website. Tingkat kabupaten ada Kabupaten Jombang dan Gresik. Semangat ini bertolak belakang dengan inisiator NU, KH A Wahab Hasbullah yang memiliki semangat tinggi dalam mengelola sarana komunikasi ke masyarakat dengan menerbitkan selebaran, majalah dan koran. KH Wahab, seperti dapat dilihat di berita Nahdlatoel Oelama tanggal 1 Januari 1936, pernah menyampaikan bahwa tidak punya surat kabar samalah artinya dengan buta tuli, sebab tak mempunyai pemandangan. Karena di zaman itu, komunikasi model ini terbilang efektif.

Ketika mengetik kata ‘Nahdlatul Ulama’ di google, maka yang muncul teratas yaitu website NU Online dan wikipedia. Lalu ada instagram PBNU dan beberapa kampus Nahdlatul Ulama. Jika diklik bagian berita, maka yang muncul teratas yaitu media mainstream seperti detik.com, kompas.com, antara dan NU Online. Website NU Online menjadi corong utama media NU yang paling banyak muncul di google. NU Online juga memiliki akun media sosial dengan konten cukup beragam. Namun, titik temu dari kebanyakan pemberitaan tentang NU dan media sosial terafiliasi dengan NU yaitu gaya komunikasi yang menganut

model take down. Melihat fakta ini, wajar sekali warga nahdliyin dan masyarakat Indonesia tidak terlalu suka kontennya. Malah sering salah paham tentang kebijakan yang dibuat NU. Dampaknya, terkadang digoreng oleh pembenci NU.

Apa Solusinya?

Berangkat dari fakta-fakta ini, saya menawarkan model komunikasi partisipatif. Bisa juga dinamakan participative campaign. Komunikasi model ini tidak berarti membuang gaya take down, tapi empat cara komunikasi di model lama itu jadi satu klaster di participative campaign. Dalam komunikasi partisipatif, ada klaster lainnya seperti media sosial (instagram, facebook, whatsapp, tik tok, youtube, twitter/X). Media sosial merupakan komunikasi alternatif yang sangat efektif. Karena mayoritas masyarakat Indonesia terhubung dengan internet. Khususnya, generasi kelahiran 2000-an ke atas.

Namun, pengguna media sosial saat ini tidak menyukai model komunikasi yang take down. Hal ini bisa dilihat di tik tok, konten yang disukai dan penontonnya banyak adalah konten yang terlihat natural, tidak kaku, egaliter dan sederhana. Sesuatu yang sulit ditemukan di media NU, kecuali akun media Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), lebih fleksibel.

Dalam komunikasi model partisipatif, ada juga klaster Key Opinion Leader (KOL). KOL adalah orang atau entitas yang dianggap sebagai ahli atau otoritas di suatu bidang. KOL bisa dikatakan orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas suatu bidang, sehingga dianggap sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya. KOL memiliki peran penting dalam membentuk opini dan pandangan masyarakat, terutama dalam keputusan. Dalam bidang ini, NU bisa menggandeng tokoh internal seperti Gus Baha, Gus Kautsar, Gus Iqdam, Ning Yenny Wahid dan tokoh luar seperti Raffi Ahmad, Duta Mojdo Sheila on 7, Andre Taulany.

Klaster lainnya yaitu komunitas. Dalam gaya partisipatif, komunitas jadi sarana komunikasi yang efektif. Karena lebih dekat, sehingga komunikasi bisa dilakukan setiap waktu. Komunitas besar di Indonesia yang bisa dijadikan sarana untuk mendekatkan NU ke masyarakat yaitu komunitas suporter sepakbola, pecinta motor, mobil dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh NU punya potensi mendekatkan diri dengan komunitas, karena terbiasa dengan

berbagai lapisan masyarakat. Selama ini, komunitas hanya dirawat oleh individu dari NU, bukan secara organisasi.

Uniknya, semua klaster ini bisa komunikasi secara pertical maupun horizontal. Sehingga suasananya tercipta sangat egaliter, dua arah dan natural. Komunikasi model take down kurang disukai generasi terkini. Karena terkesan menonton dan kaku. Generasi muda saat ini menyukai komunikasi partisipatif, karena semua bisa ikut meramaikan. Bukan hanya tergantung pada individu tertentu.

Konten yang Menarik dalam Komunikasi Gaya Partisipatif

Titik temu antara komunikasi model lama dan baru, yaitu sama-sama mengejar rasa. Rasa ini menjadi penting. Hanya saja kalau dulu pendekatannya berita, sementara sekarang pendekatannya cerita. Oleh karenanya, dalam komunikasi partisipatif, konten dianjurkan model storytelling. Sebab, sekarang yang berhubungan dengan storytelling menjadi menarik dan laku. Storytelling ini jadi penting, semakin dia organik, maka semakin disukai. Semakin tidak kelihatan seperti iklan, maka semakin baik.

Dulu, iklan tidak ada masalah, yang penting frekuensinya tinggi. Oleh karena itu, kalau dulu iklan-iklan, mau produk, politik, mau apapun diulang berkali-kali. Semakin frekuensinya tinggi, semakin orang ingat. Maka dulu untuk menambah kencang ingatan, iklan dibikin entertaining yang mudah diingat. Kalau sekarang tidak, kuncinya di engagement, jadi kontennya dibuat unik, sebarannya dibikin unik, engagementnya dikejar. Itulah yang membedakannya. Jika konten di media sosial NU seperti itu, tentu akan menarik banyak kalangan untuk menonton. Karena menghilangkan kesan jadul, patriarki, dan feodalisme. (*)

Oleh: Syarif Abdurrahman (Aktivis NU)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.